Menuju konten utama

Pemerintah Percepat Pengakuan Reog sebagai Budaya RI di UNESCO

Muhadjir sebut pengakuan Reog sebagai warisan budaya Indonesia sudah berlangsung sejak 2013 dan diusulkan ke UNESCO pada 18 Februari 2022.

Pemerintah Percepat Pengakuan Reog sebagai Budaya RI di UNESCO
Penari reog menghibur penonton saat Gebyar Budaya Parade Reog Ponorogo di Lapangan Nambangan Kidul, Kota Madiun, Jawa Timur, Selasa (5/2/2019). ANTARA FOTO/Siswowidodo

tirto.id - Pemerintah berupaya mempercepat pengakuan Reog agar menjadi warisan budaya tak benda milik Indonesia di UNESCO. Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, pengakuan Reog sebagai warisan budaya Indonesia sudah berlangsung sejak 2013.

Pemerintah terus berupaya menyelesaikan administrasi agar Reog diakui milik Indonesia di UNESCO dalam kurun waktu 4 tahun terakhir hingga akhirnya diusulkan pada 18 Februari 2022, kata Muhadjir.

“Kalau di Indonesia, kan, Reog Ponorogo sudah lama diakui sebagai warisan budaya tak benda sejak 2013. Selama kurun waktu 4 tahun berjalan pemerintah sudah melengkapi dan menyempurnakan semua persyaratan untuk diusulkan ke UNESCO,” ungkapnya dalam keterangan tertulis, Kamis (7/4/2022).

Muhadjir mengaku, upaya pengakuan UNESCO dikerjakan oleh Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek. Pengisian persyaratan dan pembimbingan dilakukan bersama dengan masyarakat, komunitas, Pemerintah Ponorogo maupun pemerintah Jawa Timur agar pengusulan ke UNESCO tidak terkendala.

“Mudah-mudahan tidak ada kendala karena dalam persyaratan yang ditetapkan oleh UNESCO sudah sangat dipenuhi (kriterianya) oleh Reog,” kata Muhadjir.

Mantan Mendikbud ini mengaku ada kesulitan dalam upaya mendaftarkan ke UNESCO. Pemerintah mengajukan banyak kebudayaan untuk diakui UNESCO, tetapi pihak UNESCO membatasi pendaftarannya.

“Tidak boleh banyak-banyak karena diprotes oleh negara lain. UNESCO juga kerepotan sekali menerima pengajuan dari Indonesia yang begitu banyak,” kata Muhadjir.

Muhadjir juga menjawab soal klaim Malaysia bahwa Reog adalah budaya mereka. Menurut Muhadjir, setiap negara bisa mengajukan ke UNESCO. Kasus serupa juga terjadi dalam kasus Kulintang karena kebudayaan Kulintang diklaim milik Filipina.

Khusus kasus Reog, pemerintah meyakini kebudayaan tersebut milik Indonesia. Hal tersebut mengacu pada bukti sejarah atau legenda dan tradisi yang sudah mengakar merupakan bukti konkret bahwa Reog adalah seni yang berasal dari wilayah Jawa Timur bagian barat khususnya Ponorogo.

“Maka memang tidak akan ada ruangan untuk negara tertentu untuk bisa mengklaim bahwa dia juga memiliki kedekatan dengan budaya Reog ini. Itu yang akan kita lakukan,” tegas Muhadjir.

Tokoh PP Muhammadiyah ini menambahkan, masyarakat bersama dengan pemerintah harus mulai intensif mendata dan menginventarisir berbagai macam karya budaya, baik itu yng benda maupun tak benda. Ia mengingatkan pemerintah memperhatikan kebudayaan Indonesia sejak pengesahan UU No.5 tahun 2017 pada 2017.

“Jadi memang kita baru memiliki payung hukum yang kokoh itu baru beberapa tahun yang lalu, kira-kira 5 tahun yang lalu. Dan itu kemudian kita menjadi memiliki kekuatan bukan hanya hukum, tapi juga misalnya dana. Sekarang ini kan ada dana abadi kebudayaan yang akan kita himpun bersama dengan dana abadi pendidikan,” kata Muhadjir.

Ia menambahkan, dana tersebut kemudian akan digunakan untuk mendorong upaya pemerintah dalam memajukan kebudayaan nasional. “Tentunya dengan menggali berbagai macam nilai-nilai yang masih banyak mengendap di ruang kesadaran komunitas masing-masing,” tutur Muhadjir.

Terakhir, Muhadjir menilai, suatu budaya tidak harus konfrontatif. Bisa saja suatu budaya diklaim oleh beberapa negara kalau memang karya budaya itu sudah menyebar dan faktor penyebaran penduduk yang membawa nilai dari budaya tak benda.

“Misalnya Kolintang, itu kita harus berurusan dengan Filipina karena dua-duanya mengusulkan ke UNESCO dan tidak harus kok budaya tak benda hanya diklaim oleh satu negara,” tutur Muhadjir.

Baca juga artikel terkait REOG PONOROGO atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz