Menuju konten utama

Pemerkosa Anak Bebas, LBH Apik: Perempuan Aceh Makin Takut Melapor

LBH APIK juga menyoroti qanun jinayat Aceh yang sangat berbahaya bagi korban kekerasan seksual karena berpotensi mengkriminalisasi korban.

Pemerkosa Anak Bebas, LBH Apik: Perempuan Aceh Makin Takut Melapor
Ilustrasi Kekerasan Seksual. FOTO/iStockphoto

tirto.id - LBH Apik mengecam keras putusan bebas yang diberikan oleh Mahkamah Syariah Aceh terhadap MA dan DP atas kasus pemerkosaan terhadap anak di bawah umur yang tak lain adalah anak dan keponakan mereka sendiri. Putusan ini membuat perempuan, khususnya di Aceh, semakin takut melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya.

"Ini sangat mencederai keadilan bagi korban, dan korban-korban lainnya di Aceh untuk akses keadilan atau melaporkan ke polisi pasti akan berpikir panjang," kata Direktur LBH Apik Siti Mazuma kepada Tirto pada Selasa (17/6/2021).

Mahkamah Agung (MA) sudah mengeluarkan Peraturan MA Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum. Salah satu poinnya adalah, hakim harus memiliki perspektif gender dalam menangani kasus yang melibatkan perempuan, termasuk perspektif korban dalam menangani kasus kekerasan seksual.

Siti mengatakan, di sejumlah daerah khususnya DKI Jakarta dan sekitarnya, pedoman itu sudah dilaksanakan dengan cukup baik. Banyak kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak yang diganjar dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara. Namun kejadian ini menjadi pengingat, ternyata pedoman itu belum dipegang oleh hakim-hakim lainnya yang ada di daerah.

Karenanya, Siti menilai Mahkamah Agung perlu lebih gencar mensosialisasikan Perma tersebut agar tak ada lagi korban kekerasan seksual yang gagal mendapat keadilan.

"Aparat penegak hukum harus memiliki perspektif terhadap korban karena jangan sampai korban yang sudah menjadi korban ini, menjadi korban lagi dalam artian oleh sistem hukum yang tidak memiliki perspektif," kata Siti.

Siti pun menyoroti qanun jinayat Aceh yang sangat berbahaya bagi korban kekerasan seksual. Bukan sekali dua kali Siti mendapati laporan dari perempuan korban kekerasan seksual yang diancam akan diproses hukum sebagai pelaku perzinahan ketika mengadukan kekerasan seksual yang dialami ke polisi.

LBH Apik juga pernah menangani kasus di Aceh, seorang perempuan mengalami kekerasan seksual hingga hamil, tetapi justru korban yang dipersalahkan dan diusir dari lingkungannya.

Karenanya, ia menuntut ada intervensi dari pemerintah pusat terhadap penerapan qanun jinayat di Aceh.

"Jangan sampai perempuan-peremouan korban ini menjadi korban kekerasan kembali. Seharusnya dia mendapat keadilan tapi justru dia diancam dengan kriminalisasi," kata Siti.

Sebelumnya, seorang anak perempuan berusia 10 tahun dilaporkan telah diperkosa oleh ayah dan pamannya. Hal itu pun telah didukung oleh hasil visum dari Puskesmas setempat dan keterangan dari saksi ahli psikolog.

Jaksa penuntut umum menuntut masing-masing terdakwa dipidana dengan hukuman 200 bulan penjara atas perbuatannya. Namun, majelis hakim Mahkamah Syariah Jantho memutus bebas sang ayah, dan memvonis sang paman dengan hukuman 200 bulan penjara karena terbukti melakukan pemerkosaan.

Sang paman dan pengacaranya masih berusaha membela diri dan mengajukan banding ke Mahkamah Syariah Aceh.

Majelis hakim Mahkamah Syariah Aceh pun menyatakan sang paman tidak bersalah dan membebaskannya. Hakim menolak keterangan korban di persidangan karena korban hanya menjawab dengan anggukan dan gelengan ketika ditanya mengenai pemerkosaan yang dialaminya. Menurut hakim, karena korban bukan tuna wicara semestinya ia menjawab dengan lisannya.

"Mahkamah Syar'iyah Aceh berpendapat kesaksian anak korban yang di depan sidang pada tanggal 12 Januari 2021 dengan bahasa isyarat tersebut tidak memenuhi syarat sebagai alat bukti saksi, karena anak korban dalam kesehariannya bukan seorang tuna wicara dan bukan pula pengidap tunarungu sehingga harus memberikan kesaksian dengan bahasa isyarat.

Terjemahan yang diberikan dalam Berita Acara Sidang terhadap jawaban saksi anak korban merupakan imajinasi yang dapat dinilai tidak bersifat objektif dalam proses pembuktian," demikian tertulis dalam dokumen putusan Majelis Syariah Aceh.

Selain itu, majelis hakim Syariah Aceh memandang justru ada upaya penggiringan bahwa Diki adalah pelaku pemerkosaan. Hakim pun menolak keterangan saksi-saksi sebab keterangan mereka hanya diperoleh dari keterangan korban. Selain itu, saksi tidak menerangkan indikasi terdakwa kerap melakukan perbuatan yang berrntangan dengan norma dan etika masyarakat seperti memeluk korban atau menggendong korban.

Atas hasil pemeriksaan ahli psikolog, majelis hakim menafsirkan korban berada dalam kondisi yang tidak stabil dan cenderung tidak percaya diri sehingga rentan untuk dipengaruhi orang lain.

Hakim juga menyangkal hasil visum. Menurut hakim, hasil visum tidak menunjukkan adanya bekas kekerasan seksual yang terjadi berulang-ulang. Selain itu hasil visum tidak menunjukkan bahwa terdakwa adalah pelakunya.

"Menyatakan Terdakwa ….. tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan jarimah pemerkosaan terhadap orang yang memiliki hubungan mahram dengannya (……), sebagaimana dakwaan alternatif kedua, yang diatur dalam pasal 49 Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat," demikian tertulis dalam putusan hakim.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Restu Diantina Putri