Menuju konten utama

Pemakaian Jarum Suntik Berulangkali Picu Wabah HIV di Pakistan

Selama tahun 2020 ada 160 ribu kasus infeksi baru pada anak. Jauh dari target global yang cuma 20 ribu.

Pemakaian Jarum Suntik Berulangkali Picu Wabah HIV di Pakistan
Ilustrasi HIV di tengah pandemi Covid. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Bayangkan Anda makan, minum, tidur, dan beraktivitas sebagaimana hari-hari sebelumnya. Tak pernah melakukan tindakan berisiko, atau berada dalam lingkaran risiko, tetapi suatu hari didiagnosa HIV.

Kaget, bingung, sedih, putus asa sudah pasti. Tapi yang paling menyakitkan dari semuanya adalah ketidakmampuan untuk mengetahui penyebab dan menuntut pengobatan layak. Begitulah nasib anak-anak di Pakistan setelah menjadi kelinci malpraktik seorang dokter anak di Rato Dero, Pakistan.

Pengendalian infeksi di negara itu bisa dikatakan kurang--jika tak mau dibilang bobrok--karena para dokter bisa berulang kali menggunakan satu jarum suntik untuk beberapa pasien. Walhasil pada 2019, wabah HIV menyebar di Pakistan. Ironisnya, anak-anak menjadi korban.

“Ada aturan tertulis di dokumen (soal larangan menggunakan kembali jarum suntik), tapi praktis tidak efektif,” kata Rafiq Khanani, seorang dokter sekaligus ketua dari Infectious Diseases Society of Pakistan seperti dikutip dari CNA.

Akar masalahnya bersumber dari pendidikan kedokteran yang usang dan lemahnya jerat hukum. Para dokter di sana tidak menguasai pengendalian infeksi--bahkan untuk urusan kecil sekalipun seperti mencuci tangan sebelum dan sesudah menangani pasien. Sementara ketika standar medis dilanggar, mereka sangat mungkin lolos dari hukum.

Kasus Muzaffar Ghangro, seorang dokter anak yang diduga menyebarkan wabah HIV pada anak di tahun 2019, kini bebas dengan jaminan. Ia membantah tuduhan penyebaran wabah dan mengatakan isu tersebut dibuat untuk menjatuhkan kariernya.

Pasca-skandal tersebut, pemerintah Pakistan memang melarang impor jarum suntik konvensional. Para tenaga medis hanya boleh memakai jarum suntik dengan pengunci otomatis untuk sekali pakai. Tapi tetap saja banyak dokter serakah mengabaikan larangan dan membeli model jarum yang lebih murah.

“Dalam tiga bulan pertama, tabib dan praktisi medis ilegal dilarang, klinik mereka disegel, tetapi mereka kembali mendapat izin kemudian hari.”

Sebuah penelitian yang terbit di Eastern Mediterranean Health Journal (2020) mengungkap praktik nakal ini dilakukan sekitar 38 persen penyedia layanan kesehatan di sana.

“Mereka menggunakan kembali jarum suntik sampai 2-3 kali,” demikian simpulan studi tersebut.

Peneliti secara acak mengamati 319 penyedia layanan kesehatan di Pakistan. Mereka membandingkan stok harian dengan jumlah suntikan yang diberikan pada pasien. Klinik di daerah perdesaan dengan durasi praktik panjang diprediksi lebih tinggi dalam memakai jarum suntik bekas.

Miskin dan Tak Berdaya

Seorang urolog di Pakistan bernama Imran Akbar Arbani bingung ketika didatangi seorang pria dan putrinya yang sudah kehilangan banyak berat badan. Insting sebagai seorang dokter membuat ia mendorong tes HIV kepada keluarga tersebut. Hasilnya, sang anak positif, tapi tidak demikian kedua orangtuanya.

Padahal infeksi HIV pada anak lazim terjadi secara vertikal, artinya diturunkan dari orangtua. Kecurigaan ini bertambah kuat ketika ia mendapati kasus serupa pada anak-anak lain. Singkat cerita, klinik Muzaffar Ghangro diduga sebagai sumber masalah karena sebelumnya bocah-bocah itu berobat ke tempat yang sama.

Tapi pelanggaran prosedur operasional medis bukan cuma ada di klinik Ghangro. Banyak klinik di Pakistan menggunakan alat suntik dan infus berulang kali. Studi lebih lanjut juga mengatakan bahwa anak-anak dengan infeksi HIV sebelumnya pernah mendapat perawatan suntik atau infus.

“Ada korelasi antara infeksi HIV pada anak dengan pekerjaan ibunya dan suntikan/infus,” ungkap studi presentasi dalam virtual AIDS 2020.

Sekitar 7,9 persen sampel menerima 10 suntikan selama 6 bulan sebelum tes HIV. Sisanya mendapat injeksi kurang dari jumlah tersebut. Sementara terkait rentang umur korban, The Lancet mengumumkan 79 persen adalah balita.

Secara total infeksi didapat kelompok usia di bawah 16 tahun (82 persen). Sebanyak 79 persen korban adalah balita, mayoritas berumur 0-2 tahun. Jika dibandingkan, hanya 11 persen anak yang mendapat infeksi vertikal dari ibunya, 89 persen melaporkan mendapat injeksi, dan 9 persen transfusi.

“Wabah HIV (di Pakistan) ini meningkat tajam selama 13 tahun terakhir, sampai 54 persen.”

Masyarakat Pakistan seringkali tak punya pilihan atas akses kesehatan mumpuni. Kemiskinan membuat mereka tak bisa menjangkau pengobatan layak di rumah sakit besar, karena jaraknya jauh di kota. Ketika sudah sakit pun, mereka bahkan masih harus memilih antara memenuhi kebutuhan perut atau membeli obat.

Wajar ketika akhirnya masyarakat perdesaan memilih berobat ke klinik-klinik murah. Padahal tenaga kesehatannya tidak terjamin, sering diisi dokter tanpa izin praktik, atau yang lebih parah bukan dokter. Memang, paska kasus Ghangro mencuat, pemerintah membuka pusat pengobatan HIV di desa Roto Dero, mereka juga menyediakan obat anti-retroviral.

Tapi, beban penyakit lain yang timbul dari infeksi HIV tidak ditanggung. “Pemerintah tidak memberikan antibiotik atau multivitamin, dan kami tak mampu membelinya,” ungkap Hakima Shar dalam reportase CNA, seorang ibu dengan anak berusia empat tahun.

Shar jujur bahwa si anak jarang minum obat sehingga sering demam. Tak ada yang mengawasi anaknya karena ia harus bangun dan mulai bekerja saat matahari belum muncul, dan baru selesai larut malam.

“Kami sangat miskin, mungkin ini takdir kami,” katanya putus asa.

Infografik HIV di Tengah Pandemi

Infografik HIV di Tengah Pandemi. tirto.id/Fuad

Infeksi Baru Berpeluang Naik Selama Pandemi

Sebelum dunia sibuk mengurusi pandemi Covid-19, penanganan kasus anak dengan HIV sudah tertinggal jauh dibanding kasus dewasa. Hanya 53 persen dari 1,8 juta anak dengan HIV (usia 0–14 tahun) menjalani pengobatan, dibanding 63 persen dewasa (2019). Jika dikonversi, jumlahnya mencapai 850 ribu, sementara 950 ribu anak belum terdiagnosis dan tak menerima pengobatan. UNAIDS memperkirakan ada 95 ribu nyawa anak hilang karena AIDS. Setengah populasi bayi dengan HIV akan meninggal sebelum umur 2 tahun jika tidak diobati.

Catatan buruk itu terus bertambah ketika covid menyerang dunia. Selama tahun 2020 kemarin, ada 160 ribu kasus infeksi baru pada anak. Jauh dari target global yang cuma 20 ribu saja. Beberapa negara melaporkan gangguan layanan HIV di wilayah mereka mencapai 75 persen akibat pembatasan.

“Pengendalian Covid-19 berimbas pada 2,8 juta anak dan remaja ditambah 1,3 juta ibu hamil dengan HIV,” papar data UNICEF.

Lembaga PBB untuk anak dan perempuan ini memprediksi peningkatan infeksi HIV baru dan kematian ketika program pencegahan dan pengobatan terganggu. Model dampak pandemi pada 25 persen populasi orang dengan HIV akan memunculkan 178 ribu kasus infeksi baru dan 189 ribu kematian pada anak 0-14 tahun.

Sementara dengan persen yang sama, akan ada 729 ribu anak kehilangan hak mendapat anti retroviral. Ketika negara hanya menganggap kasus-kasus kesehatan sebagai angka semata, maka tak akan ada tempat bagi si miskin mendapat hak dasarnya bahkan untuk hidup sekalipun.

Baca juga artikel terkait HIV atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Windu Jusuf