Menuju konten utama
Hak Imunitas Advokat

Peluang Menjerat Pengacara Enembe Pasal Obstruction of Justice

Keterlibatan aktif advokat perlu dibuktikan dalam penyidikan untuk menentukan apakah terlibat penghalangan penyidikan atau tidak.

Peluang Menjerat Pengacara Enembe Pasal Obstruction of Justice
Kuasa hukum Gubernur Papua Lukas Enembe, Aloysius Renwarin (kiri) dan Stefanus Roy Rening (kanan) menyiapkan berkas di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (23/9/2022). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/YU

tirto.id - Penanganan kasus dugaan suap dan gratifikasi yang melibatkan Gubernur Papua, Lukas Enembe semakin berlarut-larut. Salah satunya karena Enembe selalu mangkir pemeriksaan, sementara kuasa hukumnya selalu menyebut bila Enembe sakit.

Hal tersebut membuat Kepala Bagian Pemberitaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ali Fikri mengimbau kepada tim kuasa hukum Lukas Enembe untuk memberikan pembelaan sesuai dengan koridor hukum. Misalnya tidak menghalang-halangi proses pemeriksaan.

“Kami, kan, dalam proses penyidikan ini, kami lakukan sesuai prosedur hukum, sehingga kami juga berharap saudara penasihat hukum, kami tahu pasti paham hukum, silakan lakukan pembelaan sesuai kewenangannya dalam koridor hukum,” kata Ali dalam keterangan persnya di Gedung KPK, Senin, 26 September 2022.

Ali juga mengingatkan kepada tim kuasa hukum Lukas Enembe bahwa pihaknya tak segan menjerat mereka dengan pasal obstruction of justice (penghalangan penyidikan) apabila di kemudian hari terbukti sengaja merintangi proses penyidikan KPK. Namun, kata Ali, hal ini perlu analisis lebih lanjut.

Pasal Obstruction of Justice

Pasal obstruction of justice atau penghalangan penyidikan yang dimaksud ialah Pasal 221 KUHP ataupun Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi:

“Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana menyebut, KPK memang dapat menjerat pihak-pihak yang dianggap merintangi penyidikan, termasuk memalsukan kondisi kesehatan Lukas Enembe dengan Pasal 21 UU Tipikor.

“Jika benar kondisi Lukas memang sedang sakit, KPK dapat melakukan pengobatan terhadap yang bersangkutan. Namun, jika kondisinya sehat dan terbukti tidak sakit, KPK harus menjerat pihak-pihak yang memanipulasi kondisi kesehatan Lukas dengan Pasal 21 UU Tipikor terkait obstruction of justice,” kata Kurnia dalam keterangan tertulis pada Rabu (28/9/2022).

Hal senada diungkapkan Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi. Ia menyebut advokat atau tim kuasa hukum Lukas Enembe dapat dijerat dengan Pasal 21 UU Tipikor bila terbukti sengaja merintangi perkara.

“Pasal 21 (UU Tipikor) ini, kan, ngomong siapa yang sengaja menghalang-halangi atau merintangi penuntutan, penyidikan. Nah, itu kalau sengaja, kemudian advokatnya terbukti tidak memiliki itikad baik, ya nggak masalah [dituntut pakai Pasal 21]” kata Fachrizal saat dihubungi Tirto.

Fachrizal menyebut, Pasal 21 UU Tipikor sebelumnya sempat diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) karena dinilai merintangi kerja advokat. Namun demikian, MK menolak permohonan uji materi tersebut.

“Sama MK ditolak karena MK berpandangan Pasal 21 ini tidak hanya untuk advokat, untuk advokat, salah satu hakim MK dalam pertimbangannya, kata kuncinya tidak hanya dalam kepentingan pembelaan klien, tapi adalah itikad baik,” kata Fachrizal.

Putusan MK yang dimaksud ialah putusan bernomor MK 7/PUU-XVI/2018 yang diajukan oleh seorang advokat bernama Khaerudin. Dalam permohonannya, Khaerudin menyebut Pasal 21 UU Tipikor membuat profesi advokat terbelenggu dalam menjalankan tugasnya. Khaerudin menganggap dengan adanya hak imunitas advokat, seharusnya khusus untuk profesi advokat dilakukan pengecualian ketika diduga melanggar ketentuan Pasal 21 UU Tipikor.

Terhadap permohonan pemohon tersebut, MK menolak permohonan untuk seluruhnya, dengan salah satu pertimbangan berupa UU Advokat menitik beratkan pada frasa "itikad baik" dalam pemberian hak imunitas.

“Mahkamah berpendapat, Pasal 21 UU PTPK tidak menghilangkan hak imunitas advokat. Pasal 16 Undang-Undang Advokat (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003) yang dirujuk Pemohon sebagai landasan dalil ini berbunyi ‘Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan.’ Kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini bukan terletak pada ‘kepentingan pembelaan klien’ melainkan pada ‘itikad baik,’” demikian bunyi putusan MK bernomor 7/PUU-XVI/2018 sebagaimana dilitar Tirto, Rabu, 28 September 2022.

Fachrizal mengatakan setuju dengan pertimbangan hakim MK tersebut. Hal itu penting untuk ditegaskan, supaya advokat tak lolos dari jerat hukum saat merekayasa perkara.

“Nah, ini kan sudah ada banyak kasus tuh, kasusnya Fredrich Yunadi, pengacara Setya Novanto kan terbukti, kan. Kalau nggak begitu, kan, bahaya. Artinya advokat bisa merekayasa perkara tanpa dipidana. Kan, juga nggak benar,” kata Fachrizal.

UU Advokat Menjamin Hak Imunitas Pengacara

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Sapriyanto Refa menyebut, Pasal 16 UU Nomor 18 Tahun 2003 menjamin hak imunitas advokat dalam menjalankan tugasnya.

“Kalau di dalam Pasal 16 UU Advokat itu tidak bisa dituntut dalam menjalankan tugasnya baik di tingkat perdata maupun pidana,” kata Sapriyanto kepada reporter Tirto, Rabu, 28 September 2022.

Karena itu, menurut Sapriyanto, jika advokat masih dalam kapasitasnya sebagai advokat, memberikan nasihat, bantuan hukum, saran dan pendapat kepada kliennya, maka advokat tidak bisa dituntut.

Dalam kasus Gubernur Papua Lukas Enembe, Sapriyanto menilai, kuasa hukumnya tak bisa dijerat Pasal 21 UU Tipikor meskipun bila di kemudian hari keterangan mengenai kondisi kesehatan Lukas Enembe terbukti keliru.

“Berkaitan dengan kesehatan itu, kan, kewenangan dunia kesehatan untuk menerangkan, apakah orang ini sehat atau tidak? Advokat kan hanya menyampaikan bahwa berdasarkan pemeriksaan hasil kesehatan yang bersangkutan sakit sehingga nggak bisa diperiksa. Kalau kemudian itu disampaikan, masa kemudian itu dianggap merintangi dan menghalangi?” kata Sapriyanto.

Sapriyanto menyebut Pasal 21 UU Tipikor masih tergolong pasal yang dapat diperdebatkan.

“Jadi kalau mereka yang berkedudukan sebagai penyidik, JPU dan sebagainya itu pasti menganggap pasal ini adalah pasal yang bisa digunakan untuk siapa saja. Padahal itu tidak. Masing-masing, kan, harus melihat proporsi,” kata dia.

Lebih jauh, ia menyebut, KPK cenderung setengah hati menangani perkara Lukas Enembe. Pasalnya, alih-alih langsung menjemput paksa Lukas Enembe, KPK justru melempar ancaman kepada kuasa hukumnya.

“Mungkin KPK-nya yang tidak berani atau KPK-nya setengah hati. Sekarang kalau seseorang dipanggil sebagai saksi apalagi tersangka, dipanggil sekali dua kali tidak hadir, yang ketiga kan bisa dijemput paksa. Kenapa itu tidak digunakan? Kok malah advokat dibilang menghalangi penyidikan,” kata dia.

Kapan Seorang Advokat Dapat Dijerat Pasal Obstruction of Justice?

Menurut Sapriyanto, advokat dapat dijerat pasal penghalangan penyidikan bila memang melakukan tindakan secara aktif merintangi proses penyidikan. Misalnya melarang secara terang-terangan kliennya untuk menghadiri pemeriksaan KPK.

“Kalau memang advokat dianggap melanggar Pasal 21, kita lihat dulu tindakannya. Kalau memang advokat itu secara terang-terangan bilang 'jangan mau dipanggil KPK, nggak usah mau, saya tanggung jawab.' Nah itu lain cerita, berarti kan kliennya memang nggak berani dan nggak mau datang karena dianjurkan dengan alasan yang tidak berdasarkan hukum,” kata Sapriyanto.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda mengatakan hal yang sama. Ia menilai apa yang dilakukan tim pengacara Lukas Enembe ini adalah bagian dari hak dia sebagai penasihat hukum untuk menyampaikan apa yang disampaikan kliennya yang dilindungi UU Advokat.

“Lain misalnya kita bandingkan dengan [kasus] yang menimpa Fredrich Yunadi. Kalau itu, kan, ada tindakan aktif untuk membuat seolah-olah sakit, padahal tidak sakit. Sakit itu ditimbulkan oleh kecelakaan lalu lintas, kecelakaannya dibuat, seolah ada padahal tidak. Nah, itu tentu bisa dikualifikasikan tindakan penghalangan penyidikan,” kata Chairul Huda kepada Tirto.

Di sisi lain, Fachrizal Afandi berpendapat bahwa keterlibatan aktif advokat tersebut perlu dibuktikan dalam penyidikan untuk menentukan apakah si pengacara tersebut terlibat dalam penghalangan penyidikan atau tidak.

“Itu kan kebenaran materiil, nanti disidik, dokter memberi keterangan palsu itu atas nama siapa. Apakah Lukas Enembe, kemudian pengacaranya nggak tahu? Kalau memang tidak tahu, kan, ada itikad baik, dia [pengacara] tidak tahu apa-apa selain keterangan dokter itu, ya dia tidak bisa dipidana. Tapi kalau dia terlibat, meminta dokter merekayasa keterangan sakit, kan, beda soal,” kata Fachrizal.

Baca juga artikel terkait KASUS LUKAS ENEMBE atau tulisan lainnya dari Fatimatuz Zahra

tirto.id - Hukum
Reporter: Fatimatuz Zahra
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Abdul Aziz