Menuju konten utama

Pemberian Sertifikat Pulau C & D Sudah Kewajiban Pemerintah

Budi Situmorang mengatakan, pemberian sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Pulau C dan D kepada Pemprov DKI tidak melanggar prosedur.

Pemberian Sertifikat Pulau C & D Sudah Kewajiban Pemerintah
Suasana bangunan ruko dan rumah yang terhenti pembangunannya di kawasan reklamasi Pulau C dan D di Pantai Utara, Jakarta, Rabu (4/5). antara foto/m agung rajasa.

tirto.id - Dirjen Penataan Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) Budi Situmorang mengatakan, pemberian sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Pulau C dan D kepada Pemprov DKI tidak melanggar prosedur yang diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) Agraria nomor 11 tahun 2016 tentang penyelesaian kasus pertanahan.

Menurutnya, alasan bahwa tanah di dua pulau tersebut masih bersengketa tidak sesuai. Pasalnya, penerbitan HPL tersebut merupakan kewajiban penyelenggara negara untuk mempermudah proses sertifikasi lahan. Tujuannya, kata dia, agar target sertifikasi sebanyak 5 juta bidang lahan bisa terkejar hingga akhir 2017.

"Dari pada nanti dikasih ke swasta. Apa salahnya? Itu tanah negara, terus dikasihkan kepada Pemprov dengan bentuk HPL," ungkapnya saat dihubungi Tirto, Rabu (22/8/2017).

Ia juga beranggapan bahwa setiap tanah yang ada secara otomatis merupakan milik negara, sehingga negara berhak mengeluarkan izin atau sertifikat atas pengelolaannya.

"Kalau reklamasi itu kan tanah yang muncul. Otomatis dia itu harus menjadi punya pemerintah," kata Budi

Seperti diketahui, sebelumnya Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta meminta Kementerian ATR membatalkan pemberian HPL Pulau C dan D. Alasannya, masih ada kesalahan prosedur dalam pemberian izin, penyalahgunaan pemanfaatan ruang dan kesalahan dalam penerapan pasal 11 Permen Agraria nomor 11 tahun 2016.

Namun Budi bersikukuh bahwa Pemprov DKI berhak atas pengelolaan pulau tersebut. Aduan yang disampaikan koalisi kepada Kementerian ATR, menurutnya, berada di luar definisi sengketa atau konflik lahan yang diatur dalam Permen tersebut.

Adapun sengketa atau konflik yang dimaksud dalam pasal 11 Permen Agraria itu antara lain: kesalahan prosedur dalam proses pengukuran, pemetaan, dan/atau perhitungan luas, kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran dan/atau pengakuan hak atas tanah bekas milik adat, kesalahan prosedur dalam proses penetapan dan/atau pendaftaran hak tanah, kesalahan prosedur dalam proses penetapan tanah terlantar, tumpang tindih hak atau sertifikat hak atas tanah yang salah satu alas haknya jelas terdapat kesalahan.

"Kita tidak analasis dan pakai Permen karena memang bukan (sengketa). Sekarang kalau mau menggagalkan, masalah menggagalkan itu urusan pengadilan," tegas Budi Situmorang.

Baca juga artikel terkait REKLAMASI JAKARTA atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Politik
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Alexander Haryanto