Menuju konten utama
Mira Kusumarini

Penanganan Deportan ISIS, "Bukan Pemenjaraan, tapi Rehabilitasi"

Pemerintah perlu bertindak bijak dalam mengatasi para simpatisan ISIS yang kembali dari Suriah ke Indonesia.

Penanganan Deportan ISIS,
Mira Kusumarini, Direktur Eksekutif C-Save. tirto.id/Sabit

tirto.id - Indikasi kuat peran jaringan deportan Suriah dalam serangan bom bunuh diri di Surabaya, 13 Mei lalu, memicu pertanyaan soal program deradikalisasi yang ditangani Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT): apakah berjalan dengan baik atau "cuma" menghabiskan anggaran?

Sejak ISIS diproklamirkan pada 2014 oleh Abu Bakar al-Baghdadi di Irak dan Suriah, dengan pusat birokrasinya ditempatkan di Mosul dan Raqqa, seketika impian khilfah membetot para simpatisan dari seluruh dunia, termasuk warga negara Indonesia.

Orang-orang ini pergi ke Suriah. Ada yang berharap hidup di bawah naungan khilafah, ada juga yang membawa tujuan berjihad. Belakangan, mereka menjadi masalah internal negara deportan setelah ISIS kalah dalam pertempuran, medio 2017. Di kawasan Asia Tenggara, para kombatan yang terafiliasi dengan ISIS juga kalah dalam perang kota di Marawi, Filipina.

Orang-orang yang terpikat pada negara ISIS ini kembali ke negara asal. Pemerintah Indonesia dibuat khawatir "alumni Suriah" bisa sewaktu-waktu berulah, dengan membawa pengalaman perang dan impian khilafah. Mereka bisa bertarung memperebutkan pengaruh di antara jaringan teror di Indonesia. Dalam rentang empat tahun terakhir, serangkaian bom menargetkan individu dan institusi polisi; dan dalam konteks bom bunuh diri di tiga gereja Surabaya, itu adalah yang terburuk selama sepuluh tahun terakhir.

Mira Kusumarini, Direktur Eksekutif C-Save, salah satu lembaga yang menaruh perhatian terhadap para simpatisan ISIS yang kembali dari Suriah ke Indonesia, mengatakan pemerintah perlu menangani mereka secara manusiawi, selain tentu terus berupaya membongkar jaringan pelaku terorisme.

Ia berkata bahwa butuh peran yang luar biasa agar simpatisan ISIS bisa kembali ke masyarakat dan tidak melebarkan ideologi teror. “Beri kesempatan kedua untuk bangkit dan hidup (kembali),” katanya kepada Tirto, 14 Mei. Ia menegaskan pemerintah perlu menyikapi kepulangan para deportan dengan sikap bijak.

Sejauh mana program dan kerja C-Save menangani para deportan Suriah?

Sebetulnya C-Save baru berdiri pada 2016, tapi anggota sudah berkegiatan lima sampai sepuluh tahun. Akhirnya kami sepakat mendirikan C-Save dan langsung mengadvokasi RUU Terorisme dengan DPR. Dalam rencana kerja C-Save, kami sudah melihat permasalahan penanganan orang-orang yang dideportasi. Waktu itu kami sudah tahu bahwa baru dibentuk kelompok kerja Foreign Terrorist Fighters (FTF) di BNPT. Sebagian banyak dari Densus 88 yang ditempatkan di situ.

Pada Januari 2017, dalam pemberitaan, ada 75 deportan dan kami langsung mengontak FTF, dan kami dikasih kontak ke Kemensos. Kami sepakat apa yang bisa kami bantu dan mulailah kami ikut mendampingi proses rehabilitasi para deportan Suriah.

Nah, awalnya yang kami lihat dan dengar, petugas tidak paham, apa sih terorisme dan apa itu ISIS, siapa deportan. Awalnya petugas bilang, mereka adalah orang-orang baik, tapi lama-lama jengkel. Lalu, akhirnya, mereka minta dibantu bagaimana memahami, kami pun memfasilitasi.

Akhirnya, kami memberi pelatihan kapasitas. Prosesnya berjalan. Selanjutnya, mereka berhasil dipulangkan. Konsepnya waktu itu: setelah pemulangan adalah fase penting, harus ada pendampingan di lapangan. Kami mengontak mitra lokal, 'Bisa enggak mendampingi keluarga deportan?" Akhirnya dilakukan pendampingan di lapangan.

Waktu berjalan itu ternyata Kemensos tidak punya SOP [prosedur menangani deportan] sama sekali. Nah, akhirnya kami sama-sama bikin SOP. Kami bikin lintas kementerian,dan selesai baru-baru ini. Setelah draf selesai, kami keliling ke beberapa daerah, karena peranan penting ada di pemerintah daerah. Harapannya ada peraturan presiden dari segi kebijakan.

Program kami adalah rehabilitasi. Dari BNPT ngasih sesi bernama "wawasan kebangsaan". Kami membantu dalam psikologi. Intinya, dari sisi kami, bagaimana deportan bisa siap pulang, siap untuk memulai hidup baru. Kami bantu pemulangan sampai diterima oleh keluarga.

Teman-teman di lapangan membantu proses reintegrasi: Bagaimana pemenuhan hak-hak sipil, misalnya KTP, Kartu Keluarga, akta kelahiran. Bagaimana pemda merespons kebutuhan-kebutuhan mereka, dan bagaimana proses reintegrasi masyarakat bisa terjadi dengan kegiatan pengembangan ekonomi. Intinya, jangan ada stigma, jangan ada diskriminasi. Hak-hak anak terpenuhi. Betul-betul para deportan dan returnee ini mulai dari nol.

Ada berapa klasifikasi para deportan Suriah?

Kalau kami pelajari ada tiga: sangat radikal; yang selalu berpindah atau mencoba selalu menghilangkan jejak; dan menolak pendampingan.

Berapa persen yang sangat radikal?

Dari total deportan dan returnee yang kami tangani, ada sekitar 20 persen.

Ada berapa total yang ditangani C-Save?

Deportan anak dan keluarga ada 230 orang, termasuk returnee.

Dari total itu, berapa persen yang masih mendapat pendampingan?

Sekitar 50 persen. Kurang lebih kami kover segitu karena kami kerja sama dengan LSM lokal.

Di antara jumlah deportan, siapa yang paling mendominasi?

Anak jumlahnya paling banyak (43 persen); sedangkan perempuan ada 35 persen. Jadi anak dan perempuan ada 78 persen.

Bagaimana dengan deportan yang tidak koperatif?

Campuran laki-laki dan perempuan. Pengalaman kami, perempuan juga cukup radikal. Bahkan, walaupun ada suaminya, dia ikut memimpin dalam proses pengambilan keputusan. Itu yang menjadi perhatian kami: perempuan tak cuma pendukung tapi pengambil keputusan.

Apakah yang 50 persen masih didampingi?

Dalam SOP, pendampingan dilakukan selama enam bulan. Setelahnya, ada monitoring. Bagaimana keberadaannya, ada masalah atau enggak; lalu ada evaluasi; kemudian closing, diputuskan pendampingan selesai.

Soal deportan yang kembali ke jaringan teror, apakah ada lagi?

Yang deportan itu ada Tomi Gunawan, Anggi Indah Kusuna. Waktu dipulangkan, kami tidak sempat melakukan pendampingan. Waktu dipulangkan, dia [Anggi] melarikan diri. Menghilangkan jejak. Kemudian ada kabar dia sudah ditangkap di Bandung. Anggi itu direncanakan sebagai pengantin (bom bunuh diri).

Apakah deportan ini lebih radikal dibanding returnee?

Relatif. Tidak selalu. Pengalaman yang kemarin, returnee memang menurut mereka motivasinya bukan ideologi, tapi religius. Jadi ingin tinggal di negeri Syam (Suriah). Tapi, kenyataan di lapangan, tidak sebagaimana janji-janji surga ISIS. Menurut mereka, empat bulan mereka tinggal di sana, mereka ingin kembali, tapi dilarang. Mereka berkata, pihak lelaki disuruh perang dan sempat ditahan di penjara ISIS.

Mereka akhirnya coba melarikan diri, tapi gagal. Akhirnya, mereka mendapat mediator dan mereka aman. Mereka diarahkan ke kamp pengungsi. Di situlah mereka dijemput pemerintah dan dipulangkan.

Dengan pengalaman itu, mereka merasa tertipu. Proses reintegrasi mereka sangat mudah. Mereka semangat lagi mau hidup baru, mau bersusah payah [kembali lagi ke masyarakat].

Ini berbeda dari deportan. Deportan belum sampai [masuk Suriah] dan mereka masih [penasaran]. Ketika ditanya apakah mereka ingin kembali, 90 persen menjawab ingin kembali.

Berapa deportan pergi ke Suriah lewat jaringan dan tanpa koneksi sama sekali?

Pasti ada koneksi. Semua terorganisir. Ada yang membiayai, ada yang memastikan tempat di sana, ada yang memastikan penyeberangan. Kami tahu jejaring ISIS itu ada, tetapi kami tidak tahu wujudnya seperti apa, dan siapa mereka dan apa yang mereka lakukan, kecuali intelijen.

Kelompok deportan ini mewujudkan soal jejaring ISIS yang tumbuh dan berkembang. Mereka ada karena proses rekrutmen, ada karena proses yang terorganisir, dan itu menjadi entry point kami untuk mengetahui jejaring mereka yang lebih dalam. Tapi itu bukan ranahnya civil society; kami hanya urusan kemanusiaan.

Kebanyakan dari deportan ini didanai atau mendanai sendiri ke Suriah?

Campur. Yang pasti, mereka punya modal untuk beli tiket. Sebetulnya yang perlu ditanyakan: mereka tinggal di Turki selama dua tahun itu dapat dari mana bisa tinggal di sana? Berarti ada yang mem-backup. Maksudnya, tidak mungkin hanya dengan menjual rumah di kampung. Tapi ada juga yang didanai dan ada juga yang mampu.

Di mana lokasi para deportan?

Kebanyakan di Jawa Barat; kedua di Jawa Tengah; ketiga di Jawa Timur; keempat di Sumatera.

Sebelum periode pemulangan 2017, apakah ada pemulangan lagi?

Sebelum 2017 itu ada pemulangan, tapi tidak ada pendampingan. Itu tahun 2015 dan 2016.

Dalam RUU Terorisme, dibahas juga terkait penangkapan para deportan, apakah ini menyelesaikan masalah?

Menurut saya itu koridor hukum. Sekarang, yang kami advokasi adalah: pertama, terjadi rekrutmen di dalam Lapas. Mereka yang menjalani hukuman itu kebanyakan teroris yang semula direkrut di Lapas, naik pangkat, yang tadinya hanya simpatisan, salah tempat atau apa, akhirnya punya posisi dan disegani. Terjadilah proses rekrutmen.

Nah, kami ingin proses ini berimbang dan adil. Bisa jadi pemenjaraan bukan solusi. Sebenarnya Indonesia telah meninggalkan proses penghukuman. Sekarang ke rehabilitasi.

Ke depan, kami ingin mengadvokasi bahwa mereka tidak usah di penjara. Rehabilitasi saja di panti-panti; kami sedang memperkuat sistemnya.

Bagaimana Anda melihat rencana penangkapan para deportan Suriah karena dianggap bisa menjadi penyebab masalah ke depan?

Harusnya pemerintah bijak. Tidak mengeluarkan pernyataan kontraproduktif yang dapat memunculkan stigma. Bukan kami mau membela. Berimbang. Jangan sampai-sampai menyebabkan penghakiman massa. Mereka juga manusia. Satu kali jatuh. Dan beri kesempatan kedua untuk bangkit dan hidup [kembali] di tengah masyarakat.

Dari para deportan dan returnee ini, berapa persen yang bisa direhabilitasi?

Saya tidak bisa bilang persen. Karena ada beberapa. Saya sudah bilang bahwa latar belakang motivasi menentukan proses. Mereka kurang lebih 20-30 persen yang berangkat bukan karena ideologi, keluarga-keluarga yang tidak punya motivasi ideologi.

Baca juga artikel terkait TERORISME atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Indepth
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan & Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam