Menuju konten utama

Pemerintah Shutdown: Elite Politik Ribut, Publik Jadi Korban

Pemerintah shutdown otomatis meliburkan para pegawai negeri dan mengganggu pelayanan publik mulai dari bidang kesehatan hingga pajak.

Pemerintah Shutdown: Elite Politik Ribut, Publik Jadi Korban
Warga Amerika-Yaman yang tinggal di New York berdemo atas pelarangan perjalanan dan penolakan permohonan visa oleh Presiden Donald Trump di Foley Square, Manhattan, New York, Amerika Serikat, 27 Desember 2017. ANTARA FOTO/REUTERS/Amr Alfiky/File Photo

tirto.id - Gontok-gontokan politis antara eksekutif dan legislatif kerap memanas di dalam pembahasan anggaran di berbagai negara. Namun, Indonesia punya pilihan. Jika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tak menyetujui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dari pemerintah, sesuai UUD 1945 Pasal 23, pemerintah bisa menggunakan APBN tahun sebelumnya.

Amerika Serikat berbeda. Jika politisi elite-nya tak berhasil merumuskan Undang-undang (UU) tentang dana operasional pemerintahan, terjadi lah 'government shutdown'.

UU tersebut seharusnya ditandatangani oleh Presiden Donald Trump pada Jumat (19/1/2018) malam. Namun karena tidak terjadi penandatanganan, pemerintahan federal terpaksa melakukan 'penutupan pemerintahan'.

Artinya, warga AS tidak akan mendapat pelayanan dari sejumlah lembaga publik secara sementara. Diprediksikan 'government shutdown' akan berlangsung hingga minggu kedua Februari 2018 dan menghentikan sementara pelayanan departemen urusan perdagangan, ketenagakerjaan, perumahan, energi, hingga NASA.

Merujuk catatan BBC News, rancangan anggaran dibuat oleh para elite Partai Republikan di House of Representatives, lembaga legislatif AS, dan Senat. Mereka turut memasukkan keinginan-keinginan kubu Demokrat agar lebih sulit ditolak oleh Demokrat.

Meski demikian, perihal pajak kesehatan yang diperjuangkan kubu Demokrat ditangguhkan dalam rancangan tersebut. Mereka juga menawarkan otoritasi penuh untuk Program Jaminan Kesehatan Anak-Anak (Children's Health Insurance Programme/CHIP) yang memberikan talangan bagi keluarga berpenghasilan rendah.

Pada Rabu (17/1/2018) kubu Republikan tampak percaya diri. Kesalahannya adalah mereka menantang Demokrat untuk memblokir rancangan di Senat dengan menyatakan akan menghalangi keluarnya dana CHIP, dengan kata lain, mempersulit dana talangan untuk kebutuhan anak-anak miskin di AS. Demokrat terpancing, dan kemudian melancarkan lobi-lobi agar ada perubahan dalam konten rancangan UU yang menguntungkan mereka.

Trump, yang kini menjadi kebanggaan warga Republikan, menambah rumit keadaan karena mencuit tidak mendukung dimasukkannya dana CHIP ke rancangan UU. Juru Bicara Gedung Putih sampai perlu menegaskan bahwa Trump masih mendukung UU.

Namun sikap Trump terlanjur membuat beberapa politisi Republikan memilih tak mendukung rancangan UU. Di sisi lain, Demokrat kian bersemangat memblok lolosnya UU dengan mengklaim punya jumlah suara yang cukup. Hasilnya, rancangan UU gagal lolos dengan selisih suara 50-49, jauh dari minimal 60 suara.

Menurut catatan NBC News, pemerintah AS telah melaksanakan 19 kali 'government shutdown' sejak 1976 hingga 2018. Beberapa di antaranya terjadi hanya satu hari, antara lain di tahun 1982, 1984, 1986, dan 1987. Lainnya ada yang berlangsung lebih dari 10 hari, yakni pada 1977, 1978, dan 2013. Sementara yang terlama yakni terjadi pada 5 Desember 1995 hingga 6 Januari 1996 dengan total 21 hari.

Publik AS selalu jadi pihak yang paling dirugikan. Dalam kasus awal tahun ini, CNN menurunkan sejumlah kekhawatiran yang didasarkan pada 'government shutdown' era Presiden Barack Obama. Pada 2013 terjadi 'government shutdown' selama 16 hari, atau yang terpanjang ketiga dalam sejarah. Saat itu 800.000-an pegawai negari dipaksa cuti dan 1 juta lainnya mengalami penundaan gaji. Setelah dihitung-hitung, kasus tersebut memakan total biaya $24 miliar atau $1,5 miliar per hari.

Masih merujuk laporan CNN, berdasarkan perencanaan darurat (contingency plan) pemerintah pada 2017, sebanyak 41.203 dari 82.148 pekerja di Departemen Kesehatan dan Pelayanan akan diliburkan. 'Government shutdown' akan berdampak buruk karena sekarang wabah flu sedang buruk-buruknya. Jika para pekerja berkurang, maka penanganan akan tak maksimal, demikian kara Dr. Irwin Redlener selaku Direktur Pusat Kesiapsiagaan Bencana, Universitas Columbia.

Administrasi Makanan dan Obat-Obatan (Food and Drugs Administration/FDA) akan kepayahan dalam tugas memastikan bahwa makanan dan obat-obatan di AS aman untuk dikonsumsi. Pada 'government shutdown' 2013, FDA menghentikan inspeksi terhadap lebih dari 500 jenis makanan. Masyarakat khawatir sebab seminggu sebelumnya ditemukan wabah salmonella yang resisten terhadap produk ayam mentah. Tiga puluh pekerja yang sedang diliburkan saat itu terpaksa diaktifkan lagi.

Pasien-pasien penyakit tertentu harus menunggu pengobatan lebih lama akibat 'government shutdown'. Berkaca pada kasus 2013, ratusan pasien tak diizinkan mendaftar uji klinis pengobatan yang dilakukan Institusi Kesehatan Nasional (NIH). Ada 77 persen pekerja NIH diliburkan, termasuk empat dari lima penerima Nobel yang sedang bekerja merumuskan karya ilmiah penting. Sembilan puluh persen petugas di Bantuan Penyalahgunaan Zat dan Kesehatan Mental AS juga dipulangkan hingga waktu yang belum bisa dipastikan.

Pada 2013 jaminan sosial untuk para veteran menumpuk sehingga harus menunggu lebih lama untuk mendapatkan haknya. Kondisi yang sama bisa terjadi lagi dalam 'government shutdown' kali ini. Bantuan itu meliputi uang sewa rumah, uang makan, penyembuhan mental, konseling, dan hal-hal lain. Para pekerja di departemen yang dikhususkan mengurusi masalah tersebut otomatis juga diliburkan.

Hak warga AS untuk tetap terganggu oleh 'government shutdown' 2013. Kala itu inspeksi terhadap 1.200 sistem air minum dan tempat pembuangan limbah dihentikan. Otoritas terkait hanya diperbolehkan menyelesaikan pekerjaan pada produk-produk yang dianggap punya potensi ancaman jangka pendek.

AS adalah negara yang obsesif untuk proyek luar angkasanya. 'Shutdown' kali ini pun membuat sekitar 17.500 pegawai Badan Antariksa AS (NASA) dicutikan. Jumlah tersebut merepresentasikan 85 persen dari total karyawan. Ada larangan menyentuh objek-objek yang sedang dikerjakan, para pegawai NASA diprediksi harus memulai ulang riset. Akses tur di markas NASA juga akan ditunda sementara hingga status 'shutdown' diangkat.

Badan urusan pajak AS (IRS) akan hanya mempekerjakan setengah karyawannya. Padahal Trump baru saja menandatangani UU Pajak baru yang baru akan berdampak ke warga AS mulai bulan Januari ini. Sementara warga AS akan banyak yang menghubungi IRS untuk mengurus kewajibannya, IRS sendiri akan kewalahan akibat para pekerjanya libur.

Dalam catatan New York Times, 'government shutdown' kali ini akan mencutikan sebagian besar dari 8.000 pegawai departemen urusan pembangunan rumah dan kota, 4.000 pegawai departemen pendidikan, 48.000 pegawai departemen perdagangan, 15.000 pegawai departemen ketenagakerjaan, 70.000 pegawai departemen dalam negeri, dan 44.000 pegawai departemen keuangan.

Selain itu, sekitar 41.000 pegawai departemen kesehatan cuti, 370.000 pegawai departemen pertahanan, 55.000 pegawai departemen transportasi, sebagian besar dari 115.000 pegawai departemen peradilan, dan sebagian kecil dari total pegawai departemen-departemen lainnya.

Dr. Irwin Redlener menyatakan kekesalannya kepada CNN sebab para elite politik sibuk mengedepankan kepentingan mereka namun lupa akan kepentingan yang lebih luas.

infografik negara tutup sementara

"Hal yang sangat menyebalkan adalah bahwa alasan untuk penutupan ini terang-terangan politis. Kami tidak dapat mengerti mengapa pembuat undang-undang menempatkan politik di atas kesehatan dan kesejahteraan negara ini. Tidak masuk akal," katanya.

Dalam laporan Financial Times, usai 'government shutdown' diresmikan, politisi Republikan dan Demokrat masih saja lempar status kambing hitam. 'Shutdown' membatalkan rencana perayaan satu tahun masa pemerintahan Trump. Trump batal hadir di sebuah pesta di klub Mar-a-Lagi pada Sabtu (20/1/2018) dan tak dijamin bakal menghadiri Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, pada 23-26 Januari 2018.

Dalam laporan agensi media pemerintah China yang dikutip Washington Post, Senin (22/1/2018), 'government shutdown' yang hanya terjadi di AS memperlihatkan berapa “kacaunya sistem politik” di negara tersebut. Mereka juga turut mengejek Trump yang tak mampu untuk mendorong teman-teman Republikannya agar RUU bisa diloloskan. Orang-orang Eropa pun menilai bahwa 'government shutdown' memang khas AS.

Di Australia, misalnya, rancangan anggaran tahunan harus diloloskan atau pemerintah biasanya akan dipaksa untuk mengundurkan diri atau parlemen diminta untuk bubar. Namun, Australia memang mengatur agar pemerintahnya juga didukung oleh mayoritas anggota parlemen, sehingga konflik keras dalam pembahasan rancangan anggaran bisa dihindari. Jika pun tak lolos, tak serta-merta keuangan negara berhenti total. Yang terjadi hanyalah penundaan pendanaan di beberapa sektor.

Mekanisme yang serupa juga sudah lama berlangsung di negara-negara yang mengadopsi parlemen ala Inggris seperti Selandia Baru, Bangladesh, atau Kanada. Di negara-negara tersebut, para pemilih dalam voting rancangan anggaran negara biasanya mewakili suara mayoritas pemerintah. Sementara di AS, masing-masing kubu kadang tak bulat suaranya. Suara final bisa berbalik akibat intensitas lobi yang tinggi.

Di Jerman dan negara Eropa lain, sistem yang berlaku mirip di Indonesia. Jika terjadi tarik-ulur yang tak berkesudahan, anggota parlemen akan memakai ketetapan anggaran tahun lalu atau di periode terdekat sebelumnya. Dengan demikian, belanja negara tetap lancar, pegawai tetap digaji, dan lembaga-lembaga pemerintahan bisa beroperasi dengan normal.

Baca juga artikel terkait PEMERINTAHAN DONALD TRUMP atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Politik
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf