Menuju konten utama

Pelibatan TNI dalam Soal Kerukunan Beragama Mengkhianati Reformasi

Kerukunan kita memang masih menghadapi banyak masalah, tetapi cara mengatasinya tidak boleh melalui tangan besi negara seperti di masa Orde Baru.

Pelibatan TNI dalam Soal Kerukunan Beragama Mengkhianati Reformasi
Ilustrasi Ihsan Ali Fauzi. tirto.id/Sabit

tirto.id - Rencana pelibatan TNI dalam mengelola kerukunan, seperti disebutkan Juru bicara Kemenag, harus ditimbang lagi masak-masak. Ini mengkhianati semangat Reformasi yang mendorong agar berbagai masalah terkait kerukunan diatasi masyarakat (dengan difasilitasi pemerintah) melalui musyawarah. Pelibatan TNI akan membawa kita kembali ke zaman Orde Baru, ketika aneka konflik—yang bisa menyehatkan dan mendewasakan—dibungkam tangan besi negara.

Roh Reformasi di ataslah yang mendasari terbitnya Peraturan Bersama Menteri (PBM) 2006. Penting dicatat, PBM itu tentang “Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat”. Tugas pemda dalam menjaga kerukunan menjadi unsur kunci di sini dibantu khususnya oleh FKUB kota/kabupaten.

Wakil Presiden Ma’ruf Amin bisa menjadi saksi betapa alotnya butir-butir dalam PBM itu diperdebatkan sebelum disepakati. Semuanya melibatkan majelis-majelis agama (Wapres mewakili Majelis Ulama Indonesia waktu itu), yang dianggap wakil terbaik komunitas agama-agama. Musyawarah jadi intinya, bukan ketetapan sepihak negara seperti pada Orde Baru.

Sesudah berjalan hampir 15 tahun, kita tahu ada lubang-lubang dalam PBM 2006 yang harus diatasi. Tapi, cara mengatasinya pasti bukan dengan segera menaikkan statusnya sambil melibatkan TNI dalam operasionalisasinya. Preseden TNI pernah terlibat dalam kegiatan-kegiatan Kemenag di masa lalu bukan alasan kuat untuk melanjutkannya, karena bisa jadi yang terbaik malah menghentikannya.

Kita perlu debat publik untuk itu dan pemerintah wajib menyampaikan alasan mengapa satu kebijakan diambil. Urun rembug saya ini didasarkan atas informasi tentang profil dan kinerja 167 FKUB (24 provinsi, 33 kotamadya, dan 110 kabupaten) yang terkumpul dalam pangkalan data PUSAD Paramadina. Ini artinya 30% lebih dari total 548 FKUB di seluruh Indonesia. Saran-saran ini juga didasari pengalaman bermitra dengan FKUB-FKUB dalam sepuluh tahun terakhir.

Musyawarah di Akar Rumput

Mengelola kerukunan secara demokratis memang masih jadi tantangan besar kita. Sesudah konflik kekerasan yang menyertai Reformasi di tempat seperti Poso dan Ambon reda pada 2002-2004, yang umum terjadi adalah konflik sehari-hari yang kadang meledak menjadi konflik kekerasan. Dalam soal agama, yang menonjol adalah konflik sektarian intra-agama (misalnya anti-Syiah di Sampang, Madura, atau anti-Ahmadiyah di Cikeusik, Banten). Sedang konflik-konflik antar-agama terutama mengambil bentuk konflik terkait rumah ibadat.

Dalam soal terakhir, aturan-aturan PBM cukup rinci. Salah satu aturan kuncinya adalah bahwa pihak yang mau membangun rumah ibadat harus memperoleh rekomendasi tertulis FKUB kota/kabupaten, bukan FKUB provinsi. Ini satu-satunya pembeda fungsi FKUB kota/provinsi dan FKUB provinsi. Dasarnya jelas: konflik terjadi di akar rumput, penyelesaiannya harus dilakukan di sana, dan oleh wakil mereka sendiri, dengan fasilitasi pemda.

Pelibatan masyarakat seperti ini tidak terjadi pada zaman Orde Baru. Aturan yang ada waktu itu, SKB No. 1 1969 (yang digantikan PBM 2006), sangat menekankan ketertiban dengan pendekatan keamanan. Dalam praktiknya, pendirian rumah ibadat harus memperoleh rekomendasi dari Pelaksana Khusus Daerah (Laksusda), kepanjangan tangan rezim otoriter saat itu.

Sekarang mengapa tiba-tiba mau melibatkan TNI? Apakah karena masyarakat dianggap tidak mampu mengelola kerukunan sendiri? Pangkalan Data FKUB kami tidak mendukung alasan ini.

Terkait rekomendasi, sebagian besar (89%) dari 143 FKUB kabupaten/kota (ditambah FKUB DKI Jakarta) pernah menerima permohonan rekomendasi. Sebagian besar FKUB (82,5%) menjadikan ketentuan 90:60 dalam PBM 2006 sebagai syarat dikeluarkannya rekomendasi, sehingga FKUB harus melakukan verifikasi untuk mengecek keaslian KTP. Selain itu, 57% FKUB juga harus rapat satu sampai tiga kali untuk mengambil keputusan.

Di antara FKUB yang paling banyak mengeluarkan rekomendasi rumah ibadat adalah FKUB Surakarta (396 permohonan, semua dikabulkan), FKUB Kota Bekasi (188 permohonan, 178 dikabulkan), dan FKUB Purbalingga (163 permohonan, 161 dikabulkan). Dalam kasus-kasus ini, FKUB tidak saja melakukan musyawarah anggota, tetapi juga aktif memfasilitasi panitia untuk melakukan pendekatan kepada warga agar mendapatkan dukungan. Ini ditunjang kebijakan pemda yang mempermudah pengurusan izin rumah ibadat seperti keringanan biaya pengurusan IMB rumah ibadat (Surakarta), atau pemutihan IMB rumah ibadat (Kulon Progo).

Ini menunjukkan bahwa masyarakat mau dan mampu bermusyawarah. Bahkan FKUB Surakarta pernah mengabulkan ratusan rekomendasi. Menurut pengurus FKUB setempat, ini antara lain karena waktu Presiden Jokowi menjadi Walikota Surakarta, dia memiliki kebijakan proaktif agar semua rumah ibadat memiliki IMB dan membantu biaya pengurusannya, sehingga rekomendasi berjalan lebih mulus.

Dari Kota Depok ada juga data menarik. Selama tiga periode wilayah ini dipimpin walikota dari Partai Keadilan Sejahtera, lebih dari 40 gereja sudah berdiri. Menurut Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Kota Depok yang juga pengurus FKUB setempat, hal ini dimungkinkan antara lain karena musyawarah yang terjadi bisa menghapus banyak salah sangka atau ketidaktahuan. Misalnya tentang bahwa umat Kristiani Batak memerlukan gereja sendiri, karena itu denominasi khusus, tidak seperti masjid bagi umat Islam. Karenanya wajar jika umat Kristiani memerlukan lebih banyak gereja.

Apakah praktik-praktik bagus seperti ini bisa bertahan jika TNI dilibatkan dalam soal kerukunan? Sesudah Reformasi, apakah rakyat masih diperlakukan seperti orang setengah dewasa yang tidak bisa menyelesaikan masalah mereka sendiri?

Belajar dari Kasus-kasus Baik

Musyawarah seperti disebutkan di atas memang belum tentu berhasil. Kadang hal itu disertai tekanan terhadap kelompok-kelompok minoritas, menjadikan kerukunan sebagai perukunan (memaksa kelompok kecil ikut kelompok besar), dan terampasnya hak-hak warganegara.

Meskipun jumlah kasusnya bisa disebut kecil untuk ukuran negara sebesar Indonesia, hal ini tetap mencoreng kerukunan negeri kita. Kecil artinya kecil, bukan tidak penting. Tetapi sensitifnya masalah ini seringkali menutupi kinerja FKUB dalam sektor ini yang sebenarnya cukup baik, seperti ditunjukkan data-data di atas.

Kita perlu memahami pola-pola di mana dan kapan musyawarah sejenis berhasil atau gagal. Kita wajib mencatat bukan saja kasus-kasus buruk, tetapi juga kasus-kasus baik, agar kita bisa belajar darinya. Dalam proses ini, TNI bisa membantu tetapi tidak perlu turut campur terlalu jauh.

Dalam pangkalan data FKUB kami, 21% FKUB tidak pernah sama sekali menerima permohonan rekomendasi. Sementara itu, di antara FKUB yang tercatat paling banyak menolak permohonan rekomendasi adalah FKUB Lampung Utara (47 permohonan, 38 ditolak), FKUB Sukoharjo (52 permohonan, 21 ditolak), dan FKUB Kuningan (5 permohonan, 5 ditolak).

Penting dicatat, pertama, ini adalah FKUB di daerah-daerah yang homogen secara agama dan FKUB-FKUB kabupaten. Di wilayah-wilayah seperti inilah kesadaran kebangsaan terutama harus ditingkatkan: bahwa NKRI kita bukan negara berbasis agama dan bahwa demokrasi bukan mayoritarianisme.

Dalam catatan Kementerian Dalam Negeri (April 2020), di enam kabupaten seperti inilah FKUB bahkan belum bisa berdiri sampai sekarang: Tanah Datar dan Pesisir Selatan (Sumatera Barat); Puncak Jaya, Dogiyai, Nduga (Papua), dan Pegunungan Arfak (Papua Barat). Dalam satu kampanye menjelang Pilkada 2012 di Kabupaten Sampang, Madura, bupati petahana menyatakan: “Selama saya jadi Bupati Sampang, FKUB tidak akan pernah berdiri di sini, karena tugasnya memberi izin pendirian gereja. Ini tidak sesuai dengan kearifan lokal!”

Kedua, amat disayangkan bahwa justru pelajaran buruk seperti di atas yang justru menular dan ditiru, baik secara tulus karena cemburu atau karena politisasi saja. Misalnya, komunitas Muslim tertentu di Aceh atau Jawa Barat menolak pendirian gereja dengan alasan bahwa komunitas Kristen di Papua juga menolak pendirian masjid. Begitu juga sebaliknya, komunitas Kristen tertentu di Nusa Tenggara Timur menolak pendirian masjid dengan alasan pendirian gereja juga dipersulit di Bogor atau Bekasi. Ada saling ancam dan balas dendam di sini, bukan toleransi dan kerja sama, yang baik bagi semuanya.

Dalam pangkalan data FKUB, sebagian besar (39%) alasan yang dijadikan dasar FKUB menolak permohonan adalah syarat yang belum lengkap. Tetapi tidak sedikit juga permohonan yang ditolak karena mendapatkan penentangan, meski telah memenuhi syarat (10%), seperti yang dilaporkan FKUB Kutai Timur. Di sini biasanya pemda atau aparat keamanan setempat tunduk kepada opini publik, bukan imperatif hukum.

Ketiga, masalah ini sering beririsan dengan masalah-masalah lain, seperti politisasi fungsi FKUB dalam memenangkan pemilu, kurangnya arena perjumpaan di antara berbagai komunitas agama, dan kecemburuan ekonomi. Semua dinamika ini mencerminkan dinamika demokrasi secara keseluruhan di Indonesia, bahkan di mana-mana, yang tidak bisa diatasi hanya oleh FKUB.

FKUB Pusat?

Terkait hal ini, niat agar FKUB dibentuk di pusat juga harus ditinjau lagi. Selain memperpanjang jalur birokrasi yang bisa kontra-produktif, ini juga akan mencederai semangat Reformasi yang menyiratkan bahwa pemda lebih mengerti masalah-masalah di daerah. Apalagi jika diingat bahwa terkait konflik rumah ibadat, yang paling berperan adalah FKUB kota/kabupaten, yang paling dekat dengan masyarakat akar rumput, bukan FKUB provinsi.

Di samping itu, alih-alih menjadi penyelesai masalah, FKUB pusat bisa menjadi tempat di mana pemda atau FKUB lokal melemparkan masalah yang seharusnya jadi tanggang jawabnya sendiri. Berlarut-larutnya penyelesaian kasus konflik sektarian di Sampang, Madura, atau kasus terkait Gereja Yasmin di Bogor, Jawa Barat, menunjukkan bahwa membawa kasus yang terjadi di tingkat lokal ke tingkat pusat bukan merupakan pilihan kebijakan terbaik.

Kerukunan kita memang masih menghadapi banyak masalah, tetapi cara mengatasinya pasti tidak boleh melalui tangan besi negara, seperti di masa Orde Baru. Pengalaman kita mengelola kerukunan di era demokrasi relatif bagus, seperti ditunjukkan kepemimpinan Presiden Jokowi di Surakarta dulu. Hal ini juga mendewasakan: konflik kita akui sebagai sesuatu yang tidak terhindarkan, tetapi kita bisa mengatasinya secara damai layaknya orang-orang dewasa.

Jika kerukunan kita masih tertatih-tatih, itu karena demokrasi kita sendiri memang belum cukup matang dan perlu terus dimatangkan. Dalam rangka ini kita perlu merekam dan menduplikasi sebanyak mungkin pengalaman baik dari proses kita berdemokrasi, bukan dengan membunuh demokrasi itu sendiri.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.