Menuju konten utama

Pemilu 2024, NU-Muhammadiyah Ingatkan Bahaya Politik Identitas

Politik identitas akan mendorong sentimen dan perpecahan di dalam masyarakat.

Pemilu 2024, NU-Muhammadiyah Ingatkan Bahaya Politik Identitas
Ketua umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (kanan) bersama ketua umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir (tengah) dan Sekretaris umum PP Muhamadiyah (kiri) Abdul Muti (kiri) berfoto bersama usai memberikan keterang pers, di kantor PBNU, Jakarta, Kamis (25/5/2023). ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/hp.

tirto.id -

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah menilai politik identitas sangat berbahaya dan akan menimbulkan sentimen atas nama agama maupun golongan.

Ketua Umum (Ketum) PBNU, Yahya Cholil Staquf memandang politik identitas sangat berbahaya bagi integritas masyarakat.

"Kami memandang bahwa politik identitas ini politik yang mengedepankan identitas kelompok-kelompok primordial. Ini berbahaya bagi integritas masyarakat secara keseluruhan karena itu akan mendorong perpecahan di dalam masyarakat," kata Yahya di Kantor PBNU, Kamis (25/5/2023).

Pria yang akrab disapa Gus Yahya ini juga secara pribadi menyatakan tidak ingin politik berdasarkan identitas agama Islam maupun Nahdhatul Ulama (NU) digunakan pada kontestasi politik Pemilu 2024.

"Jadi kami tidak mau nanti ada kompetitor kampanye 'Pilih orang NU' misalnya. Kami ndak mau itu. Kalau mau bertarung ya harus dengan tawaran-tawaran yang rasional ini yang kami harapkan," tuturnya.

Menurutnya, politik identitas hanya menyandarkan penggalangan dukungan berdasarkan identitas-identitas primordial saja atau mengutamakan identitas primordial tanpa ada kompetisi yang lebih rasional dan menyangkut hal-hal yang lebih visioner.

"Seperti menyangkut tawaran-tawaran agenda yang yang bisa di persandingkan antara satu kompetitor dengan kompetitor yang lainnya," pungkasnya.

Pada waktu yang sama, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir juga menilai politik identitas akan menimbulkan sentimen-sentimen atas nama suku, agama, ras, dan antar-golongan yang kemudian akhirnya membawa pada polarisasi.

"Bukan hanya secara inklusif, bahkan di tubuh setiap komunitas, golongan itu bisa terjadi fiksi seperti yang disampaikan Gus Yahya. Saya pikir kita semua clear untuk, mari kita berkontestasi mengedepankan politik yang objektif yang rasional yang ada di dalam koridor demokrasi modern," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait PERTEMUAN NU-MUHAMMADIYAH atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Restu Diantina Putri