Menuju konten utama

Pelibatan TNI Bantu Bulog Serap Beras Petani Salah Kaprah

Pelibatan TNI dalam upaya kegiatan ketahanan pangan tak hanya soal tenaga pendamping pertanian di sawah, tapi juga mendorong petani menjual gabah ke Perum Bulog.

Pelibatan TNI Bantu Bulog Serap Beras Petani Salah Kaprah
Dirjen Sayuran Tanaman dan Obat Kementerian Pertanian Setyanto didampingi Dandim 0710 Pekalongan Letkol Inf Muhammad Ridha menunjukkan tanaman padi saat panen raya di sentra produksi padi di Kabupaten Pekalongan, Rabu (20/12/2017 ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra

tirto.id - Aksi TNI mendorong para petani Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan menjual gabah ke Perum Bulog menuai kritik. Beberapa hari lalu sempat ada razia oleh TNI terhadap truk-truk gabah di Maros. Seperti ditulis kompas, aparat TNI Kodim 1422 Maros, merazia gabah untuk membantu Perum Bulog menyerap beras petani karena minimnya serapan beras oleh Perum Bulog.

Perum Bulog memang harus bersaing dengan para tengkulak atau pedagang untuk mengisi gudang-gudang beras mereka. Pada kasus ini TNI menghentikan tujuh truk bermuatan puluhan ton gabah petani di Bantimurung dan Simbang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Aparat TNI mencoba merazia agar beras hasil panen beras petani yang biasanya dibeli pedagang dari luar Kabupaten Maros, kini didorong oleh TNI agar bisa dijual ke Perum Bulog.

Namun, aksi yang pada dasarnya mulia untuk membantu Perum Bulog menyerap beras petani, agar ketahanan stok pangan beras di Bulog tetap terjaga, justru menuai kritikan. Titik penekanannya bukan soal mendukung atau tak mendukung ketahanan pangan, tapi dari aspek TNI, yang telah menyalahi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) sebagai alat keamanan negara.

“TNI itu kerjanya perang menjaga keamanan nasional. Harga padi dan pasokan beras harusnya Bulog yang turun langsung bukan TNI,” kata aktivis bidang advokasi kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria Roni S. Maulana kepada Tirto, Jumat (16/3).

Roni mengatakan TNI bukanlah alat Bulog. TNI tidak berhak mengintervensi urusan penjualan gabah petani dan mencampuri soal cadangan gabah di gudang-gudang Bulog. Ia menilai pelibatan TNI oleh Kementerian Pertanian (Kementan) dalam upaya mewujudkan swasembada beras, cabai, dan bawang merah sejak 2016 tidak banyak memberi manfaat.

Alasannya, sebanyak 39,6 juta orang yang bekerja di sektor pertanian sudah cukup untuk mewujudkan upaya swasembada pangan. “Kerja sama MoU TNI dengan Kementan itu sudah salah,” ujarnya.

Roni mengatakan mestinya pemerintah fokus menjaga lahan pertanian, dengan mencegah alih fungsi lahan. Selain itu pemerintah juga mestinya meningkatkan jumlah lahan pertanian agar tenaga tani yang ada bisa berperan meningkatkan produksi pangan.

“Buktinya 3.000 (hektare) lahan di Majalengka saja dijadikan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB). Gimana mau bicara swasembada pangan?” kata Roni.

Roni menilai keputusan melibatkan TNI untuk mewujudkan swasembada pangan sebagai tindakan egois Kementan. Kementan tidak pernah memintai pendapat pihak-pihak yang memiliki kompetensi dan kepentingan langsung dalam urusan pangan.

“Enggak ada korelasinya sebenarnya TNI di swasembada pangan. Kami tidak pernah diminta pendapat. Ini kebijakan Kementan secara pribadi saja,” katanya.

Swasembada pangan sebagai program pemerintah sudah sepatutnya mendapat dukungan. Namun pelibatan TNI dalam mewujudkan swasembada pangan menjadi hal yang mesti ditinjau ulang. Roni mengatakan pelibatan TNI dalam mewujudkan swasembada pangan bisa menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Hal ini karena dasar pelibatan atau kerja sama tidak punya dasar regulasi yang jelas. Roni mengatakan usaha mewujudkan swasembada pangan harusnya mengacu Undang-undang Nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

“Itu saja dilakukan, swasembada pangan bisa berjalan tanpa intervensi TNI. Apalagi ini tidak ada dasar hukumnya. Itu masalah,” ucapnya.

Kapendam Kodam XIV Hasanuddin, Kolonel Alamsyah merespons kritikan ini. Ia tak mau TNI dianggap memaksa petani menjual gabah ke Bulog. Ia menegaskan langkah TNI di Kabupaten Maros hanyalah imbauan agar petani menjual pasokan gabah ke Bulog.

“Ya nggak masalah kalau (petani) tidak mau. Itu haknya dia, kami biarkan,” katanya.

Alamsyah menuturkan tak ada yang salah dengan meminta petani menjual gabah ke Bulog meski dengan harga murah. Sebab menurutnya penghentian truk gabah petani di jalan oleh TNI merupakan implementasi dari kesepakatan kerja sama dengan Kementerian Pertanian.

“Ini merupakan bagian dari Sergap, serap gabah petani,” ucapnya.

Kerja sama TNI dan Kementerian Pertanian dalam program swasembada pangan sempat diteken dua kali pada era Panglima TNI Gatot Nurmantyo pada 2015 dan 2017. Kerja sama TNI dengan Kementerian Pertanian tetap berlanjut sampai kini.

Alamsyah mengungkapkan tindakan TNI berdasarkan permintaan dari Bulog. Ia menolak anggapan bahwa tindakan TNI sebagai bentuk pelanggaran peraturan. Alasannya dalam deskripsi Operasi Militer Selain Perang, TNI dibolehkan membantu pemerintah daerah.

Dalam UU No 34 tahun 2004 tentang TNI, diatur tugas pokok di luar perang TNI antara lain membantu kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat, juga membantu tugas pemerintahan di daerah dan lain-lain.

“Kami lihat pasokan di gudang Bulog hanya 50 ton, sedang petani produksi 4.000 ton. Karena itu kami mau petani juga menjual kepada Bulog,” kata Alamsyah.

Ia mengklaim sudah berkomunikasi dengan petani setempat. Alamsyah membantah kabar markas Kodim Maros digeruduk petani yang tak diterima karena dipaksa menjual gabah ke Bulog. Menurutnya kehadiran petani karena undangan dari Dandim.

“Kami sudah komunikasi, ini yang kami cegat truknya adalah yang tidak terpantau, tapi diangkut," ujarnya.

Alamsyah tidak mau berkomentar mengapa Bulog tidak meminta dinas setempat untuk bekerjasama dengan petani. Ia merasa tidak masalah untuk menghentikan truk-truk pengangkut gabah demi kepentingan nasional.

Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan Sumarjo Gatot Irianto mengaku tidak tahu kasus yang dialami para petani gabah di Maros.

Ia menolak berkomentar saat ditanya tentang upaya paksa TNI agar petani menjual beras ke Bulog. Namun menurutnya pemerintah boleh saja membeli gabah petani dengan harga murah sebab nantinya gabah itu akan dijual kembali kepada masyarakat.

“Itu pupuk bantuan dari pemerintah, pestisida bantuan dari pemerintah. Salah nggak kalau Bulog beli murah dan dijual lebih murah lagi? Kan dijualnya ke rakyat juga,” kata Sumarjo.

Selain persoalan intervensi dalam upaya penyerapan beras petani ke Perum Bulog, TNI pernah mendapat sorotan karena terlibat secara praktis dalam kegiatan penyuluhan pertanian.

Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi sempat diwawancara Tirto pada Juli 2017, saat itu Agung masih menjabat Kepala Biro Humas Kementan. Ia sempat mengatakan salah satu alasan melibatkan TNI dalam program swasembada pangan adalah karena kurangnya tenaga penyuluh pertanian di lapangan. Jumlah penyuluh pertanian hanya ada 57 ribu orang. Padahal jumlah potensi desa pertanian di Indonesia ada 71 ribu.

Persoalan lemahnya serapan beras Perum Bulog, yang ditangani dengan melibatkan TNI hanya akan menambah persoalan baru bagi gagasan besar swasembada pangan. Petani sebagai pemilik gabah/atau beras, memang punya hak menjual berasnya ke mana pun, tapi bila Bulog ingin mendapat beras petani maka harga yang menarik bagi petani adalah kuncinya.

Persoalannya Bulog pun tak bebas membeli beras petani dengan harga semaunya, karena diatur pemerintah. Pemerintah perlu melihat persoalan serapan beras ini ada tataran kebijakan soal harga hasil pertanian yang pro petani, di samping konsumen pun tetap dilindungi. Pelibatan TNI pada upaya serapan beras ke Bulog hanya menambah daftar masalah baru.

Baca juga artikel terkait SWASEMBADA PANGAN atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Muhammad Akbar Wijaya