Menuju konten utama

Pemerintah Atur Target Testing Daerah: Tak Efektif Tangani Pandemi?

Target testing tiap daerah selama PPKM Level 4 dinilai kurang efektif dan tidak ideal dalam kondisi SDM nakes yang sudah kewalahan menghadapi pandemi.

Pemerintah Atur Target Testing Daerah: Tak Efektif Tangani Pandemi?
Petugas medis melakukan layanan tes cepat Antigen COVID-19 di rumah warga di Cimanggu, Tanah Sareal, Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu (7/7/2021). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.

tirto.id - Pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan baru dalam penanganan pandemi COVID. Kali ini, pemerintah memasang ambang batas minimum target tes COVID-19 di sejumlah daerah.

Hal ini terungkap setelah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menerbitkan Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 22 Tahun 2021 tentang PPKM Level 4 Jawa dan Bali. Sedangkan perpanjangan PPKM mikro diatur dalam Inmendagri Nomor 23 tahun 2021 tentang PPKM Berbasis Mikro.

Dalam dua dokumen Inmendagri yang diterbitkan, Selasa (20/7/2021) itu, pemerintah memasukkan syarat tes di suatu daerah. Pemerintah menetapkan batas daerah dengan positivity rate mingguan di bawah 5 persen harus mengetes minimal 1 per 1.000 penduduk, antara 5-10 di angka 5 per seribu penduduk hingga yang tertinggi dengan kasus positivity rate mingguan di atas 25 persen harus dites 15 per 1.000 penduduk.

Pemerintah juga mematok angka minimum testing di beberapa daerah. Dalam diktum ke-7 poin j Inmendagri 22/2021 misalnya, pemerintah mematok jumlah minimum orang yang diperiksa seperti di Jakarta Selatan (4.916 orang), Kota Bekasi (6.551 orang) maupun Kudus (1.896 orang). Pada Inmendagri 23/2021, hal tersebut diatur dalam diktum ke-12 poin j. Beberapa kota yang dipatok testing minimum adalah Kota Mataram (369 orang), Kota Banda Aceh (592 orang) dan Kota Medan (406 orang). Kedua Inmendagri mewajibkan tracing minimal 15 orang dan memberikan perawatan sesuai tingkat kegawatan.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemberian batas dilakukan bersamaan penetapan status level dalam penanganan pandemi sesuai ketentuan WHO. Ia menyebut, pemberian batas dilakukan sebagai upaya memonitor kasus COVID varian delta.

"Ini penting untuk memonitor tracing. Jadi karena dalam situasi ini, varian delta itu sudah ada di beberapa daerah sehingga jumlah testing ini disesuaikan dengan jumlah penduduk," kata Airlangga, Rabu lalu.

Airlangga mencontohkan besaran tes minimal daerah seperti di Pontianak jumlah target per hari 1.412, Pekanbaru 1.658, dan contoh lain adalah di kota Sorong 196. "Jadi ini bervariasi tergantung daripada jumlah penduduk," kata Airlangga.

Airlangga pun mengaitkan dengan penurunan jumlah tes beberapa hari terakhir. Ia mengatakan, angka tes rata-rata Indonesia berada di angka 218 ribu. Angka ini turun beberapa waktu lalu akibat laboratorium tutup. Namun ia mengatakan, pemerintah menggunakan basis WHO bahwa positivity rate di bawah 5 persen harus 1:1000 penduduk.

"Tentu pada saat di atas 5 persen guideline-nya kita buat berbasis jumlah penduduk daerah masing-masing. Itu sudah masuk dalam Inmendagri. [...] Jadi kita gunakan itu karena sudah menghitung," kata Airlangga.

Sementara itu, Dirjen Bina Pemerintahan Desa Kemendagri Yusharto Huntoyungo mengatakan penerapan zonasi dan angka batas testing diharapkan menekan penularan COVID. Oleh karena itu, pemerintah memasang target minimal testing dan daerah memenuhi target tersebut.

"Bagaimana kalau lebih ini justru sangat diharapkan, berarti akan ada testing yang lebih akan menjadikan perkiraan kita terhadap jumlah orang yang suspek, dsb lebih baik. Kalau tidak tercapai berarti angka-angka ini masih perlu kita terus proyeksi dan kita evaluasi untuk bisa menemukan suspek yang sebenarnya," kata Yusharto.

Target Testing Dinilai Tidak Terlalu Efektif

Beberapa epidemiolog menyampaikan respons kurang positif dari pendekatan pemerintah. Epidemolog dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarat Indonesia (IAKMI) Syahrizal Syarif memandang program testing yang diatur dalam Inmendagri baik, tetapi tidak akan berjalan optimal karena pusat saja mengalami kesulitan, apalagi dijalankan dengan memberikan kepada daerah.

"Inmendagri ini saya ragu akan dijalankan oleh daerah. Pemerintah pusat saja kewalahan mencapainya apalagi minta daerah," ujar Syarif kepada Tirto, Kamis (22/7/2021).

Syarif menjelaskan penanganan pandemi idealnya dilakukan dari tingkat kabupaten/kota, bukan pemerintah pusat atau pemerintah provinsi. Di sisi lain, sistem tracking dan program kesehatan lain juga tidak berjalan optimal sehingga sulit penanganan pandemi berjalan baik.

"Testing dan tracking - tracing membutuhkan sistem surveilans aktif yang baik. Dalam situasi saat ini, dimana program kesehatan lainnya terhambat, kelelahan dan keterbatasan SDM, saya ragu ini akan jalan, apalagi kalau tidak ada insentif khusus," kata epidemolog dari UI ini.

Kini, situasi tersebut dinilai terlambat. Ia beralasan, para tenaga kesehatan sudah kelelahan dalam penanganan pandemi. Kemudian, pemerintah sudah kadung terlalu fokus memberikan sumber daya untuk penanganan COVID, tetapi lupa pendanaan untuk program-program lain seperti posyandu, posbindu dan kegiatan lapangan untuk warga. PPKM darurat pun juga mencegah masyarakat yang ingin divaksin.

Di sisi lain, Mendagri tidak bisa mengendalikan mayoritas pimpinan provinsi. Hal tersebut diperburuk dengan serapan anggaran rendah, dana desa yang tidak maksimal, serta unsur penggerak desa, bidan desa dan babinsa yang tidak dimobilisasi sejak awal. Oleh karena itu, ia melihat langkah pemerintah tidak lebih dari aksi politik saat ini.

"Saya lebih melihatnya sebagai kebijakan politik, dari bentuk intervensi berbasis data," tegas Syarif.

Epidemiolog dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane melihat pemerintah justru salah kaprah lewat mematok jumlah testing. Ia mengingatkan esensi testing bukan pada kuantitas, tetapi pada siapa yang dites dalam penanganan pandemi.

"Testing itu targeted. Jadi bukan masalah jumlahnya, tetapi siapa orang yang harus dites," jelas Masdalina kepada Tirto, Kamis (22/7/2021).

Masdalina mengingatkan, testing diarahkan kepada para suspek. Teori dalam penanganan pandemi adalah para suspek harus dites dan kontak erat yang bergejala harus ditracing untuk diketahui terpapar atau tidak.

Ia justru menyoalkan basis angka yang ditetapkan pemerintah. Sebagai contoh, basis angka 1 banding 1.000 penduduk yang harus dites di daerah positivity rate di bawah 5 persen adalah basis untuk melakukan pelonggaran suatu daerah dalam menangani COVID, tetapi digunakan sebagai parameter untuk meningkatkan testing.

Ketentuan testing adalah 80 persen dari kasus konfirmasi dilakukan tracing. Oleh karena itu, testing seharusnya dilakukan secara masif terhadap suspek ditambah tes kepada seluruh kontak erat yang bergejala. Jika positif, penanganan dilanjutkan dengan isolasi dan karantina.

"Yang penting isolasi karantina, bukan testingnya. Jakarta itu kurang apa tesnya? 10x lipat dari 1/1000. Terkendali? Enggak!" tegas Masdalina.

"Bukan tesnya. Berkali-kali dibilang bukan tesnya yang jadi persoalan. Yang jadi persoalan isolasi dan karantinanya. Itu yang dilakukan dalam tracing monitoring dan karantina kasus dan kontak erat. Ngapain tes orang kalau kemudian tidak bisa diisolasi atau dikarantina?" lanjut Masdalina.

Masdalina juga khawatir ada kekacauan pelaksanaan aturan di lapangan. Ia beralasan, pemerintah hanya menggunakan parameter angka sebagai penyelesaian pandemi padahal fokus utama adalah pelaksanaan di lapangan sesuai dengan ketentuan pandemi.

Contoh jelas adalah target menggenjot vaksinasi hingga 1 atau 2 juta per hari, tetapi tidak tercapai karena tidak melihat kondisi lapangan. Contoh lain adalah adalah fokus pemerintah menekan kasus kematian tetapi lupa testing dan tracing. Hal ini, kata Masdalina, tidak akan menyelesaikan masalah utama pandemi.

"Dampak ke dalam pengendalian tentu akan lebih lama enggak bisa seperti yang diinginkan. Berapa lamanya sampai pemerintah bertaubat kembali ke jalan pengendalian yang benar," kata Masdalina.

Di sisi lain, epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman menyambut positif gagasan pemerintah mematok angka testing lewat Inmendagri. Namun, ia menekankan gagasan tersebut harus diikuti dengan pelaksanaan testing yang benar dalam upaya penanganan pandemi. Hal tersebut perlu dilakukan agar Indonesia tidak mencapai hal terburuk dalam penanganan pandemi.

"Jadi sekarang yang penting itu kerjakan secara merata dan ini yang harus dijadikan pemahaman oleh pemerintah ya bahwa Indonesia kalau tidak bisa meningkatkan kapasitas testing tracing tentu dilanjut isolasi karantina, kita akan terpuruk dan bobol di hulu dan beban di faskes meningkat, kematian meningkat dan padahal itu strategi kita yang efektif," kata Dicky kepada Tirto, Kamis (22/7/2021).

Dicky menuturkan, salah satu permasalahan dalam penanganan pandemi adalah tidak ada pelaksanaan strategi secara merata dalam penanganan pandemi. Sampai saat ini, testing dan positivity rate masih didominasi dari tingginya hasil tes di Jakarta.

Oleh karena itu, Dicky melihat gagasan tes minimum itu penting untuk mencegah kegawatan. Ia mengingatkan, Indonesia tidak akan bisa keluar dari masalah pandemi jika tidak menggenjot testing dan tracing.

"Bahwa ini sebetulnya tidak sesuai atau tidak ideal memang iya tapi enggak masalah lah karena saat ini Indonesia tahu masalah dulu lah daerah-daerah itu, tes positivity rate [tiap daerah] dan harus ditampilkan," Kata Dicky.

Kebutuhan akan testing menjadi semakin penting karena kondisi kasus COVID-19 di Indonesia banyak yang belum terdeteksi. Ia mencontohkan angka kematian Indonesia yang konstan di sekitar angka 1.000 menandakan ada sekitar 120-130 ribu kasus konfirmasi positif dari 3 minggu sebelumnya sementara angka konfirmasi temuan pemerintah berkisar 40-50 ribu.

Hal tersebut sangat berbahaya dalam konteks pengendalian pandemi karena pemerintah belum mampu menjangkau seluruh pasien positif, apalagi pendekatan tes Indonesia bersifat pasif, yakni membuat rakyat datang ke faskes untuk cek.

Oleh karena itu, ia berharap pemerintah daerah mengubah paradigma dengan menganggap bahwa penemuan kasus sebagai prestasi.

"Nah, ini paradigma harus diubah di semua kepala daerah harus berubah dan ini pusat harus memberi contoh bahwa menemukan kasus positif itu prestasi karena artinya kita bisa melakukan tracing, isolasi, karantina dan dukungan rawatan cepat sehingga bisa mencegah beban ke faskes dan kematian," kata Dicky.

Baca juga artikel terkait PPKM DARURAT atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri