Menuju konten utama
27 Mei 2006

Pembantaian Dos Erres dan Pahitnya Perang Sipil di Guatemala

Ratusan penduduk desa tewas di tangan tentara karena dianggap melindungi gerilyawan komunis.

Pembantaian Dos Erres dan Pahitnya Perang Sipil di Guatemala
Header Mozaik Militer dalam Perang Sipil Guatemala. tirto.id/Tino

tirto.id - Dos Erres merupakan desa kecil yang terletak di kotamadya La Libertad, utara Guatemala. Wilayah ini didirikan oleh Federico Aquino Ruano dan Marcos Reyes pada 1978, merespons program redistribusi tanah yang diberlakukan pemerintah Guatemala. Mayoritas penduduk Dos Erres adalah ladino━campuran Spanyol dan Maya━yang sehari-hari bekerja sebagai petani.

Sepintas, Dos Erres sama seperti desa-desa di Guatemala pada umumnya. Namun, di balik itu semua, Dos Erros menyimpan memori kelam. Dos Erres jadi saksi bagaimana konflik politik berkepanjangan dan kecamuk Perang Sipil memakan nyawa orang-orang tak bersalah.

Cerita terjadi pada 1982. Waktu itu, pemerintah junta militer Guatemala tengah gencar-gencarnya memerangi kelompok gerilyawan komunis. Dipimpin Efrain Rios Montt, jenderal yang naik takhta pada Maret 1982, kampanye melawan gerilyawan dilakukan secara meluas, metodis, sekaligus brutal. Tiap desa di Guatemala jadi target operasi militer. Para jenderal meyakini bahwa kelompok gerilyawan memperoleh perlindungan dari warga setempat.

Kebencian militer Guatemala makin menjadi-jadi saat mereka mengetahui beberapa pasukannya dibunuh pada Oktober oleh para gerilyawan. Tak cuma itu, belasan hingga puluhan senjata mereka turut digondol. Informasi intelijen menyebut kelompok gerilyawan berada di Dos Erres. Rencana balas dendam pun disusun dengan mengirimkan unit Kaibiles, pasukan khusus yang dianggap paling kejam di Amerika Latin.

Pada 6 Desember, sebagaimana ditulis Sebastian Rotella May dalam “Finding Oscar: Massacre, Memory and Justice in Guatemala” (2012), eksekusi dilaksanakan. Satu regu Kaibiles, yang terdiri atas 20 orang, berkumpul di pangkalan di Peten. Mereka menyamar sebagai gerilyawan: mengenakan kaos berwarna hijau, celana kargo, dan kain merah yang melingkar di lengan. Sementara di belakang mereka terdapat 40 tentara yang memberikan dukungan perimeter━mencegah siapa pun masuk atau pergi di sekitar wilayah operasi.

Operasi dipimpin oleh Oscar Ovidio Ramirez Ramos, letnan berusia 28 tahun. Meski usianya tergolong muda, jam terbangnya begitu tinggi. Ia adalah lulusan terbaik di angkatannya pada 1975. Tiga tahun berselang, setelah menjalani skorsing selama enam bulan karena kedapatan menyalahgunakan uang beasiswa militer untuk pesta pora, Ramirez terbang ke Nikaragua untuk bergabung bersama pasukan diktator Anastasio Somoza━yang dibekingi AS━sebagai tentara bayaran.

Pukul 2 pagi, Kaibiles menyerbu Dos Erres. Mereka masuk ke rumah-rumah dan menangkap sejumlah warga untuk dibawa ke pusat desa. Mereka diinterogasi soal gerilyawan dan senjata yang dicuri. Warga tak tahu. Ketika jawaban itu keluar, tentara menghajar kepala mereka.

Kala fajar mulai menyingsing, tentara makin beringas menyiksa warga. Tentara tak ragu untuk memperkosa, memutilasi, dan menembaki warga. Total, sekitar 250 warga Dos Erres dibantai pada hari itu. Menjelang malam, Dos Erres tak ubahnya neraka: darah, tumpukan mayat, dan api yang menyebar di setiap sudut.

Bagian dari Perang Sipil

Apa yang terjadi di Dos Erres adalah bagian kecil dari spektrum yang lebih besar bernama Perang Sipil. Di Guatemala, Perang Sipil tak ubahnya sejarah kelam yang terus menghantui kehidupan negara dan masyarakatnya.

Militer menjadi pihak yang berkontribusi dalam lahirnya Perang Sipil di Guatemala. Sebelum Perang Sipil meletus, pada 1966, militer Guatemala cenderung apolitis. Namun, selepas Konstitusi 1944 disahkan, militer punya kontrol politik yang cukup besar. Pasalnya, dalam Konstitusi 1944 disebutkan bahwa militer punya “kemampuan untuk campur tangan dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kebebasan.”

Implementasi kontrol politik tersebut bisa dilihat ketika pada 1954, militer, dibantu CIA, melakukan kudeta terhadap pemerintahan Presiden Jacobo Arbenz yang terpilih secara sah dan demokratis. Kudeta ditempuh sebab militer was-was dengan arah kebijakan Arbenz yang cenderung mengarah ke kiri, termasuk upayanya untuk menasionalisasi kepemilikan United Fruit Company dan mendistribusikan tanah ke para petani.

Usai kudeta, faksi militer pecah: mereka saling sikut untuk berebut kekuasaan dengan menggulingkan setiap presiden yang memimpin. Pada 1958, upaya kudeta terjadi lagi. Kali ini targetnya adalah Ygdoras Fuentes, berlatar belakang jenderal, yang menggantikan Castillo Armas yang dibunuh. Kudeta itu tak berhasil, namun dampaknya cukup signifikan: mengeluarkan beberapa perwira militer dari percaturan politik━untuk sementara waktu.

Ketika tak lagi bertarung dalam konstelasi elite politik, gerak beberapa perwira militer━yang kini sudah jadi mantan━terbatas di lingkup perdesaan. Lambat laun, mereka berhasil menggalang dukungan dari para petani yang dulu diuntungkan oleh kebijakan Arbenz. Mantan perwira tersebut akhirnya bergabung dengan sejumlah kelompok pemberontak: dari Movimiento Revolucionario, Fuerzas Armadas Rebeldes, hingga Frente Revolucionario. Mereka bersama-sama membentuk front gerilya kiri yang bertujuan melawan negara dengan basis massa yang tersebar di seluruh penjuru negeri.

Pemerintahan Fuentes, seperti dicatat Heather Ewing dalam tesisnya di Vanderbilt University (PDF, 2018), melihat situasi tersebut sebagai ancaman. Langkah antisipasi dan pengendalian kelompok gerilyawan pun diambil. Tapi, tugas Fuentes tak mudah mengingat kelompok gerilyawan memperoleh dukungan yang masif di akar rumput, sehingga seringkali sulit untuk membedakan mana warga sipil dan mana gerilyawan.

Guna mengatasi kebuntuan itu, pemerintah menempuh dua cara. Pertama, merekrut warga sipil untuk bergabung dengan milisi negara yang berbasis komunitas, seperti halnya kelompok gerilyawan. Militer menawarkan tempat berlindung, makanan, dan jaminan lolos dari eksekusi sewenang-wenang kepada warga yang bersedia bergabung. Diperkirakan sekitar satu juta orang bergabung dengan milisi negara. Animo yang tinggi ini tak bisa dilepaskan dari anggapan bahwa bergabung dengan negara, maka risiko dituduh sebagai pemberontak akan semakin kecil.

Langkah kedua adalah menyusup ke desa-desa. Dengan cepat, berdasarkan informasi warga sipil yang bergabung dengan milisi negara, militer mengontrol sepenuhnya desa-desa yang dianggap jadi tempat berlindung para gerilyawan kiri. Militer membakar desa, membunuh warganya, dan, ketika kebrutalan itu kian tumbuh masif, mereka selalu berdalih dengan klaim “membela negara”.

Kebuasan militer terus berlanjut saat tampuk kekuasaan berpindah ke tangan Fernando Romeo Lucas Garcia yang meninggal pada 27 Mei 2006, tepat hari ini 16 tahun lalu. Di masa ini, militer kian digdaya. Mereka melarang eksistensi dan partisipasi partai politik maupun warga sipil agar kampanye “kontra-teror” yang digaungkan menjadi lebih efektif. Bagi militer, partai politik dianggap punya keinginan untuk menumbangkan pemerintahan.

Kebrutalan militer, di era Lucas Garcia, juga bisa dilihat dari statistik berikut: sampai 1981, sekitar 10 ribu kasus pembunuhan ekstra yudisial terjadi. Sebagian besar pembunuhan ditargetkan pada komunitas keturunan Maya, yang digambarkan berkomplot dengan gerilyawan.

Kekerasan militer semakin meningkat di bawah rezim Efrain Rios Montt, yang mulai menjabat pada 1982. Montt terus menargetkan masyarakat sipil di desa-desa dengan alasan bahwa mereka melindungi gerilyawan. Sekitar 70 ribu orang━yang rata-rata berasal dari kelompok suku Maya━diperkirakan tewas dan hilang selama rezim Montt berkuasa. Laporan PBB menyatakan bahwa pendekatan militer yang diambil Montt lebih memperlihatkan bentuk pemusnahan massal yang dilandasi sikap rasis-agresif, alih-alih pengejaran gerilyawan.

Militer Guatemala, dalam melakukan pembantaian selama Perang Sipil, tak sendirian: mereka memperoleh dukungan dari Abang Sam. Berdasarkan dokumen CIA berjudul “U.S. Policy in Guatemala, 1966-1996,” yang disusun oleh Kate Doyle dan Carlos Osorio serta dipublikasikan lewat National Security Archive George Washington University, dijelaskan bahwa AS terlibat dalam konflik politik di Guatemala sejak 1960-an. Bantuan yang diberikan mencakup pelatihan militer, persenjataan, hingga finansial.

Pada 23 Oktober 1967, kabel rahasia Departemen Luar Negeri melaporkan sekitar 500 sampai 600 orang terbunuh dalam satu tahun terakhir. Jumlahnya bisa meningkat hingga 1.000 atau 2.000 orang bila menghitung mereka yang dihilangkan. Kabel rahasia tersebut juga mengatakan militer memanfaatkan komponen warga sipil untuk melakukan “penculikan, pembakaran, dan pembunuhan orang-orang yang diduga komunis.”

Di lain bagian juga dijelaskan bahwa pada 1980-an, CIA mempertahankan relasi dekatnya dengan militer Guatemala, sekalipun, waktu itu, tentara dan sekutu paramiliter membantai penduduk di desa-desa. Tak kaget bila AS turut berpartisipasi dalam kekerasan selama Perang Sipil di Guatemala, mengingat pada dekade 1960-1980-an, AS tengah gencar-gencarnya menyapu pengaruh komunis di kawasan Amerika Latin.

“Saya belum pernah melihat yang seperti ini,” ungkap Kate Doyle, Kepala Proyek Arsip Guatemala, kepada Washington Post.

Infografik Mozaik Militer dalam Perang Sipil Guatemala

Infografik Mozaik Militer dalam Perang Sipil Guatemala. tirto.id/Tino

Menolak Lupa

Perang Sipil berakhir pada 1996, ketika Alvaro Arzu, yang terpilih sebagai presiden, melakukan pembersihan besar-besaran di tubuh pemerintahan. Ia mengembalikan militer ke barak dan menandatangani kesepakatan damai dengan kelompok pemberontak. Konsekuensi dari Perang Sipil tidaklah main-main: 200 ribu nyawa hilang dan sekitar 626 desa rusak. PBB menyebut militer bertanggung jawab terhadap 93 persen aksi kekerasan selama 36 tahun Perang Sipil.

Bagi korban pembantaian, seperti di Dos Erres, kesepakatan damai bukan akhir segalanya━ia justru jadi pintu pembuka upaya untuk mendapatkan keadilan. Pada 1994, dua tahun sebelum Perang Sipil berakhir, LSM bernama Keluarga dari Orang yang Hilang dan Ditahan di Guatemala (FAMDEGUA) mengajukan tuntutan pidana terhadap personel militer yang diyakini jadi dalang pembantaian. Akan tetapi, kasus ini mandek setelah Jaksa Penuntut Umum memperoleh ancaman pembunuhan.

Harapan sempat menyala pada awal 2000 ketika pemerintah Guatemala, di bawah kepemimpinan Alfonso Portillo, mengaku bersalah atas pembantaian di Dos Erres. Tak hanya itu, Alfonso juga menjanjikan kompensasi sebesar 1,8 miliar dolar kepada keluarga korban. Namun, lagi-lagi, pemerintah terkesan tak serius mengusut tuntas kasus ini. Kompensasi hanya dibayar sebagian dan intimidasi kepada keluarga maupun aparat penegak hukum terus-menerus terjadi.

Dengan sistem peradilan Guatemala yang tak mampu━atau tak mau━menjamin hak-hak warga negaranya sendiri, para keluarga korban lantas membawa kasus ini ke Komisi HAM Antar-Amerika. Mereka menganggap Guatemala gagal menjalankan kewajibannya. Pada 2008, berkas lalu dinaikkan ke Pengadilan HAM Antar-Amerika. Setahun berselang, pengadilan memutuskan bahwa Guatemala bersalah atas tragedi pembantaian.

Sinyal positif terus bermunculan tatkala pada 2010, Mahkamah Agung Guatemala memerintahkan pengadilan yang lebih rendah untuk mengeksekusi keputusan Pengadilan HAM Antar-Amerika dengan membuka kembali proses pidana dan mengeluarkan surat penangkapan yang ditujukan kepada 17 mantan personel Kaibiles.

Tahun 2018, mengutip pemberitaan BBC, pengadilan akhirnya menjatuhkan vonis kepada lima mantan tentara karena dianggap berperan dalam pembantaian Dos Erres. Salah satu dari mereka, Santos Lopez, yang ditemukan bertanggung jawab atas 171 kematian, dihukum lebih dari 5.000 tahun penjara. (Masing-masing pembunuhan setara dengan 30 tahun penjara). Vonis juga menyasar Montt, menjadikannya sebagai orang pertama di Amerika Latin yang dituduh melakukan genosida.

Yang terkutuk, atau dalam bahasa lokal Guatemala diterjemahkan menjadi “Malditos”, memang akan memperoleh hukuman yang setimpal.

==========

Artikel ini terbit pertama kali pada 9 April 2019. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menayangkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait KUDETA atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Politik
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Nuran Wibisono & Irfan Teguh Pribadi