Menuju konten utama

Pemerintah Tolak Impor KRL Bekas dari Jepang, Ini Alasannya

BPKP tidak merekomendasikan Indonesia impor KRL bekas dari Jepang.

Pemerintah Tolak Impor KRL Bekas dari Jepang, Ini Alasannya
Rangkaian kereta listrik (KRL) Commuterline tiba di Stasiun Tangerang, Banten, Kamis (29/12/2022).ANTARA FOTO/Fauzan/tom.

tirto.id - Kementerian Koordinasi Bidang Kemaritiman dan Investasi telah menerima hasil dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait audit impor KRL bekas dari Jepang. Hasilnya dinyatakan tidak direkomendasikan untuk dilakukan impor.

Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves, Septian Hario Seto menjelaskan ada empat hal yang menjadi pertimbangan utama dalam review tersebut. Pertama, rencana impor KRL bukan baru dinilai tidak mendukung pengembangan industri perkeretaapian nasional.

Hal itu berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 175 Tahun 2015 tentang Standar Spesifikasi Teknis Kereta Kecepatan Normal dengan Penggerak Sendiri. Dalam peraturan tersebut, ditetapkan persyaratan umum pengadaan sarana kereta kecepatan normal dengan penggerak sendiri termasuk KRL ini harus memenuhi spesifikasi teknis yang salah satunya adalah mengutamakan produk dalam negeri.

Kedua, Kementerian Perdagangan juga sudah memberikan tanggapan terkait dengan permohonan dispensasi impor KRL dalam keadaan tidak baru yang menyatakan tidak dapat dipertimbangkan karena fokus pemerintah yaitu pada peningkatan produksi dalam negeri dan substitusi impor melalui program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN).

“KRL bukan baru yang akan diimpor dari Jepang tidak memenuhi kriteria sebagai barang modal bukan baru yang dapat diimpor sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Perdagangan yang mengatur kebijakan dan pengaturan impor,” katanya dalam konferensi pers di Kantornya, Jakarta, Kamis (6/4/2023).

Seto menuturkan dalam PP dan Permendag dijelaskan barang modal bukan baru yang dapat diimpor adalah barang modal bukan baru yang belum dapat dipenuhi dari sumber dalam negeri dalam rangka proses produksi industri untuk tujuan pengembangan ekspor, peningkatan daya saing. Kemudian efisiensi usaha, pembangunan infrastruktur, dan/atau diekspor kembali atau barang/peralatan dalam kondisi tidak baru dalam rangka pemulihan dan pembangunan kembali sebagai akibat bencana alam, serta barang bukan baru untuk keperluan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Jadi tadi sudah disebutkan itu (impor) bisa dilakukan kalau belum bisa diproduksi di dalam negeri,” ujarnya.

Lebih lanjut, dia menjelaskan dalam review tersebut BPKP menjelaskan beberapa alasan teknis terkait dengan alasan impor yang diajukan PT KCI kurang tepat. Hal tersebut karena ada beberapa unit sarana sebenarnya masih bisa dioptimalkan untuk penggunaannya.

“Saya tidak mau masuk terlalu detail terkait alasan teknis ini, tapi dari BPKP menemukan temuan seperti itu," imbuhnya.

Keempat, Seto menyampaikan bahwa jumlah KRL beroperasi saat ini 1.114 unit, tidak termasuk 48 unit yang aktiva tetap diberhentikan dari operasi dan 36 unit yang dikonversi sementara.

“Overload (kelebihan kapasitas) ini memang terjadi pada jam-jam peak hour (puncak). Namun secara keseluruhan untuk okupansi tahun 2023 adalah 62,75 persen. Pada 2024 diperkirakan masih 79 persen dan 2025 sebanyak 83 persen. Ini data dari BPKP,” katanya.

Berdasarkan laporan review BPKP itu juga disebutkan pada tahun 2019 jumlah armada yang siap guna sebanyak 1.078 unit yang mampu melayani 336,3 juta penumpang. Sedangkan di 2023 dengan jumlah penumpang diperkirakan 273,6 juta penumpang, jumlah armada yang ada adalah 1.114 unit.

“Jadi di 2023 armadanya lebih banyak, tapi estimasi penumpangnya tetap jauh lebih sedikit dibandingkan 2019 yang jumlah armadanya lebih sedikit,” tuturnya.

Seto juga mengungkapkan temuan soal estimasi biaya impor KRL bekas. Ia menyebut biaya yang bisa diestimasikan dengan reliable oleh BPKP adalah biaya pengadaan dari Japan Railway.

Dia juga menyebut kewajaran biaya handling dan transportasi dari Jepang ke Indonesia, yang diajukan PT KCI tidak dapat diyakini karena perhitungannya tidak berdasarkan survei harga, melainkan hanya berdasarkan biaya impor KRL bukan baru pada tahun 2018 ditambah 15 persen.

“Hasil klarifikasi dengan Pelindo, kontainer yang tersedia hanya 20 feet dan 40 feet, sehingga pengangkutan dan pengiriman kereta harus menggunakan kapal kargo sendiri. Ini tentu saja bisa menyebabkan penambahan biaya yang harus diestimasikan dengan akurat,” pungkas dia.

Baca juga artikel terkait IMPOR KRL BEKAS atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin