Menuju konten utama

Pembentukan Jampidmil Era Jokowi Memunggungi Semangat Reformasi

Aktivis HAM menilai Jampidmil hanya perkara teknis dari substansi yang tak tersentuh: reformasi peradilan militer.

Pembentukan Jampidmil Era Jokowi Memunggungi Semangat Reformasi
Personel pasukan khusus Indonesia berpawai di Jakarta, Indonesia, Senin, 3 Oktober 2005 saat gladi resik untuk memperingati peringatan 60 tahun angkatan bersenjata negara tersebut pada 5 Oktober. AP / Achmad Ibrahim

tirto.id - “Kalau saya lihat, kalau saya riset, realitas perkara pidana yang melibatkan subjek hukum militer, TNI AD, AL, AU, dari 2015-2019 jumlahnya 12.007.”

Komisi III DPR RI Fraksi PPP, Arsul Sani, mengatakan kepada Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin betapa banyak kasus tindak pidana dengan pelaku militer yang mandek di tengah jalan saat rapat kerja di Senayan, Rabu (27/1/2021). Untuk menyelesaikan kasus-kasus itu menurutnya butuh Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil).

“Bagaimana progres pembentukan Jampidmil sebagai, dalam tanda kutip, sayap baru di Kejaksaan Agung?” tanya Arsul. “Keberadaannya menjadi sangat penting.”

Dalam rapat itu pula Jaksa Agung menjawab tegas, bahwa saat ini mereka tinggal menunggu Presiden Joko Widodo. “Sampai kemarin semua sudah tanda tangan. Sekarang sudah di Mensesneg, tinggal nanti Pak Presiden tanda tangan.”

Pembentukan kamar baru yang khusus untuk menuntut perkara pidana bagi subjek militer sudah dibahas setidaknya sejak 5 Juni tahun lalu. Pembahasan melibatkan Jaksa Agung, Menteri PAN RB Tjahjo Kumolo, Menkopolhukam Mahfud MD, Menkumham Yasonna Laoly, dan Panglima TNI Hadi Tjahjanto.

Mantan peneliti di Komisi Yudisial RI Rudi Pradisetia Sudirdja, dalam esai berjudul “Satu Komando Penuntutan untuk Sipil dan Militer”—yang dikutip oleh Komisi Kejaksaan RI, menjelaskan bahwa pembentukan Jampidmil penting agar tercipta relasi fungsional antara Jaksa dan Oditur Militer.

Oditur Militer adalah pejabat di lingkungan TNI yang berwenang melakukan penuntutan terhadap anggota militer yang melakukan tindakan pidana.

“Keberadaan struktur tersebut sejalan dengan semangat reformasi dan penghargaan terhadap prinsip-prinsip supremasi sipil sebagai bagian dari salah satu prinsip demokrasi,” tulis Rudi. “Menghindari disparitas atau kesenjangan dalam penuntutan perkara sipil dan perkara militer. Dengan masuknya oditurat militer dalam struktur fungsional Kejaksaan, maka kebijakan penuntutan dan pertanggungjawabannya ada pada satu pintu, yaitu Jaksa Agung RI.”

Selama ini Kejaksaan Agung memang tak memiliki kewenangan untuk menuntut penyelesaian perkara tindak pidana yang melibatkan tentara. Penuntutan hanya bisa dilakukan Oditur Militer, yang kemudian diserahkan Panglima TNI ke Jaksa Agung. Proses ini rentan menimbulkan konflik kepentingan yang tinggi mengingat besarnya peran Panglima TNI dalam penyerahan penuntutan.

Reformasi Setengah Hati

Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Rivanlee Anandar mengatakan masalah penindakan tindak pidana oleh subjek militer tidaklah sederhana. Jampidmil yang rencananya akan dibentuk oleh Kejaksaan Agung belum tentu efektif menindak para pelanggar.

Alasan pertama, Jampidmil sebenarnya hanya perkara teknis dari isu besar reformasi peradilan militer. Perkara substantif, yaitu revisi UU Peradilan Militer, hingga saat ini tak pernah terwujud. “Penambahan kamar jadi Jampidmil hanya bagaimana caranya anggota militer itu dapat diadili dengan mudah ke peradilan koneksitas, bukan ke peradilan umum,” kata Rivan saat dihubungi wartawan Tirto, Rabu pagi.

Menurut Rivan, selama ini peradilan koneksitas hanya menjadi alat untuk melanggengkan impunitas pelanggaran HAM. Salah satu alasannya karena unsur peradilan koneksitas tak lain militer itu sendiri.

Para pegiat HAM dan koalisi yang fokus ke isu reformasi peradilan militer terus mendorong seluruh tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer dapat diseret ke peradilan umum. “Itu tidak akan mungkin terjadi jika yang diubah atau yang ditambah hanya Jampidmil. Hanya penambahan, bukan substansi,” kata dia.

Alasan kedua, Jampidmil yang rencananya akan dibentuk oleh Kejaksaan Agung ini berpotensi diisi oleh kalangan militer. “Ada ruangnya. Jadi sama aja.”

Atas dasar itu semua Rivan menyimpulkan rencana ini sebagai upaya “setengah-setengah untuk mereformasi peradilan militer.”

Kritik dari Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati kurang lebih serupa. Dia mengatakan Jampidmil hanya akan melahirkan peradilan koneksitas bukan peradilan umum yang dicita-citakan supremasi sipil.

Memang bisa saja Jampidmil tetap akan menjalankan peradilan umum, namun penuntutnya ada dari unsur militer. Kata dia, esensi “persamaan di depan hukum”-nya menjadi hilang. “Jika Jampidmil ini bukan untuk menangani tindak pidana umum yang dilakukan militer, tetapi tindak pidana terkait militer yang dilakukan [sesama] militer, itu masih masuk akal,” katanya, Rabu pagi.

“UU TNI sudah jelas kalau ada tindak pidana diadili di peradilan umum. Titik. Artinya, pakai pranata kelembagaan yang sudah ada. Ngapain ada Jampidmil segala?” tutupnya.

Baca juga artikel terkait PERADILAN MILITER atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino