Menuju konten utama
27 Juli 1950

Pembubaran KNIL: Mereka yang Dikucilkan TNI dan Tinggal di Belanda

Kisah mantan perwira KNIL yang tak diberi tempat oleh TNI.

Pembubaran KNIL: Mereka yang Dikucilkan TNI dan Tinggal di Belanda
Header Mozaik Bubarnya KNIL. tirto.id/Tino

tirto.id - Bersama Raden Oerip Soemohardjo yang kelak menjadi salah satu tokoh penting TNI, Raden Mas Gonnie Soegondo kabur dari sekolah pamongpraja, Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA).

Keputusan meninggalkan sekolah yang bisa bikin hidup mapan dan terpandang dinilai keputusan konyol oleh banyak priyayi Jawa kala itu. Namun, tekad mereka berdua sudah bulat. Mereka hendak ke Meester Cornelis (Jatinegara sekarang) untuk mendaftar di sekolah calon perwira, mengikuti jejak dua anak Bupati Banyumas, yakni Wardiman dan Mardjana.

Soegondo setahun lebih muda dari Oerip, meski mereka sama-sama lulus dari sekolah tersebut pada 1914. Menurut surat kabar Sinar Djawa edisi 24 Oktober 1914, mereka lulus bersama seorang priyayi lain bernama Raden Bagoes Holland Soemodilogo. Sementara karir Soemodilogo di KNIL hanya sampai pangkat kapten, Soegondo dan Oerip mencapai pangkat groot majoor (Mayor).

Soegondo adalah anak dari pasangan Raden Mas Pratikno Koesoemo dengan Raden Ayu Koestiah. Ayahnya seorang asisten wedana. Soegondo menikahi seorang perempuan Belanda bernama Alida de Graaf. Mereka bertemu pada 1925 dan menikah pada 28 Juli 1926 di Haarlem, Belanda.

Dalam biografi Didi Kartasasmita: Pengabdian Kepada Kemerdekaan (1993:33), Soegondo disebut ikut gelijkgesteld atau mengajukan diri agar status hukumnya setara dengan orang Belanda. Hal itu tentu saja agar karier dan hidupnya sebaik orang-orang Belanda.

Gaji seorang letnan KNIL saja lumayan tinggi, apalagi kapten dan mayor seperti pangkat yang yang disandang oleh Soegondo. Terlebih jika statusnya sama seperti orang Belanda. Orang seperti Soegondo kerap disebut sebagai Belanda Segel.

Menurut Mia Bustam yang masih kerabat Soegondo dalam Sudjojono dan Aku (2006:39), keluarga Soegondo pernah tinggal di Hujung, Cimahi. Mia pernah belajar etiket barat kepada mayor KNIL tersebut.

Kembali ke KNIL, Masuk TNI, dan Tinggal di Belanda

Setelah 25 tahun bertugas di KNIL, Soegondo akhirnya pensiun pada 1939. Seorang pensiunan mayor KNIL seharusnya hidup layak dan tenang di Hindia Belanda. Namun, balatentara Jepang keburu datang dan membuat Belanda tak berkutik.

Setelah Jepang kalah dan revolusi kemerdekaan Indonesia pecah, ia terpaksa kembali ke militer dengan pangkat baru yaitu Overste atau Letnan Kolonel KNIL. Sementara kawannya, Oerip Soemohardjo memilih jalan lain, ia berdiri dipihak Republik dan mendirikan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal.

Pada masa revolusi 1945-1949, Soegondo bukan satu-satunya orang Indonesia bergelar Raden yang ikut berdiri di belakang Belanda untuk menguasai kembali Indonesia. Di kalangan perwira KNIL, ada juga Mayor Raden Trenggono Soerjobroto asal Kutoarjo yang berdinas di kavaleri seperti Soegondo, dan Kapten Raden Mas Poerbo Soemitro kelahiran Yogyakarta yang bertugas di infanteri.

Namun, rupanya pada masa itu Soegondo tak diberdayakan secara optimal oleh Letnan Jenderal Spoor, seperti misalnya sebagai perwira tempur di lapangan untuk melumpuhkan tentara Republik. Ia hanya dijadikan penasehat militer yang diperbantukan kepada perhimpunan negara federal Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO).

Infografik Mozaik Bubarnya KNIL

Infografik Mozaik Bubarnya KNIL. tirto.id/Tino

Menurut surat kabar Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia edisi 26 Maret 1949, Soegondo yang ahli di pasukan berkuda kemudian menjabat sebagai Komandan sekolah kader pasukan lapis baja di Bandung. Ia juga sempat menulis buku Ilmu Bumi Militer.

Ketika perang usai, Soegondo adalah perwira senior berdarah Indonesia yang tersisa di organisasi militer tersebut. Ia pun terlibat dalam proses peleburan anggota KNIL ke dalam TNI. Koran De Vrije Pers edisi 30 November 1949 menyebutkan bahwa sempat ada usulan untuk menjadikannya sebagai panglima Angkatan Darat TNI.

Dalam proses peleburan tersebut--sebelum akhirnya KNIL dibubarkan pada 27 Juli 1950, tepat hari ini 72 tahun lalu--sejumlah mantan perwira KNIL lain pun rencananya akan bergabung dengan TNI dan masuk ke dalam jajaran pemerintahan, di antaranya Sultan Hamid II, Mayor Soerjobroto, Mayor Rumimper, Mayor Kaseger, Mayor Nanlohi, dan Kapten Julius Tahija.

Di antara mereka yang lama di TNI hanya Kapten Julius Tahija. Sementara sisanya tak kuat bertahan lama. Para mantan perwira KNIL itu dianggap tak mendukung Indonesia semasa revolusi, oleh karena itu agak dimusuhi dengan cara dikucilkan. Hal tersebut akhirnya membuat Kaseger dan Soerjobroto memilih keluar dari TNI dan tinggal di Belanda.

Nasib Soegondo setali tiga uang, ia tak diberi tempat sesuai dengan pengalamannya. Menurut Sultan Hamid II, Soegondo “hanya diberi tempat di belakang meja” tanpa kekuasaan memegang pasukan.

Setelah pensiun, Soegondo pun akhirnya memilih menetap di Belanda seperti sebagian koleganya sesama mantan perwira KNIL. Menurut Staatsblad van het Koningrijk der Nederlanden, 1960, No. 1-101 (01/01/1960), ia tinggal di Rijswijk, Belanda selatan.

==========

Artikel ini terbit pertama kali pada 4 Juni 2020. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menayangkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait KNIL atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh Pribadi