Menuju konten utama

Pemasaran Rokok Elektronik Masif di Media Sosial, Apa Bahayanya?

Promosi rokok elektronik beredar bebas dan masif melalui media sosial. Pemerintah perlu membuat regulasi untuk membatasinya.

Pemasaran Rokok Elektronik Masif di Media Sosial, Apa Bahayanya?
Pekerja menata botol berisi cairan rokok elektronik (vape) di Bandung, Jawa Barat, Selasa (7/11/2017). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

tirto.id - Jangan tanya dulu soal aturan pelarangan rokok elektronik untuk anak di bawah umur di Indonesia. Pasalnya, regulasi rokok konvensional pun masih bolong sana-sini. Juga jangan heran jika jumlah perokok anak—terutama pengguna rokok elektronik—meningkat karena harganya murah dan tak ada regulasi.

Setiap tahun, prevalensi perokok anak terus meningkat. Dari hanya 7 persen pada 2013, terakhir sudah mencapai 10,7 persen pada 2019. Sementara itu, pengguna rokok elektronik meningkat 10 kali lipat dari 0,3 persen pada 2011 menjadi 3 persen pada 2021.

Perusahaan rokok telah dilarang melakukan promosi melalui media cetak, media penyiaran, media teknologi informasi, dan media luar ruang. Pembatasan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintahan No. 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Namun, tak ada aturan khusus yang membatasi iklan rokok elektronik. Akibatnya, Indonesia jadi lahan basah pasar perdagangan rokok elektronik.

“Studi menunjukkan bahwa 84 persen partisipan yang disurvei pernah melihat promosi rokok elektronik di media sosial, seperti Facebook, Instagram, dan Youtube,” tulis Widya Ratna Wulan dkk. dalam artikel ilmiahnya yang terbit dalam Asian Pacific Journal of Cancer Prevention (2021, PDF).

Penelitian lain oleh Vital Strategies yang terbit dalam jurnal Frontiers in Public Health (2022) menunjukkan bahwa ketiadaan regulasi iklan rokok elektronik membikin angka perokok elektronik usia muda terus melejit.

“Indonesia merupakan negara dengan volume pemasaran rokok elektronik tertinggi dibandingkan dengan India dan Meksiko,” tulis penelitian tersebut.

Tim peneliti membandingkan cara pemasaran rokok elektronik di tiga negara—yang punya regulasi rokok elektronik berbeda: India, Indonesia, dan Meksiko.

India melarang rokok elektronik secara komprehensif. Saat penelitian berlangsung, Meksiko tengah merevisi undang-undang pengendalian tembakau nasional untuk melarang perdagangan, penjualan, distribusi, ekshibisi, dan promosi produk apapun yang serupa dengan produk tembakau.

Hanya Indonesia negara yang tidak memiliki undang-undang nasional yang membatasi penjualan, konsumsi, maupun iklan rokok elektronik.

Dengan akses daring pada populasi anak muda yang sama-sama tinggi, kasus pemasaran terbesar teridentifikasi di Indonesia (72 persen) atau sebanyak 1.029 unggahan. Peneliti menganalisis hampir 1.500 kasus pemasaran dari Desember 2021 hingga Maret 2022.

“Meksiko dengan pembatasan sebagian ada promosi sebanyak 22 persen (318 unggahan), dan India dengan larangan penuh pada promosi hanya ada 6 persen kasus (90 unggahan).”

Angka-angka tersebut diperoleh Vital Strategies menggunakan sebuah sistem pemantauan pemasaran rokok secara digital bernama Tobacco Enforcement and Reporting Movement (TERM).

Bukan Alat Bantu untuk Hentikan Kecanduan

Pemasaran rokok elektronik mengejar celah “kesehatan” dari rokok konvensional. Produsen memberi klaim bahwa rokok elektronik lebih sehat dibanding rokok konvensional. Selain itu, rokok elektronik juga membangun citra kekinian, muda, dan modern.

Hasil penelitian Vital Strategies turut mengungkap bahwa Indonesia menjadi negara dengan volume pemasaran rokok elektronik tertinggi dibanding India dan Meksiko. Jumlah pemasarannya merajalela di dunia daring dan mencapai hampir setengah jumlah pemasaran rokok konvensional.

“Nuansa pemasarannya menggambarkan rokok elektronik sebagai pilihan gaya hidup yang digandrungi anak muda, bukan kebiasaan berbahaya, dan justru disarankan bagi mereka,” ungkap Nandita Murukutla, Vice President bidang Global Advocacy and Research di Vital Strategies, dalam keterangan yang diterima Tirto.

Pencitraan itu tentu tidak konsisten dengan klaim hiperbola industri, bahwa rokok elektronik hadir sebagai “alat bantu untuk berhenti merokok” atau “alat untuk mengurangi bahaya rokok”.

Infografik Rokok Elektrik

Infografik Rokok Elektrik. tirto.id/Fuad

Selain lewat promosi daring, rokok elektronik juga dipasarkan dan ditawarkan secara langsung. Di India, persentasenya mencapai 99 persen, sementara Indonesia 69 persen dan Meksiko 93 persen. Sebagian besar pesan promosi fokus pada atribut paling menarik bagi anak muda.

Di Indonesia, mayoritas unggahan (58 persen) fokus pada varian rasa cairan rokok (liquid), seperti berbagai rasa buah-buahan, warna, serta desain gawai.

“Akun-akun pemasar mengarahkan konsumen ke berbagai jalur penjualan dalam profil. Sebagian besar pemasaran dilakukan melalui platform Meta, terutama Facebook dan Instagram,” lanjut Nandita.

Di Indonesia—yang mengalami lonjakan drastis pengguna rokok elektronik, situasi ini jelas menjadi masalah kesehatan publik. Terlebih, tidak ada kebijakan yang mengatur iklan, promosi, dan sponsor rokok elektronik, khususnya di internet.

Temuan ini harus jadi peringatan serius bagi para pemangku kepentingan untuk meregulasi rokok elektronik dan pemasarannya di seluruh platform digital. Selain menyusun regulasi kegiatan pemasaran rokok dan produk tembakau lain di seluruh kanal media, pemerintah harus merespons kebutuhan informasi masyarakat mengenai cara-cara berhenti merokok.

Bukan cuma dengan memberi layanan telepon berhenti merokok, tapi juga aktif meluruskan misinformasi terkait klaim kesehatan rokok elektronik.

“Bagi negara-negara yang peduli anak mudanya serta kalangan yang rentan terhadap rokok, penelitian kami menunjukkan bahwa kita tidak dapat membiarkan produk rokok dan pemasaran rokok tanpa regulasi,” pungkas Nandita.

Baca juga artikel terkait ROKOK atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi