Menuju konten utama

Penanganan Kekerasan Seksual & Cancel Culture di Korea Selatan

Berdasarkan riset pada 2012, penanganan kasus pemerkosaan di Korea Selatan memang buruk. Mungkin itu sebab cancel culture di sana cukup kuat.

Penanganan Kekerasan Seksual & Cancel Culture di Korea Selatan
Ilustrasi pemerkosaan terhadap pasangan yang sah. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Cancel culture di industri hiburan Korea Selatan kerap terjadi. Publik cukup sensitif terhadap kabar-kabar terkait skandal kalangan selebritas. Salah satu yang terkena cancel culture, yang secara cair didefinisikan sebagai boikot terhadap pihak tertentu yang dianggap telah melakukan hal-hal melenceng dari norma, adalah Kim Seon-ho, salah satu pemeran serial Hometown Cha-Cha-Cha.

Semua berawal dari isu yang diembuskan mantan pacar Kim yang memakai nama samaran “netizen A”. Ia mengatakan dipaksa melakukan aborsi saat masih berstatus pacar padahal ingin meneruskan kehamilan hingga melahirkan. Kim awalnya mendukung keinginan tersebut, namun tiba-tiba semua berubah dengan alasan finansial. Mantannya mendeskripsikan perubahan Kim seperti “orang gila.”

Bisa ditebak, setelah itu publik berbondong-bondong melakukan cancel kepada Kim. Kim, yang awalnya berperan penting di salah satu acara reality show 2 Days & 1 Night, lantas menghilang. Bahkan ia juga batal tampil dalam film 2 O’clock Date dan Dog Days karena kabarnya mengundurkan diri. Merek yang menjadikan Kim sebagai ikon, seperti Domino’s Pizza dan Canon, juga menarik diri. Wajahnya tidak lagi muncul di media sosial dua jenama tersebut.

Situasi berubah ketika Dispatch, salah satu majalah daring yang sering kali mengungkap kehidupan pribadi selebritas, mengungkap temuan-temuannya. Dari salah satu kesaksian narasumber, diketahui bahwa sebenarnya Kim masih mendukung kelanjutan hubungan mereka, tetapi justru mantan pacarnya sering selingkuh dan protes masalah keuangan. Identitas mantan pacar Kim pun terbongkar.

Canon segera memajang lagi foto-foto Kim. Muncul juga petisi daring yang mendukung Kim tetap tampil dalam 2 Days & 1 Night. Kim, seperti dicatat oleh SCMP, adalah contoh kasus bagaimana artis akhirnya bisa “melawan cancel–dan menang.”

Dari kasus Kim semakin banyak yang menilai cancel culture tidak melulu baik. Namun tetap saja cancel adalah senjata orang-orang yang hanya punya suara tanpa kekuatan finansial dan politik untuk membuktikan kebenaran mereka.

Meski apa yang disebut dengan cancel culture baru ramai di Korsel sekitar 2017, upaya serupa pernah dilakukan jauh sebelum itu, dalam kasus mengerikan yang dikenal dengan nama “Miryang gang rape”. Ini adalah satu contoh bagaimana cancel bisa jadi satu-satunya upaya yang berguna untuk mendapatkan keadilan.

44 Remaja Pelaku Pemerkosaan

(Trigger Warning)

Pada Januari 2004, seorang siswi SMP berusia 14 tahun berinisial C datang ke Miryang, Provinsi Gyeongsang Selatan, untuk bersemuka dengan remaja SMA yang ia kenal secara virtual. Namun remaja SMA itu memerkosa C secara brutal. Tindakan jahanam itu direkam dan dijadikan alat ancaman agar C tidak melapor.

Dengan bekal rekaman itu pula si remaja SMA menyuruh C untuk datang lagi, dari kota Ulsan yang jaraknya lebih dari 40 kilometer, dengan membawa serta adik perempuan dan kakak sepupu. Ketiganya menjadi korban kebejatan remaja-remaja yang berasal dari tiga sekolah berbeda. C bahkan diperkosa hingga 10 kali.

Setelah penyelidikan, polisi berhasil mengumpulkan sebanyak 41 orang terduga pelaku yang melakukan pemerkosaan hampir setahun. Para pelajar SMA ini ditangkap pada November 2004.

Berdasar investigasi lanjutan, tiga orang itu bukan korban terakhir. Ada ada dua siswi lain yang belum berhasil teridentifikasi. Ada juga kemungkinan pelaku lain sebanyak 30 sampai 70 orang.

Awalnya polisi hanya menangkap 3 dari 41 orang yang terlibat. Warga yang ramai-ramai menghujat membuat polisi menangkap 9 orang baru dan menetapkan 29 remaja sebagai pelaku tanpa penahanan. Dalam satu catatan, disebutkan pelaku mencapai 44 dan setiap orangnya tak kurang memerkosa sebanyak 4 kali.

Banyaknya protes dari kelompok perempuan, lembaga bantuan hukum, dan kelompok sipil lain tak mampu membuat pelaku dihukum seberat-beratnya. Salah satu pertimbangan terbesar adalah mereka masih berstatus remaja; belum dewasa. Hanya sebagian yang dikirim ke pengadilan remaja, sisanya dibebaskan.

Bahkan polisi membeberkan identitas lengkap korban kepada publik. Hal ini membuat mereka jadi sasaran balas dendam rekan dan orang tua pelaku. Salah satu keluarga mengancam korban agar “berhati-hati dari sekarang karena sudah melaporkan putra kami ke polisi.” Keluarga lain diduga juga ada yang berlatarbelakang “gangster.”

Salah satu ibu pelaku, dalam wawancara dengan Press Briefings, tidak menunjukkan penyesalan sama sekali. “Kenapa kami harus kasihan dengan keluarga korban? Kenapa kalian tidak memikirkan penderitaan kami? Siapa yang bisa menahan godaan ketika anak-anak perempuan itu mencoba menggoda anak laki-laki? Seharusnya mereka (keluarga korban) mengajari putri-putri mereka agar tahu bagaimana berperilaku supaya menghindari hal semacam ini.”

Salah satu faktor yang meringankan vonis hakim juga datang dari ayah salah satu korban sendiri.

Orang tua yang kerjanya mabuk-mabukan ini sudah bercerai dengan sang istri 3 tahun sebelumnya karena masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dia juga sering melakukan kekerasan pada anaknya. Dia bahkan tidak begitu paham duduk perkara kasus anaknya. Ibu dan tante korbanlah yang mengadukan kasus pemerkosaan ke polisi.

Berbekal janji manis tidak akan memukul dan berhenti minum-minum, dia meyakinkan anaknya untuk berdamai dengan pelaku. Sebagai ganjaran, dia mendapat jutaan won.

“Ayah korban ini, yang bahkan tidak tahu apa yang putrinya alami tahun sebelumnya sampai kasus ini diangkat ke publik, dipanggil untuk mengklaim otoritas patriarkinya dan menguasai seksualitas anaknya; untuk kesekian kalinya, patriarki secara ajaib terselamatkan,” catat Joo-hyun Cho dalam artikel berjudul Intersectionality Revealed: Sexual Politics in post-IMF Korea (2005).

Warga yang tak terima dengan ringannya vonis akhirnya melakukan apa yang di kemudian hari diberi label cancel kepada polisi dan keluarga pelaku. Mereka menyebar informasi pribadi dan foto pelaku di internet. Kota Miryang juga dicap sebagai “rumah bagi pemerkosa” dan “kota udik”. Beberapa dari mereka ada yang sepakat untuk datang langsung ke Miryang untuk memberikan hukuman dengan tangan sendiri.

Meski banyak nama dan foto yang beredar diketahui tidak benar, tapi cancel telah menjadi penyalur keputusasaan warga atas penegakan hukum yang klise: tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Aparat Tidak Becus

Tidak hanya pembelaan keluarga pelaku, kasus ini tidak diselesaikan dengan baik juga karena ketidakbecusan polisi. Dengan kata lain, tidak berpihak pada korban.

Ada beberapa indikasi penanganan tidak becus yang sudah muncul sejak awal. Pertama, polisi tidak menuruti permintaan keluarga korban agar korban diinterogasi oleh polisi perempuan. Informasi pribadi korban juga bocor ke media lalu ke publik gara-gara polisi. Ketiga, sewaktu interogasi, keluarga pelaku tidak jauh dari korban. Bukannya melindungi korban, polisi malah memberikan kesempatan bagi pelaku untuk mengancam.

Keempat, korban disuruh mengidentifikasi pelaku secara langsung melalui cermin satu arah sambal bertanya tentang pemerkosaan tanpa mempertimbangkan trauma. Pelaku juga sempat bersemuka lagi dengan korban di kantor polisi. Kelima, polisi ikut ambil bagian dalam menyudutkan korban.

“Kampung halamanku di Miryang, dan tindakan kalian telah bikin malu,” kata salah satu polisi di Ulsan kepada korban. Sumber lain mengatakan bahwa kalimat itu tidak lengkap. Kalimat yang hilang itu adalah: “Bukannya kalian menggoda dan kembali ke sana (Miryang) berulang kali karena kalian suka?”

Salah satu korban bahkan harus berobat karena tidak kuat dengan dampak psikologis yang didera selama investigasi.

Akibat kerugian-kerugian itu, ibu korban meminta ganti uang 110 juta won atau sekitar 100 ribu dolar AS. Tiga tahun setelah kasus itu, pengadilan memvonis polisi harus membayar ganti rugi 30 juta won kepada setiap korban dan saudarinya serta 10 juta won kepada ibu korban.

“Dengan membiarkan korban mengidentifikasi pelaku secara langsung, polisi gagal dalam melindungi hak-hak korban sehingga justru membuat mereka dipermalukan,” kata hakim Mahkamah Agung. “Aksi seperti itu tidak bisa dibenarkan meskipun dengan alasan mempercepat penyelidikan.”

Infografik Rape Culture

Infografik Rape Culture

Perspektif polisi Korsel saat menangani kasus pemerkosaan memang bermasalah. Penelitian yang dilakukan Joohee Lee, Changhan Lee, dan Wanhee Lee berjudul Attitudes Toward Women, Rape Myths, and Rape Perceptions Among Male Police Officers in South Korea (2011) terhadap 236 polisi laki-laki mengungkap mereka masih percaya dengan rape survivor myths, yang ringkasnya adalah mitos bahwa perempuanlah yang bertanggung jawab jika diperkosa, misalnya karena ia mengonsumsi alkohol atau karena pakaian yang dikenakan.

Disebutkan bahwa raper survivor myths “memainkan peran penting dalam menilai suatu peristiwa pemerkosaan.” Polisi-polisi yang percaya dengan rape survivor myths “cenderung memiliki atribusi yang lebih mendukung pemerkosaan dalam suatu skenario pemerkosaan.”

Bagi Joohee Lee, dkk., penting agar ada pendidikan tentang pemerkosaan terhadap para polisi di Korsel. Sebab, “kebijakan polisi dalam menentukan kasus sebagai pemerkosaan atau tidak sangat mungkin dipengaruhi oleh kepercayaan pribadinya, tanpa mempertimbangkan alasan-alasan kemungkinan kasus itu akan bisa diproses di pengadilan.”

Lebih lanjut mereka menulis: “Hubungan antara rape survivor myths dan persepsi tentang pemerkosaan di antara polisi ini bisa jadi mencerminkan sebagian pandangan sistem pidana Korea terhadap kasus pemerkosaan. Skenario yang ditanyakan dalam survei ini adalah kasus yang sebenarnya terjadi dan sudah dilaporkan ke polisi atau pusat konseling di Korsel. Sayangnya, jumlah kasus yang sejenis dengan contoh tersebut sering kali diabaikan sebagai kasus seks konsensual, dan bukan pemerkosaan.”

Dari sini kita paham bahwa masalah keberpihakan pada korban pemerkosaan tidak hanya ada pada lembaga penegak hukum Indonesia. Tak heran pula respons publik serupa: meng-cancel mereka yang dianggap tak dihukum dengan patut.

Baca juga artikel terkait PELECEHAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino