Menuju konten utama

Pembatasan Berpendapat Berskala Besar WNI di Amerika soal Rasisme

KJRI mengimbau warga Indonesia di Amerika tidak terlibat dalam demonstrasi anti-rasisme, baik secara langsung atau online. 

Pembatasan Berpendapat Berskala Besar WNI di Amerika soal Rasisme
Seorang pengunjuk rasa mengacungkan kepalan tangannya di depan polisi saat reli protes atas kematian George Floyd saat ditahan oleh polisi Minneapolis, di Columbia, South Carolina, Amerika Serikat, Sabtu (30/5/2020). ANTARA FOTO/REUTERS/Sam Wolfe/foc/cfo

tirto.id - Kematian George Floyd memicu demonstrasi besar-besaran di Amerika Serikat. Orang-orang turun ke jalan bersolidaritas. Mereka memprotes kekejaman polisi dan mengutuk rasisme. Tapi warga Indonesia yang tinggal di sana dianjurkan sebaliknya oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI).

Floyd, seorang pria kulit hitam berusia 46 tahun, ditangkap polisi Minneapolis pada 25 Mei 2020 karena dianggap membeli rokok dengan uang palsu. Polisi bernama Derek Chauvin menempatkan lutut kirinya di antara kepala dan leher Floyd. Floyd bilang dia tak bisa bernapas dan tubuhnya tak lagi responsif setelah ditindih selama enam menit. Tapi Chauvin tidak berdiri sepanjang delapan menit 46 detik.

Floyd meninggal satu jam setelah kejadian.

Derek Chauvin sudah dipecat dari instansinya. Ia disangkakan pasal pembunuhan tingkat dua, dengan ancaman penjara 40 tahun. Tiga petugas lain, yang saat kejadian ada di lokasi, juga didakwa membantu dan bersekongkol.

KJRI New York mengeluarkan imbauan kepada warga Indonesia agar mematuhi jam malam yang ditetapkan otoritas setempat. "Wajib dipatuhi dan memiliki konsekuensi hukum bagi yang melanggar," tulis KJRI New York dalam rilis yang diterima wartawan Tirto, Kamis (4/6/2020) malam.

KJRI New York juga mengimbau WNI "tidak melibatkan diri dalam unjuk rasa" bahkan diminta "menjauhi tempat-tempat berlangsungnya unjuk rasa."

Selain tidak terlibat dalam unjuk rasa, KJRI Los Angeles bahkan meminta para WNI tidak mengunggah konten kritik kepada pemerintah atau dukungan kepada para demonstran. "Tidak ikut aksi unjuk rasa, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan menyampaikan dukungan/statement/penandatanganan petisi," tulis KJRI Los Angeles dalam rilis yang diterima Tirto, Jumat (5/6/2020).

KJRI Paranoid

Coen Husain Pontoh, salah satu WNI yang bermukim di New York, mengaku tak mempermasalahkan imbauan mematuhi jam malam dan tidak terlibat dalam aksi langsung. Menurutnya itu masuk akal karena tensi unjuk rasa semakin meningkat dan bentrok antara massa dan polisi kapan saja bisa pecah.

"Selain itu, juga sebagai upaya pencegahan penyebaran virus COVID-19," katanya kepada wartawan Tirto, Kamis (4/6/2020) malam waktu Jakarta.

Bentrok massa dengan polisi sudah terjadi beberapa kali, meski mayoritas dapat digolongkan sebagai aksi damai.

Mengutip BBC, Profesor Clifford Stott, seorang ahli yang mempelajari perilaku kerumunan dari Universitas Keele, Inggris, mengatakan bentrok terjadi karena "polisi memperlakukan orang banyak" dengan tidak baik. Saat beberapa orang melawan, misalnya, mereka bereaksi ke massa secara keseluruhan. Sementara akademisi lain mengatakan polisi meningkatkan agresivitas.

Sementara terkait tidak ikut-ikutan bersuara di media sosial, Coen tak setuju. Menurutnya menyuarakan kritik dan turut serta berkampanye tentang anti-rasisme adalah hak semua orang. Toh isu yang diangkat memang penting. Rasisme masih ada di mana-mana, termasuk di Indonesia.

Karena alasan tersebut menurutnya imbauan tidak bersuara berlebihan dan "KJRI sudah paranoid."

"Entah karena apa. Mungkin untuk menjaga hubungan antara Presiden Trump dan Presiden Jokowi? Ingat, Trump bilang secara terbuka bahwa Jokowi minta bantuannya untuk mengirimkan ventilator buat penderita COVID-19 dan Trump menyanggupi untuk mengirimkan barang itu," katanya.

Pernyataan ini Trump sampaikan via Twitter pada 24 April lalu. Trump mengatakan Jokowi adalah "temannya".

Di Indonesia, solidaritas justru ramai di media sosial. Warganet mengaitkannya dengan rasisme yang dialami orang-orang Papua.

Infografik George Floyd

Infografik George Floyd. tirto.id/Quita

Dosen hubungan internasional Universitas Pelita Harapan Yosef Djakababa mengatakan imbauan tidak bersuara di media sosial dan ikut aksi langsung harus dilihat secara terpisah.

Ia tidak mempermasalahkan kalau warga Indonesia ikut bersolidaritas di media sosial karena "diskriminasi itu memang tidak dibenarkan." "Bahkan PBB pun melarang," katanya kepada wartawan Tirto, Jumat (5/6/2020) sore. Hanya saja semua harus dilakukan dengan bijak, "bukan ikut memanaskan."

Sementara terkait anjuran tidak ikut serta dalam demonstrasi dan mematuhi jam malam, ia melihat itu adalah upaya KJRI untuk melindungi warga Indonesia. "Saya kira tujuannya bukan untuk membungkam. Mau bagaimanapun ini negara orang."

Tujuan tersebut juga terkait dengan fakta bahwa di sana banyak orang Indonesia tak berdokumen.

"Jadi lebih parah lagi kalau nanti warga tanpa dokumen ditangkap saat kerusuhan padahal enggak ngapa-ngapain. Dan konsulat akan sulit membantu karena dia ilegal. Mungkin membantu saat dideportasi, tapi bantu secara hukum sepertinya susah," katanya memberi pertimbangan.

Baca juga artikel terkait KASUS GEORGE FLOYD atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo & Alfian Putra Abdi
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino