Menuju konten utama

Pembunuhan Dukun Santet 1998: Sistematis dan Terencana

Komnas HAM telah merampungkan penyelidikan kasus pembantaian 'dukun santet' pada 1998. Kejaksaan akan melanjutkan itu ke tingkat penyidikan.

Ilustrasi tragedi pembantaian kelompok NU oleh sekelompok “Ninja” di Banyuwangi tahun 1998. FOTO/Wikipedia

tirto.id - 1998 adalah tahun genting. Di sekitar lengser keprabon Soeharto, muncul banyak peristiwa mengerikan. Dari mulai perkosaan, penjarahan, dan yang relatif jauh dari Ibu Kota: pembantaian dukun santet di Jawa Timur tahun 1998-1999.

Disebut dukun santet karena yang jadi korban disinyalir mereka yang mempraktikkan ilmu hitam—meski banyak di antara mereka diketahui tak tahu apa-apa soal santet. Ada yang guru ngaji, dan tokoh-tokoh masyarakat.

Pelaku kemudian menyandang predikat ninja karena memakai pakaian serba hitam—versi lainnya biru.

Untuk mengantisipasi kejadian serupa terulang—berdasarkan laporan Jason Brown dalam Perdukunan, Paranormal, dan Peristiwa Pembantaian (hlm. 51), tanggal 6 Februari 1998 Bupati Banyuwangi, Purnomo Sidik, mengeluarkan instruksi kepada seluruh Camat agar mendata paranormal, dukun pengobatan tradisional, dan tukang sihir agar memudahkan penanganan jika terjadi kasus serupa.

Namun rupanya daftar tersebut kemudian bocor dan berubah menjadi daftar target pembunuhan.

Didalangi Aktor Intelektual

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat jumlah korban pembantaian mencapai 309 orang: 194 di Banyuwangi, 108 di Jember, dan 7 di Malang. Ini adalah hasil penyelidikan tim ad hoc Komnas HAM yang telah bekerja sejak 2015.

Hasil penyelidikan diumumkan ke publik pada Selasa, 15 Januari lalu.

Ketua tim ad hoc, Beka Ulung Hapsara, menjelaskan selain jumlah dan kondisi korban, tim juga menemukan kasus ini selalu diawali dengan meluasnya isu SARA, terutama etnis Cina. Pola lain yang ditemukan adalah tiap kasus selalu melibatkan massa bukan warga lokal. Ada pula penggunaan tanda serupa seperti panah dan silang.

Pada akhirnya tim berkesimpulan kasus ini didalangi sosok/aktor/pihak intelektual.

"Kesimpulan kami ada bukti permulaan yang cukup. Misalnya terkait dengan pembunuhan, terus kemudian soal meluas dan sistematis. Melihat sebaran wilayah kejadian dan sistematisnya isu, ini tidak bisa dilakukan oleh orang biasa."

Beka menyimpulkan adanya bukti permulaan yang cukup yang bisa mengkategorikan pembantaian ini termasuk kejahatan kemanusiaan. Ini melanggar Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf a Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM.

Keterlibatan aktor intelektual sebetulnya pernah disinggung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sejak 2007 lalu.

"Dari hasil investigasi kami, kesimpulannya, kasus tersebut ada yang mendesain, merancang, ada yang mendanai," kata Said Aqil Siroj, Ketua PBNU, dikutip dari NU Online. "Tidak mungkin kriminal biasa," tambahnya.

Meski mengaku telah mengantongi "nama-nama" pelaku, namun ketika itu PBNU tak bersikap lebih jauh karena menurut Said Aqil itu adalah kewenangan aparat.

Diserahkan ke Kejaksaan

Hasil penyelidikan Komnas HAM ini telah dikirim ke Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti. Komnas HAM juga merekomendasikan Joko Widodo meminta maaf kepada para korban dalam kapasitasnya sebagai kepala negara.

Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung, Mukri, mengatakan limpahan berkas dari Komnas HAM telah diterima pada Sabtu, 12 Januari 2019.

infografik teror alam gaib

infografik teror alam gaib

Saat ini berkas tersebut tengah diteliti. Jika belum lengkap, berkas perkara tersebut akan dikembalikan lagi ke Komnas HAM. Namun, jika berkas sudah memenuhi syarat secara formil dan materil, maka akan ditingkatkan ke tahap penyidikan.

"Nanti jaksa yang melakukan penyidikan," ujar Mukri kepada reporter Tirto, Kamis (17/1/2019). "Bila memang diperlukan kami akan turun ke lapangan," tambahnya.

Untuk menyidik, Kejaksaan punya waktu 120 hari. Jika belum selesai, mereka akan memperpanjang waktu penyidikan.

Kini bola panas ada di tangan Kejaksaan. Publik akan melihat apakah ini akan serius ditangani atau seperti yang sudah-sudah, dibiarkan terbengkalai begitu saja.

"Jangan mencontoh pengalaman buruk di dokumen-dokumen penyidik sebelumnya. Ini harus ditindaklanjuti, kasusnya dekat. Kalau dulu kan ngomongnya kasus 1965, kasusnya lama sekali," tegas Choirul Anam, wakil ketua tim ad hoc.

Baca juga artikel terkait KASUS PEMBUNUHAN atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Hukum
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino