Menuju konten utama

Pembatasan Impor 500 Komoditas bisa Berdampak pada Penerimaan Pajak

Pejabat Kementerian Keuangan mengakui rencana pembatasan impor 500 komoditas bisa berdampak terhadap penerimaan pajak.

Pembatasan Impor 500 Komoditas bisa Berdampak pada Penerimaan Pajak
(Ilustrasi impor) Kendaraan membawa peti kemas dengan latar belakang area bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (15/8/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja.

tirto.id - Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan, Hestu Yoga Saksama mengakui pembatasan impor 500 komoditas berpotensi membawa dampak pada realisasi target penerimaan pajak tahun 2018 dan 2019.

Target penerimaan perpajakan pada APBN 2018 ialah sebesar Rp1.618,1 triliun dan diproyeksikan terealisasi Rp1.548,5 triliun. Sementara pada RAPBN 2019, pemerintah menaikkan target penerimaan perpajakan menjadi Rp1.781 triliun.

"Mungkin ada dampaknya [menurunkan penerimaan pajak]. Tapi, saya pikir [dampaknya] enggak akan tinggi ke penerimaan APBN 2018 maupun RAPBN 2019. Karena pembatasan impor tidak untuk mengamankan penerimaan, tapi untuk [membuat nilai] rupiah terjaga, CAD [defisit transaksi berjalan] bisa ditekan," kata Hestu kepada Tirto, pada Jumat (17/8/2018).

Rencana pembatasan impor 500 komoditas sampai sekarang masih sedang dikaji pemerintah. Proses evaluasi terhadap daftar barang-barang impor yang mungkin diganti dengan produk asal dalam negeri sedang dilakukan.

Hestu menilai dampak pembatasan impor itu tidak akan signifikan ke penerimaan pajak karena kebijakan itu tidak mengarah pada pelarangan penuh.

Lagi pula, akan ada kebijakan untuk tetap mempertahankan kontribusi impor ke penerimaan negara, yaitu dengan menaikkan Pajak Penghasilan (PPh) 22 Impor dari 2,5 persen ke 7,5 persen. Namun, kebijakan tersebut masih digodog pemerintah untuk mengkaji implikasinya.

"Semacam itu kan nanti kami lihat akan berjalan seperti apa. Ketika itu sudah berjalan, baru kami benar-benar tahu dampaknya seberapa terhadap penerimaan pajak. Tapi, kami yakin dampaknya enggak terlalu tinggi [menurunkan]," ujar Hestu.

Namun, dia mengaku belum bisa memperkirakan persentase dampak kebijakan pembatasan impor 500 komoditas terhadap penerimaan pajak pada tahun ini dan 2019.

"Seberapa kebijakan itu berdampak ke impor saja kita belum tahu pasti, apalagi ke penerimaan pajaknya. Kita tunggu saja terkait itu," ujar Hestu.

Sementara itu, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudistira Adhinegara mengatakan pemerintah harus berhati-hati untuk mengidentifikasi komoditas-komoditas impor apa saja yang benar-benar dapat diganti dengan produk dalam negeri.

"Kalau enggak dilakukan identifikasi secara hati-hati, nanti akan memukul industri manufaktur yang menyubang pajak besar. Impor bahan baku, barang modal, diperuntukkan untuk industri," kata dia.

Selain itu, kata Bhima, bisa muncul efek berantai, apabila kebijakan pembatasan impor itu membuat tinggi biaya produksi industri manufaktur. Dampak berat bisa diarasakan industri manufaktur jika sampai ada kelangkaan bahan baku di dalam negeri.

"Maka bisa terancam mereka terpaksa akan stop produksi," ujar Bhima.

Demikian pula pembatasan barang konsumsi impor. Menurut Bhima, pemerintah harus memastikan bahwa sejumlah komoditas konsumsi impor penting dapat dipenuhi dari dalam negeri, seperti pangan, barang elektronik, pakaian dan sebagainya.

"Melarang atau membatasi konsumsi, sedangkan dari dalam negeri pasokan untuk mensubtitusi barang impornya enggak siap, maka output kebijakannya jadi kurang optimal," ujar Bhima.

Dia juga memperkirakan penerimaan Pajak Penambahan Nilai (PPN) impor akan tergerus apabila pembatasan impor 500 komoditas diberlakukan.

Baca juga artikel terkait RAPBN 2019 atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Addi M Idhom