Menuju konten utama

Pemerintah Sederhanakan Izin Pembangunan Rumah

Pemerintah melakukan penyederhanaan proses perizinan pembangunan rumah bagi pengembang dengan memperpendek waktu perizinan dari 33 tahapan menjadi 11 tahapan dan dari 769 sampai 981 hari menjadi 44 hari. Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi biaya perizinan sebesar 30 persen.

Pemerintah Sederhanakan Izin Pembangunan Rumah
Pekerja membangun perumahan bersubsidi di Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Jumat (16/9). Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemenpupera) melakukan penyederhanaan perizinan pembangunan sebagai upaya percepatan program Satu Juta Rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan ditargetkan pada akhir 2016 ini dapat terbangun sekitar 700.000 unit. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra.

tirto.id - Pemerintah melakukan penyederhanaan proses perizinan pembangunan rumah bagi pengembang dengan memperpendek waktu perizinan dari 33 tahapan menjadi 11 tahapan dan dari 769 sampai 981 hari menjadi 44 hari. Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi biaya perizinan sebesar 30 persen.

"Semakin lama waktu mengurus perizinan semakin mahal harga rumah," kata Maurin Sitorus Dirjen Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen-PUPR) di Jakarta, seperti dilansir dari kantor berita Antara, (Senin, 3/10/2016).

Dengan menurunnya biaya perizinan, Maurin menyatakan akan ada banyak pengembang yang bersedia membangun rumah untuk masyarakat berpenghasil rendah atau rumah bersubsidi. Maka, diharapkan tingkat kemampuan pembelian oleh masyarakat juga akan meningkat ke depannya.

"Dengan adanya penyederhanaan perizinan akan ada banyak pengembang yang membangun rumah bersubsidi untuk MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah)," katanya.

Dia juga menyatakan selain Instruksi Presiden terkait penyederhaan perizinan, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Perekonomian juga mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi ke-13 tentang Perumahan bagi MBR.

Maurin mengungkapkan tidak banyak warga yang bisa membeli rumah dengan uang tunai tetapi umumnya membeli dengan menggunakan kredit pemilikan rumah (KPR).

"Persoalan yang selalu kita hadapi adalah kenaikan harga rumah melebihi kenaikan penghasilan," katanya.

Ia kemudian menggambarkan penghasilan biasanya akan meningkat sekitar 5 persen per tahun, sedangkan harga rumah bisa mencapai hingga sekitar 20 persen per tahun.

Selain itu, ia membeberkan sebanyak 59 persen angkatan kerja merupakan tenaga kerja informal sehingga memiliki penghasilan tidak pasti. Karena itu pihak bank menilai angkatan kerja ini merupakan pihak yang beresiko tinggi bila diijinkan mengambil KPR.

Padahal, lanjutnya, meski angkatan kerja tersebut informal, namun ada yang penghasilannya jauh lebih besar dari tenaga kerja formal.

"Pemberian KPR ke pekerja informal masih sangat kecil. Dan ini yang menjadi perhatian utama Kementerian PUPR agar mereka bisa memiliki akses ke KPR, terutama KPR bersubsidi," katanya.

Ditjen Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR saat ini juga tengah merancang bantuan pembiayaan berdasarkan tabungan khusus untuk pekerja informal.

Program tersebut rencananya akan mulai dilaksanakan pada tahun 2017 di beberapa wilayah dahulu sebagai "pilot project" (proyek rintisan).

"Kami tengah merancang program bantuan pembiayaan berdasarkan tabungan dengan jangka waktu tertentu sekitar 6 bulan sampai 1 tahun yang kemudian akan diberikan bantuan oleh pemerintah sebesar 20 persen dari harga rumah dalam bentuk pinjaman uang muka dengan bunga rendah," paparnya.

Pada tahun 2017, Kementerian PUPR memiliki target penyerapan KPR Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) sebesar 375.000 unit dan Bantuan Uang Muka (BUM) sebesar 550.000 unit dengan alokasi anggaran sebesar Rp40,7 triliun.

Baca juga artikel terkait PERUMAHAN atau tulisan lainnya dari Mutaya Saroh

tirto.id - Bisnis
Reporter: Mutaya Saroh
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Mutaya Saroh