Menuju konten utama

Pemilu 2019 Dinilai Berpotensi Jadi Pemilu Terburuk di Indonesia

Arif mengatakan, setidaknya terdapat enam potensi yang membuat Pemilu 2019 bisa menjadi yang terburuk.

Pemilu 2019 Dinilai Berpotensi Jadi Pemilu Terburuk di Indonesia
Ilustrasi Kotak suara KPU. ANTARA News/Ridwan Triatmodjo

tirto.id - Analis politik dari Exposit Strategic Arif Susanto menilai, Pemilu 2019 berpotensi menjadi Pemilu terburuk apabila KPU dan Bawaslu gagal mengatasi berbagai masalah yang mulai bermunculan menjelang pelaksanaannya pada 17 April 2019 mendatang.

Arif mengatakan, persoalan Pemilu 2019 ini lebih kompleks dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya, karena pertama kali diadakan secara serentak antara Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg).

Menurut Arif, setidaknya terdapat enam potensi yang membuat Pemilu 2019 bisa menjadi yang terburuk. Pertama, penetapan partai politik yang sudah bermasalah sejak awal hingga mengakibatkan KPU dan Bawaslu sempat berselisih soal parpol yang lolos ke ajang Pemilu.

"KPU dan Bawaslu sempat berselisih mengenai kelayakan partai-partai untuk lolos ke dalam peserta pemilu sehingga akhirnya muncul tambahan mendapati ada 16 parpol," ujar Arif dalam diskusi bertajuk “Ribet Pemilu Apakah Berujung Delegitimasi” di Kafe Canoral, Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (14/3/2019).

Masalah kedua ialah ketidaktegasan penyelenggara pemilu soal adanya praktik uang mahar. Kasus itu melibatkan pasangan calon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno saat itu yang diawali pernyataan politikus Demokrat Andi Arief mengenai dugaan uang mahar dalam proses pemilihan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Kata Arif, sampai saat ini kasus ini menguap begitu saja tanpa adanya tindak lanjut penanganan perkaranya. "Dugaan saya penyelenggara tidak percaya diri [untuk mengusut]," ucap Arif.

Ketiga, persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang terus muncul. Padahal, pencoblosan bakal dilaksanakan kurang lebih sebulan lagi. Masalah itu di antaranya masuknya data e-KTP 370 WNA ke dalam DPT, potensi munculnya pemilih ganda hingga kemungkinan 5.000 orang tidak masuk DPT karena baru berusia 17 tahun April nanti.

Keempat, masuknya 81 calon legislator berstatus mantan narapidana kasus korupsi juga dianggap Arif menjadi masalah. Ia menilai diloloskannya eks napi koruptor menjadi caleg bisa saja membuat pemilih enggan berpartisipasi mencoblos pada Pemilu 2019 nanti.

Kelima, maraknya politik kebencian berbasis identitas dan maraknya hoaks. Arif menilai ada kejanggalan lantaran pelaku yang ditangkap hanya berada di tingkat bawah, tak sampai ke aktor utamanya.

"Kebohongan-kebohongan itu disusun secara sistematis, by design. Tetapi uniknya penegakan hukum itu lebih banyak menyentuh kepada meraka-mereka pelaku di bawah, bukan aktor intelektualnya, yang menyebar hoaks, bukan yang mendesain hoaks itu sendiri," tutur Arif.

Persoalan besar juga tampak pada aspek tempat pemungutan suara (TPS), khususnya jumlah bilik suara yang tak memadai jika dibandingkan dengan jumlah pemilih. Kata Arif, masalah ini bisa mempengaruhi waktu pencoblosan dan mengakibatkan molormya proses penghitungan surat suara.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti menilai masalah masuknya WNA ke dalam DPT merupakan hal kecil bila ditinjau dari jumlahnya. Hingga kemarin, 370 WNA pemilik e-KTP telah dicoret KPU dari DPT.

Meski jumlah ini dianggap kecil, namun Ray melihat, secara politik, hal ini dapat menjadi pintu masuk upaya delegitimasi pemilu. Ia pun mendesak KPU untuk membereskan masalah ini dengan cepat bila tidak ingin merasa terdelegitimasi sebagai lembaga penyelenggara.

"Adanya masalah-masalah tersebut terlihat KPU seolah membuka diri untuk terus dikritik," pungkas Ray.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Politik
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Alexander Haryanto