Menuju konten utama

Pembunuhan George Floyd: Dunia Mengecam Rasisme di AS

Kematian tragis warga kulit hitam Afrika-Amerika George Floyd memantik solidaritas di berbagai negara.

Pembunuhan George Floyd: Dunia Mengecam Rasisme di AS
Pendemo berseru di depan kantor polisi kelima pada hari keempat aksi protes setelah insiden tewasnya George Floyd saat ditahan polisi di Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat, Jumat (29/5/2020). ANTARA FOTO/REUTERS/Nicholas Pfosi/hp/djo

tirto.id - Sebanyak 30 negara bagian Amerika Serikat diguncang protes setelah seorang warga kulit hitam keturunan Afrika-Amerika bernama George Floyd meninggal secara tragis di kaki seorang polisi. Para demonstran mengatakan itu adalah kekerasan berbasis diskriminasi rasial.

Selain di Amerika, kematian Floyd memicu demonstrasi di negara lain. New York Times menyebut protes-protes ini sebagai 'kemarahan global'.

Di Berlin, Jerman, ratusan demonstran berkumpul membawa papan atau kertas bertuliskan: “Diam adalah kekerasan”; “Tahan akuntabilitas polisi”; dan “Siapa yang kamu panggil saat polisi membunuh?” Sementara di pusat kota London, Inggris, para pendemo meneriakkan: “No Justice!” atau “tidak ada kedamaian!”

Protes terjadi di Italia, Kanada hingga Irlandia. Mereka membawa spanduk berisi ucapan terakhir Floyd, I Can’t Breathe, dan Black Lives Matter. Wajah Floyd juga dicetak di seantero dinding negara-negara dunia dengan seruan untuk melindungi minoritas dan mengutuk rasialisme.

Protes juga muncul dari Indonesia. Meski tak ada demonstrasi di jalanan, mereka bersuara di media sosial.

Selain meluas, protes ini juga mendapat dukungan dari para pejabat negara lain seperti Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau. Ia menyerukan agar orang-orang "berdiri bersama dalam solidaritas" melawan kebencian rasial. Ia juga menegaskan bahwa rasisme masih ada di negaranya, sebagaimana Amerika, dan tugasnya adalah menghentikan itu.

Protes juga dilayangkan para pejabat negara lain, tak terkecuali ‘seteru abadi’ Amerika, Cina. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina Zhao Lijianm menyatakan hak asasi warga kulit hitam harus dijamin AS. Mengutip CGTN, media yang didukung pemerintah, Zhao mengatakan semestinya “diskriminasi rasial adalah masa lama di Amerika Serikat.”

Ia mendesak AS menegakkan hukum terhadap polisi yang membunuh George Floyd demi kepentingan perlindungan minoritas.

Pejabat Cina juga melontarkan cuitan satire dengan mengaitkan protes Floyd dengan sikap AS yang mendukung Hong Kong.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina Hua Chunying mencuit tangkapan layar juru bicara Kemenlu AS, Morgan Ortagus, dengan tulisan “aku tak bisa bernapas”--kata terakhir Floyd sebelum meninggal. Hua seolah menyindir asas kebebasan yang dijunjung tinggi Amerika.

Pernyataan para pejabat Cina memang tampak seperti politik dua kaki karena pada saat yang sama mereka juga tengah memaksakan kontrol lebih dalam terhadap Hong Kong dan adanya indikasi pelanggaran HAM kepada etnis Uighur.

Selain kritik yang bias itu, ada pula kecaman yang berasal pihak luar yang secara kultural paling berkepentingan: African Union atau Uni Afrika. Juru bicara African Union Ebba Kalondo mengatakan mereka “mengutuk keras pembunuhan George Floyd oleh aparat penegak hukum yang terjadi di AS dan berbelasungkawa terdalam kepada keluarganya dan yang dicintainya.”

Ia mendesak agar AS menghapus diskriminasi terhadap ras dan etnis tertentu.

Organisasi sepak bola dunia, FIFA, turun tangan melonggarkan aturan terkait pemain yang mengekspresikan pandangan politiknya pada isu rasisme yang menimpa mendiang George Floyd.

Asosiasi Sepak Bola Jerman (DFB) semula akan memeriksa Jadon Sancho, winger Borrusia Dortmund yang selebrasinya menunjukkan kaos bertulis 'Justice for George Floyd'. Rencana pemeriksaan diurungkan setelah FIFA minta kepada asosiasi sepak bola memperhatikan situasi publik saat ini.

Solidaritas juga ditunjukkan pemain Liverpool dan Chelsea, klub sepak bola Premier League Inggris. Liverpool mengunggah foto para pemain klub yang berlutut sebelum latihan. Keterangan foto adalah Unity is strength #BlackLivesMatter.

Dilaporkan BBC, kasus George Floyd, 46 tahun, bermula saat ia membeli rokok di sebuah toko klontong di Minneapolis, negara bagian Minnesota, pada 25 Mei lalu. Penjaga toko melaporkan ke polisi bahwa uang Floyd diduga palsu. Polisi lalu menangkap Floyd yang saat itu masih berada di sekitar toko.

Dia akan dibawa ke dalam mobil tapi menolak. Seorang polisi bernama Derek Chauvin akhirnya menindih leher Floyd dengan lutut. Pada saat itu, Floyd berteriak “aku tidak bisa bernapas” dan meminta tolong.

Tak lama kemudian nadinya berhenti. Ia dilarikan ke rumah sakit tapi tak tertolong. Autopsi independen menyebutkan penyebab kematian adalah karena sesak napas, sedangkan dilaporkan The Guardian, pemeriksaan medis di Minneapolis menyebutkan ‘jantungnya berhenti’. Mereka menegaskan Floyd dibunuh.

Chauvin saat ini dituntut atas pembunuhan Floyd. Tiga petugas lain yang turut menangkapnya belum ditahan.

Cara Trump Meredakan Massa

Dilaporkan CNN, protes kematian Floyd di AS berujung pada kerusuhan dan penjarahan toko-toko.

Aparat lantas bereaksi. Sejumlah negara bagian seperti New York, Minnesota, San Francisco, misalnya, mulai memberlakukan jam malam. Sementara di dekat Gedung Putih, kantor Presiden AS Donald Trump, militer dikerahkan.

The Guardian melaporkan para demonstran dibubarkan dengan tembakan gas air mata dan peluru karet ketika Trump akan ke gereja Episkopal St John yang berusia 200 tahun di dekat Gedung Putih. Pembubaran ini dikritik uskup setempat.

Uskup juga mengkritik gaya Trump yang coba meredakan massa dengan narasi-narasi agama. Ia berfoto dengan mengangkat Bibel bertulis God is love.

Kritik bahkan dilayangkan aparat sendiri. Dilaporkan CNN, seorang kepala polisi Houston, negara bagian Texas, meminta Trump tutup mulut saja.

“Izinkan saya mengatakan ini kepada Presiden Amerika Serikat, atas nama kepala polisi negara ini: tolong jika Anda tidak memiliki sesuatu yang konstruktif untuk dikatakan, tutup mulut.”

Baca juga artikel terkait RASISME atau tulisan lainnya dari Zakki Amali

tirto.id - Politik
Penulis: Zakki Amali
Editor: Abdul Aziz