Menuju konten utama

Pembakuan Definisi "Agama" yang Penuh Pro dan Kontra

"Agama" tak pernah didefinisikan secara formal di Indonesia. Upaya pembakuan definisi yang ada pun kerap politis dan mendiskriminasi para penghayat kepercayaan.

Pembakuan Definisi
Penganut kepercayaan Sunda Wiwitan menyaksikan sidang dengan agenda pembacaan putusan uji materi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan di Mahkamah Konstitusi, Selasa (7/11). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Para penghayat kepercayaan di Indonesia boleh bernapas lega. Perjuangan panjang dan berliku mereka untuk mendapat pengakuan negara dalam catatan administrasi kependudukan lewat uji materi Undang-Undang Administrasi Kependudukan dikabulkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat pada Selasa (7/11/2017).

Arief menyatakan kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Kependudukan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai termasuk "kepercayaan". Hal serupa juga berlaku untuk Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) yang dinilai MK tak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Para pemohon; Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim, merasa aturan yang terdapat dalam Pasal 61 ayat (1), (2) dan Pasal 64 ayat (1), (2) Undang-Undang Administrasi Kependudukan merugikan mereka. Para penghayat kepercayaan kesulitan saat mengurus Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP), akte nikah, akte kelahiran, hingga mengakses pekerjaan, hak atas jaminan sosial. Untuk KK dan e-KTP, ada banyak penghayat yang dipaksa memilih salah satu dari enam agama resmi.

Melalui keputusan MK tersebut para penghayat kini bisa mencatatkan kepercayaannya di dokumen resmi negara. Langkah ini merupakan kemajuan besar bagi para penghayat yang selama ini ingin diperlakukan setara sebagaimana warga negara Indonesia lain, serta tak lagi mengalami tindak diskriminasi di ranah administratif maupun di ranah sosial-politik.

Baca juga: Agama-agama yang Terpinggirkan

Namun, respons masyarakat terutama di lingkaran elite organisasi masyarakat, tak seluruhnya mengapresiasi positif. Salah satunya datang dari Yunahar Ilyas, Ketua Bidang Tarjih, Tajdid, dan Tabligh PP Muhammadiyah, yang mempertanyakan alasan MK mengabulkan gugatan pemohon. Ia berkeyakinan jika kepercayaan yang dianut para penghayat bukanlah agama, sehingga ia nilai tak perlu dimasukkan ke kolom agama KTP.

Pendapatnya selaras dengan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah yang sekarang menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia, Din Syamsudin. Pada akhir Agustus 2017 lalu menyatakan penghayat kepercayaan seperti Sunda Wiwitan bukan agama sehingga tidak perlu dimasukkan ke kolom agama di KTP.

“Bukan dalam pengertian agama yang secara ilmiah. Berdasarkan wahyu atau berdasarkan semacam ilham. Kemudian membentuk kitab suci, ada pembawanya, ada sistem ritusnya,” kata Din.

Samsul Maarif, pengajar pada Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM yang menjadi salah satu saksi ahli dalam sidang polemik penghayat kepercayaan di MK, menegaskan bahwa sesungguhnya definisi "agama" secara formal di Indonesia tak pernah ada. Saat dihubungi Tirto, ia menjelaskan bahwa ketiadaan ini menjadi akar diskriminasi kepada para penghayat kepercayaan di Indonesia.

“Pernah diusulkan di tahun 1950-an oleh Departemen Agama namun ditolak oleh sejumlah kelompok non-muslim dan muslim juga. Usaha itu digunakan untuk menargetkan kelompok Islam yang cenderung abangan atau tidak ortodoks. Usaha ini bagi saya adalah infiltrasi suatu kelompok kepada negara agar bisa mengontrol kelompok lain karena pada dasarnya definisi yang diusulkan bersifat sektarian, spesifik, sempit, dan hanya bisa dipakai untuk mendefinisikan Islam saja.” jelasnya pada Kamis (10/11/2017).

Baca juga: Sebait Maaf untuk Orang-orang Adat

Akibat "agama" tak memiliki definisi formalnya, Samsul menilai ia tak bisa dijadikan rujukan untuk mengatur undang-undang menyangkut kewarganegaraan para penghayat. Jika dipakai pun, imbuhnya, definisi itu akan melahirkan diskriminasi kepada para penghayat kepercayaan sebab jika ingin diakui negara maka kepercayaan itu mesti menyesuaikan diri dulu.

“Usaha mendefinisikan agama kental intrik politik, jadi dipakai untuk meng-include (merangkul) beberapa kelompok tapi juga meng-exclude (mengecualikan) beberapa kelompok lain.” tegasnya.

Samsul menilai pemerintah Orde Baru pada awalnya memperlakukan para penghayat kepercayaan dengan cukup baik karena TAP MPR tahun 1973 menyebutkan aliran kepercayaan setara dengan agama. Namun, perubahan TAP MPR Nomor 478 yang isinya menyebut kepercayaan termasuk dalam kategori kebudayaan, bukan termasuk agama. Di tahun yang sama pemerintah juga meresmikan 5 agama yang diakui negara (kini jadi 6), penghayat kepercayaan wajib berafiliasi ke salah satunya, dan kolom agama di KTP diciptakan untuk pertama kali.

Setelah reformasi mulai muncul wacana tentang hak asasi manusia menguat, terutama bicara soal diskriminasi, salah satunya adalah di ranah kepercayaan. Perjuangan untuk menyetarakan hak bagi para penghayat kepercayaan makin intens dan menuai sejumlah hasil, walaupun belum ideal. Misalnya kebijakan pengosongan kolom agama di KTP, yang bagi Samsul menunjukkan tidak ada pengakuan dari negara sebab tetap membedakan penganut kepercayaan dengan penganut agama resmi .

“Pengosongan juga memfasilitasi menjamurnya stigma sosial, contohnya stigma mereka yang kosong kolom agamanya dianggap anggota PKI. Dulu negara berargumen penulisan nama kepercayaan akan merepotkan secara administratif karena jumlahnya diperkirakan ratusan. Ditulis 'kepercayaan' itu pun menurut saya sudah cukup memfasilitasi kelompok penghayat yang masing-masing punya nama.” jelasnya.

Baca juga: Diskriminasi Penganut Kepercayaan

Tak hanya di Indonesia, pendefinisian "agama" juga bermasalah di tingkat global—termasuk di bidang kajian perbandingan agama. Konstruksinya, menurut Samsul, selalu didasarkan pada agama besar yang pengikutnya tersebar di mana-mana. Kepercayaan lokal menjauhi kondisi yang serupa karena lingkup komunitasnya cenderung terbatas teritori. Penghayat kepercayaan Ajaran Samin, misalnya, hanya ada di Blora (Jawa Tengah) dan Bojonegoro (Jawa Timur).

Samsul menilai kasus yang terjadi di Indonesia cukup unik. Indonesia mengklaim dirinya plural tapi agama yang diakui hanya enam. Padahal secara konkret ada banyak kepercayaan yang tidak diakui secara setara apalagi diakomodasi dengan semestinya. Negara sekuler seperti Amerika Serikat atau Inggris tidak mengurusi agama, kata Samsul, sehingga tak melebar ke urusan administrasi. Meski demikian kebebasan menjalankan keyakinan tetap dijunjung tinggi.

“Di Selandia Baru pemerintah dan warganya enggak terlalu banyak ngomong tentang agama, tetapi tradisi dan kepercayaan lokal dihargai. Bahkan sudah sampai ke peraturan bahwa mata air dan sungai itu dilihat sebagai subjek hukum dan dijaga oleh penduduk di sekitarnya. Peraturannya termasuk baru, baru beberapa tahun yang lalu, dan semakin melindungi hak hidup komunitas lokal dan kepercayaannya sendiri,”paparnya.

Infografik Polemik kepercayaan

Ia pun merasa heran dengan kekhawatiran berlebihan Wasekjen DPP PPP Ahmad Baidowi yang memandang putusan baru MK akan menjadi alasan bagi pemeluk agama lain untuk tidak menjalankan ritual peribadatan mereka. Baidowi juga menilai keputusan tersebut bisa menjadi alat terselubung bagi paham-paham yang dilarang di negeri ini untuk berkembang dengan berdalih aliran kepercayaan.

"Jangan sampai paham-paham agama atau paham lain yang dilarang dimasukkan dalam aliran kepercayaan. Bisa jadi misalnya paham komunis agar enggak terdeteksi ditulis aliran kepercayaan," kata Baidowi kepada Tirto, Rabu (8/11/2017).

Baca juga: Zahid Hussein, Jenderal Aliran Kepercayaan dan Soeharto

Keputusan MK, menurut Samsul, justru menjadi syarat agar kelompok penghayat tak dipaksa pindah keyakinan sampai tak bisa menjalankan keyakinan mereka dengan baik. Keputusan MK adalah syarat minimal agar para penghayat mendapatkan haknya di ranah administrasi. Lebih penting lagi, adalah pemenuhan tiga hak pokok: pengakuan, representasi, dan redistribusi bagi para penghayat kepercayaan.

“Karena eksistensinya diakui di ruang publik, maka lahir representasi. Contohnya di dunia pendidikan. Setelah putusan MK ini, status mereka harus diinformasikan ke peserta didik. Pendidikan agama ada, maka pendidikan kepercayaan juga harus ada.”

“Redistribusi berarti berbagai hal yang negara sediakan fasilitasnya untuk publik juga harus menjangkau kelompok kepercayaan. Misalnya tak boleh didiskriminasi saat akan mendaftar kerja apapun—apalagi kerja di pemerintahan. Diskriminasi harus berbuah pelanggaran. Ekonomi, politik, semuanya juga harus setara,” pungkasnya.

Tak lama usai putusan MK muncul, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo berjanji kementeriannya akan segera melaksanakan amanat putusan MK. "Kemendagri akan berkoordinasi dengan Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan untuk mendapatkan data kepercayaan yang ada di Indonesia," kata Tjahjo seperti dilansir laman Kemendagri.

Dia menambahkan Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri akan memasukan data aliran kepercayaan tersebut ke dalam sistem administrasi kependudukan. Setelah data itu diperoleh, maka Kemendagri akan memperbaiki aplikasi SIAK dan aplikasi data base, serta melakukan sosialisasi ke 514 kabupaten dan kota.

Baca juga artikel terkait ALIRAN KEPERCAYAAN atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Hukum
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf