Menuju konten utama
30 Desember 2001

Peluru Enggak Kenal Pelawak atau Bukan, Don. Siapa pun Bisa Kena!

Salah satu personel Warkop DKI adalah Wahyu Sardono alias Dono. Sejak kuliah hingga tahun-tahun terakhir jelang kematiannya, ia tetap kritis terhadap pemerintah.

Peluru Enggak Kenal Pelawak atau Bukan, Don. Siapa pun Bisa Kena!
Ilustrasi Mozaik Dono Warkop. tirto.id/Nauval

tirto.id - “Selamat jumpa. Saudara, dunia dalam berita pada hari ini akan diawali oleh beberapa berita politik dan sebuah berita yang tidak penting sama sekali. Berita pertama akan dibacakan oleh rekan saya, Tuti Ajiwirya.”

Rangkaian kalimat itu diucapkan oleh seorang lelaki berjas warna cokelat dan dasi merah. Ia adalah seorang pembawa acara berita untuk sebuah stasiun televisi pada tahun 1980-an. Lelaki itu membuka acara sekaligus memberikan kesempatan kepada rekannya untuk membacakan berita pertama.

Seorang pembaca berita dengan dandanan seperti perempuan kemudian muncul. Ia pun segera berbicara.

“Organisasi Pembebasan Rakyat Palestina atau PLO pada minggu kemarin telah berhasil membebaskan tanah girik di wilayah Jatiwaringin untuk dijadikan Perumnas. Demikian siaran dari tetangga saya. Dan jangan Anda percaya begitu saja.”

"Perempuan" itu mengenakan kacamata besar, memakai anting, dan lipstik yang mengilat. Bicaranya panjang tanpa henti. Membaca berita dari topik satu ke topik yang lain.

“Kredit adalah suatu gagasan baik, yang enak didengar, sulit dicicipi karena prosedur. Sekarang berkembang menjadi gaya hidup masyarakat kita. Di mana-mana ada sistem kredit. Kredit mata pelajaran di perguruan tinggi, sampai kredit rumah, mobil, sepeda motor, alat elektronika, kebutuhan rumah tangga, dan lain-lain.”

Cuplikan adegan pembawa acara itu terdapat dalam film Setan Kredit (1981), salah satu film Warkop DKI yang paling laris. Kasino Hadiwibowo berperan sebagai pembawa acara lelaki, dan pembawa acara berdandan perempuan adalah Wahyu Sardono yang lebih akrab dipanggil Dono.

Isu sosial politik memang menjadi salah satu bahan jualan Warkop DKI. Trio itu kerap menyindir pemerintah, pengusaha, mafia berduit, hingga fenomena sosial yang terjadi di masyarakat Indonesia. Celetukan-celetukan seperti dalam Setan Kredit yang membuat Warkop DKI masih relevan hingga saat ini.

Racikan humor ala Warkop DKI tidak hadir secara kebetulan. Grup ini diisi oleh personel yang memang sudah melek isu sosial politik sejak di bangku perkuliahan.

Salah seorang personel Warkop DKI yang paling diingat pemirsa adalah Dono. Ia hadir dengan tampilan fisiknya yang khas: agak tonggos. Selain itu, celetukan-celetukannya pun kerap tak lepas dari isu sosial politik.

Cuplikan adegan Setan Kredit di atas menunjukkan hal tersebut. Dono seolah sedang mengkritik media televisi yang kerap sulit dipercaya masyarakat—entah karena tidak akurat atau politik redaksi yang kerap mengaburkan fakta. Sebuah kritik yang muncul di tahun 1980-an, dan masih relevan hingga sekarang.

Ia juga membahas bagaimana fenomena kredit yang menggejala di masyarakat Indonesia saat itu. Kredit kerap dikaitkan dengan konsumerisme akut yang terjadi, dan lagi-lagi, kritik itu relevan hingga saat ini.

“Join Us, We Fight for a Clean Government”

Belakangan, salah satu foto Dono beredar di dunia maya. Dono muda tengah mengenakan kaos berwarna putih bertuliskan “Join Us We Fight for a Clean Government” dan dikelilingi aparat bersenjata. Hal ini bukan sesuatu yang mengagetkan jika kita tahu bagaimana dirinya menjalani masa kuliah di Departemen Sosiologi Universitas Indonesia pada tahun 1970-an.

Semasa kuliah, Dono adalah mahasiswa kritis dan berani bersuara lantang. Tak heran jika pada tahun 1975 ia diajak bergabung ke group Warkop Prambors—cikal bakal Warkop DKI—oleh Rudy Badil dan Kasino yang sudah lebih dulu bergabung. Salah satu alasan direkrutnya Dono adalah karena ia doyan berhumor sembari menyerempet ranah politik.

Jejak Dono memandang permasalahan sosial secara kritis bahkan bisa dibaca pada skripsinya yang berjudul "Hubungan Status Sosial Ekonomi Keluarga dengan Prestasi Murid di Sekolah: Studi Kasus SMP Negeri Desa Delanggu" (1978) dengan konsentrasi sosiologi pendidikan.

Dalam skripsinya, ia meyakini bahwa upaya demokratisasi di dunia pendidikan, dengan membuka kesempatan yang sama bagi setiap anak dalam mengakses pendidikan, adalah salah satu cara membangun sumber daya manusia yang berkualitas di Indonesia.

Penelitiannya dimulai dengan satu pertanyaan sederhana: sudahkah kesempatan yang sama dan setara bagi setiap anak-anak untuk memperoleh pendidikan berpengaruh terhadap sosiologis kehidupan mereka?

“Jawab yang paling sederhana adalah belum seluruhnya. Sebab lembaga pendidikan memiliki itu, memiliki sifat yang selektif. Artinya selektif terhadap kemampuan individu, padahal kemampuan tersebut banyak ditentukan oleh faktor fasilitas dan lingkungan yang dimiliki oleh individu tersebut,” tulis Dono dalam Bab Pendahuluan skripsinya.

Ia menambahkan, seseorang yang tidak memiliki fasilitas yang cukup, seperti perlengkapan belajar, lingkungan rumah, mutu makanan yang baik, serta fasilitas-fasilitas lainnya, sangat sulit berproses belajar dan mendapatkan kepandaian serta prestasi. Fasilitas-fasilitas macam itu, tulis Dono, hanya bisa didapat oleh anak-anak sekolah dari latar belakang ekonomi sosial yang tinggi dan mapan.

Ia mengambil tempat penelitian di SMP Negeri Desa Delanggu, Klaten, Jawa Tengah—daerah kelahirannya. Dono mengambil teori-teori dari para sosiolog Indonesia seperti Hassan Shadily dan Soerjono Soekanto, hingga sosiolog pendidikan Inggris John Ernest Vaizey dan sosiolog pendidikan Swedia Torsten Husen.

Alasan Dono menjadikan daerah asalnya menjadi tempat penelitian adalah karena masih ada kesenjangan sosial antara yang kaya dan miskin, serta sudah berlangsung puluhan tahun. Menurutnya, kesenjangan itu makin terasa setelah pembantaian 1965 yang terjadi di daerahnya.

“Desa Delanggu pada tahun-tahun sebelum 1965 merupakan basis Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kuat, banyak tokoh-tokoh yang dihormati menjadi anggota dari Partai Komunis Indonesia. Setelah meletus pemberontakan PKI pada tahun 1965 dan partai tersebut dianggap mengkhianati negara, dianggap pula sebagai partai yang tidak beragama, partai itu kemudian dilarang dan banyak anggotanya ditahan,” tulis Dono.

Kejadian itu memengaruhi perubahan stratifikasi sosial secara drastis di Desa Delanggu.

“Lurah yang dulunya berafiliasi dengan PKI, menjadi tokoh di masyarakat dan menduduki stratifikasi sosial atas di desa tersebut, setelah terjadi pemberontakan menjadi orang biasa. Ini tidak hanya menyangkut lurah sebagai pribadi tetapi berpengaruh ke keluarga dan keturunannya,” lanjut Dono.

Sebagai daerah agraris, tulis Dono, Desa Delanggu memiliki ketimpangan sosial yang tinggi. Buruh tani lebih banyak ketimbang petani yang selain memiliki sawah, juga merangkap sebagai pedagang beras dan pemilik penggilingan beras.

Dengan melakukan penelitian kepada anak-anak yang bersekolah di SMP Negeri Delanggu, ia menemukan fakta bahwa prestasi dan kepandaian anak-anak sekolah banyak yang berasal dari keluarga yang mampu dan kuat secara ekonomi. Kondisi sebaliknya dialami oleh anak-anak yang berasal dari keluarga berekonomi rendah.

Dengan demikian, hasil akhir dari penelitiannya menjadi senjata bagi Dono untuk mengkritik pemerintah. Bahwa upaya membuka seluas-luasnya akses pendidikan bagi setiap anak masih menemukan banyak hambatan.

“Mendemokratisasi pendidikan berarti bukan saja memberi kesempatan yang sama kepada setiap warga negara, tetapi juga harus dibarengi dengan peningkatan kehidupan ekonomi masyarakatnya, supaya kesempatan yang luas itu bisa dimanfaatkan secara maksimal,” tulis Dono.

Oleh karena itu, menurutnya, pemerintah Indonesia harus memberi subsidi pendidikan bagi anak-anak yang kurang mampu dengan membebaskan SPP dan memberikan beasiswa yang memadai.

Dari penelitian tersebut terlihat jelas bagaimana daya kritis dan keberpihakan ilmu pengetahuan Dono kepada masyarakat miskin di daerahnya. Mengangkat tema penelitian tentang kesenjangan sosial dengan mengaitkan konteks historis yang sensitif, bagi seorang pelawak di masa Orde Baru, adalah sesuatu yang patut diacungi jempol.

Dono dalam Reformasi 1998

Gambaran Dono sebagai mahasiswa yang kritis dan "tak bisa diam" masih diingat oleh Arianto (70 tahun), teman dekat Dono semasa kuliah di FISIP UI. Mereka berdua hanya dibedakan oleh jurusan dan angkatan. Arianto berasal dari jurusan Hubungan Internasional angkatan 1969, sedangkan Dono adalah mahasiswa Sosiologi angkatan 1971. Namun, bersama juga dengan Kasino, keduanya melakukan ragam aktifitas mahasiswa secara kolektif: ngopi, diskusi, dan naik gunung.

“Dono memang orangnya begitu (lucu) dari dulu. Jadi humor dia memang sering diselipin ke hal-hal politik dan kritik,” kata Arianto saat dihubungi Tirto Jumat (27/12/2019). Oleh Dono, ia kerap disapa Anto Gabuk.

Semasa kuliah, Dono aktif di koran kampus Salemba UI dan rutin menyumbang karikatur di setiap terbitannya. Anto mengaku bahwa karya-karya Dono di Salemba UI sangat ikonik dan khas. Salah satu karya Dono yang diingat Anto adalah gambar sepatu lars yang sedang menginjak mahasiswa. Saat itu, ia memang dikenal benci dan kritis terhadap tentara.

Karena aktif naik gunung bersama Anto dan Kasino, serta kenal dengan banyak aktivis Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA) UI, akhirnya Dono dilantik sebagai anggota organisasi tersebut.

Dono memang tak jauh berbeda dengan kebanyakan aktivis UI tahun 1960-1970-an yang kegiatannya tak jauh-jauh dari diskusi, naik gunung, hingga mengkritik pemerintah. Tentu kita ingat nama-nama aktivis mentereng dari UI seperti Soe Hok Gie, Arief Budiman, hingga Aristides Katoppo pada tahun-tahun itu.

Infografik Mozaik Wahjoe Sardono

Infografik Mozaik Wahjoe Sardono. tirto.id/Rangga

Menurut Anto, ia dan Dono sama-sama turun ke jalan saat peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974, yang dikenal sebagai aksi mahasiswa pertama sejak Orde Baru berdiri.

Selepas menyelesaikan skripsi pada Juli 1978—dengan waktu kuliah selama tujuh tahun—Dono sempat menjadi asisten dosen Prof. Selo Soemardjan, yang dikenal sebagai Bapak Sosiologi Indonesia. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Dunia perfilman lebih menarik secara finansial bagi Dono.

Setelah malang melintang di dunia film selama hampir dua dekade, daya kritis Dono tak hilang. Jelang kejatuhan rezim Orde Baru yang sudah berkerak selama 32 tahun, Dono tak mau kehilangan momentum untuk ambil bagian.

“Dia juga turun ke DPR dan ke jalanan sama saya. Dia naik ke atas mobil lapis bajanya marinir segala macem dan bagiin nasi ke mahasiswa. Dia turun juga. Dia turun ke reformasi 1998. Bareng ILUNI UI. Padahal posisinya dia sudah jadi pelawak dan sudah lulus 20 tahunan,” kata Anto.

Ada sebuah peristiwa yang kerap ditertawakan teman-temannya setelah Reformasi. Sekali waktu, Anto dan Dono berusaha masuk ke area DPR RI menggunakan mobil yang dikemudikan Anto. Mobil sengaja dikemudikan dengan keadaan kaca pintu mobil terbuka. Ternyata saat tentara-tentara melihat bahwa Dono yang ada di dalam mobil, mereka diizinkan masuk dan itu yang menjadi salah satu penyulut merangseknya ribuan mahasiswa ke area DPR RI.

“Padahal posisi dia udah jadi pelawak. Karena aktif di reformasi 1998, dia lumayan lama berhenti enggak main film. Ada aja yang dibuat dia. Mobil dikasih loudspeaker gede, terus dia teriak orasi,” kenang Anto sembari tertawa.

Pada Mei 1998, saat tentara melakukan aksi represif di Universitas Atma Jaya, Semanggi, banyak mahasiswa dan relawan yang bersembunyi di dalam kampus. Dono adalah salah satu yang berada di garda terdepan aksi massa. Hal tersebut membuat Anto geleng kepala.

"Peluru enggak kenal elu pelawak atau bukan, Don. Siapa pun bisa kena,” kata Anto menirukan kembali ucapannya.

Di balik sisi humorisnya, Dono membuktikan bahwa dirinya adalah warga negara yang kritis terhadap pemerintahan yang sewenang-wenang.

Pada 30 Desember 2001, tepat hari ini 18 tahun yang lalu, kita kehilangan salah satu tokoh penting yang humor dan kritiknya masih akan selalu relevan di masa sekarang. Dono mengembuskan napasnya yang terakhir.

“Dono di mata saya, selain pelawak, ya dia aktivis dan intelektual kritis juga. Tak heran ada foto Dono memakai kaos 'Join Us, We Fight…', itu tahun 1978, terlihat dari seragam tentaranya,” kenang Anto.

Baca juga artikel terkait WARKOP DKI atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Humaniora
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Irfan Teguh