Menuju konten utama

Pembebas Nyeri Kanker itu Bernama Morfin

Jangan takut pakai morfin untuk kebutuhan medis. Ia terbuat dari tumbuhan dan penggunaannya untuk kanker pun sudah direkomendasikan oleh WHO.

Pembebas Nyeri Kanker itu Bernama Morfin
Ilustrasi Kemoterapi. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Kepercayaan sebagian masyarakat Indonesia tentang klenik atau praktik-praktik pengobatan tradisional turut memengaruhi keputusan mereka memelihara kesehatan, termasuk untuk mengobati kanker.

Beberapa terapi tradisional mengklaim dapat menyembuhkannya. Termasuk yang paling baru adalah rompi dan helm listrik antikanker. Padahal jenis pengobatan macam ini belum pernah terbukti kesahihannya secara ilmiah.

Hanya saja terapi-terapi semacam ini selalu menarik bagi keluarga yang tengah limbung dan kalut demi mendengar penyakit kanker. Pasien mudah tergiur dengan iming-iming biaya murah dan kesembuhan instan.

Hal itu terjadi pada M. Akmal Putama, anak 14 tahun dengan kanker nasofaring, dan Andry Garcia, penyintas kanker leukemia berusia 21 tahun.

Keduanya pernah mencoba terapi pijat refleksi. Karena penanganan medis yang kurang memadai, sakit Akmal memburuk, dan didiagnosis nasofaring stadium empat. Dalam kasus Andry, gejalanya sempat mereda meski ia ragu hal itu berkat pengobatan alternatif.

“Sempat coba refleksi sama terapi ilmu perana (pengobatan spiritual jarak jauh). Tapi gejalanya hilang-timbul, awalnya malah leher dan ketiak bengkak, dan demam naik-turun,” cerita Andry.

Akhirnya mereka berdua tetap menjalani kemoterapi. Saat terdiagnosis leukemia, Andry masih menjadi pasien anak dengan kanker berusia 17 tahun. Ia sudah berjuang melawan sel kanker selama tiga tahun. Butuh waktu empat tahun lagi baginya mendapat predikat sebagai penyintas pejuang kanker.

Lazimnya anak dengan kanker mendapatkan protokol medis kemoterapi selama dua tahun setelah diagnosis. Setelahnya dokter melakukan evaluasi terhadap sel kanker secara berkala selama lima tahun.

Kanker pada Anak Tak Bisa Dicegah

Kanker pada anak umumnya dibagi dua kelompok: cair dan padat. Kanker cair biasa disebut kanker darah atau leukemia. Orangtua perlu waspada karena ciri-ciri leukemia sering menyerupai penyakit lain. Misalnya, pucat, sering demam, pendarahan (mimisan, gusi berdarah, pendarahan di kulit), pembengkakan di leher atau gusi, perut buncit, dan nyeri saat berjalan.

Ciri kanker padat pada anak lebih mudah dikenali daripada jenis kanker cair. Jamaknya, anak memiliki benjolan yang terlihat atau teraba. Namun ciri ini tak selalu muncul, misalnya saja pada kanker otak. Anak akan lebih sering mengeluh sakit kepala, lalu tiba-tiba oleng, lumpuh atau daya penglihatannya menurun.

“Jika menemukan gejala ini segera periksa ke dokter mana pun untuk mengonfirmasi. Karena kanker lebih mudah disembuhkan ketika terdiagnosis sejak dini,” ujar dr. Edi Setiawan Tehuteru, Koordinator Operasional Pelayanan Instalasi Paliatif dari Rumah Sakit Kanker Dharmais kepada saya, akhir Februari lalu.

Agaknya masyarakat sekarang mulai melek seluk-beluk kanker pada anak. Terbukti, prevalensi pasien yang datang dalam kondisi stadium lanjut di Dharmais menunjukkan tren penurunan. Berdasarkan data terakhir dari Registrasi Kanker Anak di rumah sakit tersebut, jumlahnya mencapai 43 persen pada 2006, lalu menurun menjadi 35 persen dan 34,5 persen pada 2008 dan 2009.

Sayangnya, meski sudah tergolong lumayan dalam tahap penanganan, orangtua tetap gagal mengantisipasi kanker pada anak.

Penyebabnya: kanker pada anak belum diketahui hingga kini. Menurut The American Cancer Society, kanker pada anak tak terkait faktor risiko seperti tembakau, penggunaan alkohol, makanan tak sehat, atau kurang olahraga.

Kanker tetap bisa menyerang, sekalipun anak sudah melakukan segala upaya antisipatif. Sederhananya, kanker pada anak tak bisa dicegah.

Namun, bukan berati orangtua tak perlu memperkenalkan pola hidup sehat kepada anak. Mereka tetap harus menjaga kesehatan anak untuk meminimalisir kanker saat dewasa.

The International Union Against Cancer, perkumpulan komunitas kanker dunia, yang berkantor di Swiss, misalnya menyarankan empat hal yang perlu dilakukan anak: hindari merokok, hindari infeksi, jauhi sinar matahari, dan makan sehat.

Perilaku menghindari kebiasaan merokok berguna untuk meminimalisir kanker paru di kemudian hari, menurut organisasi tersebut. Sementara aktivitas menghindari infeksi mencegah kanker hati dan leher rahim. Anak juga perlu mengurangi paparan sinar matahari terkait risiko kanker kulit. Terakhir, mereka perlu makan sehat untuk mencegah kanker usus besar.

Infografik HL Ragam Pengobatan Kanker

Pengobatan Medis Kanker pada Anak

“Tata laksana pengobatan kanker secara medis hanya ada tiga. Kemoterapi, radioterapi, dan operasi,” demikian dr. Edi Setiawan Tehuteru, menegaskan bahwa pengobatan alternatif bukan solusi kesembuhan.

Meski begitu, mengapa hingga kini masih saja ada orangtua yang enggan melakukan terapi medis yang disarankan dokter?

Dokter Edi mengatakan bahwa kekhawatiran efek samping dari kemoterapi menjadi salah satu pendorongnya.

Rambut rontok, botak, muntah, kulit pecah-pecah, hingga badan yang mengurus—bayangan demikian yang menghantui keluarga dan pasien kanker.

Beragam dampak itu muncul akibat obat kemoterapi. Ia berfungsi menghambat pertumbuhan sel kanker, tetapi punya kelemahan: tidak dapat membedakan sel jahat dan sel baik.

Rambut rontok, misalnya. Meski bikin kepala plontos, toh bisa segera tumbuh lagi setelah obat kemoterapi dihentikan. Begitu pula kulit pecah-pecah. Efek lain seperti mual dan muntah lantaran obat kanker merangsang pusat mual pada otak. Untuk mengatasinya, dokter akan memberikan obat antimuntah.

Selain enggan kemoterapi, masih ada persoalan lain saat perawatan medis. Salah satunya beberapa obat kemoterapi dan morfin di Indonesia masih langka. Ini karena tak ada perusahaan dalam negeri yang memproduksinya. Akibatnya, pihak rumah sakit harus mengimpor beberapa jenis obat tersebut dari negara lain dengan masa tenggang yang agak lama.

Penggunaan morfin untuk kesehatan juga masih jadi titik antipati di Indonesia. Banyak pasien belum terbebas dari rasa nyeri karena menolak obat dari tumbuh-tumbuhan tersebut, ujar dokter Edi.

Padahal, organisasi kesehatan dunia PBB (WHO) telah merilis pedoman mengurangi sakit terhadap anak pasien kanker. Berdasarkan tingkat rasa nyeri, pemakaian parasetamol dan ibuprofen adalah obat nyeri dalam tahap ringan. Namun, bila rasa nyerinya parah, morfin menjadi pilihan.

“Rasa nyeri pasien kanker adalah nyeri hebat. Apalagi ketika sudah dinyatakan paliatif, dosisnya tak dapat diturunkan. Paliatif tanpa morfin bukan paliatif,” terang dokter Edi.

Sayangnya, penggunaan morfin untuk meredakan nyeri untuk anak pasien kanker kurang diminati di Indonesia. Masih banyak pasien kanker menderita sakit hebat karena dokter kurang sigap mengontrol nyeri pada pasiennya. Akibatnya, kata dr. Edi, Indonesia kerap dicap sebagai salah satu negara yang menelantarkan pasien dengan nyeri kanker.

Ada ketimpangan penggunaan morfin di dunia. Secara umum, total produksi opium, bahan pembuat morfin, mencapai 566 ton setara morfin (tons of morphine equivalent) pada 2016. Jumlahnya meningkat menjadi 669 ton pada 2017. Namun, permintaan untuk medis dan ilmu pengetahuan tak meningkat, hanya 420 ton sejak 2016.

Di Indonesia, kenyataannya makin jomplang. Menurut Badan Pengawas Narkotika Internasional (INCB), negara ini masuk jajaran peringkat rendah rata-rata konsumsi analgesik opium di Asia pada 2011-2013. Tingkat konsumsinya, yang kurang dari 100 dosis harian untuk keperluan statistik (S-DDD), dianggap "sangat tidak memadai."

Salah satu penyebab kondisi itu, menurut dr. Edi, karena pengetahuan yang minim dari tenaga kesehatan, sehingga resep morfin dinomorduakan.

Meski semua dokter dapat meresepkan morfin untuk kebutuhan medis, faktanya ada rumah sakit yang hanya mengizinkan resep tersebut diberikan oleh dokter spesialis tertentu. Selain itu, morfin medis hanya dapat dijumpai di beberapa rumah sakit, dan menjadi barang langka di apotek karena restriksi yang ketat dalam aturan narkoba di Indonesia.

Selain itu, pasien maupun keluarga pasien kerap menolak resep morfin. Kebanyakan karena terkait pengetahuan yang minim plus anggapan terlarang menurut agama.

Dr. Edi pernah menangani pasien kanker otot polos. Ia meraung kesakitan tetapi tawaran penggunaan morfin medis ditolak oleh sang keluarga pasien. Si anak terus-menerus berteriak menahan sakit, sementara orangtuanya tampak tenang. Pemandangan macam ini bikin dr. Edi merasa pilu.

“Kita seharusnya bersyukur Tuhan memberikan morfin sebagai obat paling indah karena tak ada dosis maksimalnya,” ujar dr. Edi.

Baca juga artikel terkait KANKER atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fahri Salam