Menuju konten utama

Pelecehan Verbal dan Visual, Sisi Remang Dunia Kencan Online

Sebagian perempuan berkata pernah menerima pelecehan saat di dunia kencan daring: rayuan, ajakan tidur, hingga permintaan dan pemberian gambar telanjang tanpa diinginkan. Mengapa hal macam ini marak?

Pelecehan Verbal dan Visual, Sisi Remang Dunia Kencan Online
OkCupid, salah satu aplikasi kencan yang banyak penggunanya dari Indonesia. Tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - “Suck my dick or I’ll get you deported #makeamericagreatagain”

I’ll pound you in your fat pussy, darling”

Hey sexy, I love your boobs. Will you send nudes of your tits naked?”

Beberapa kutipan ini diambil dari Instagram @byefelipe, sebuah akun yang khusus menampilkan pesan-pesan melecehkan yang diterima orang dari interaksi di dunia virtual. Pesan-pesan itu ditangkap gambarnya dari aneka media sosial, aplikasi pesan, dan aplikasi kencan yang menjadi bagian dalam keseharian mayoritas anak muda saat ini.

Alexandra Tweeten, perempuan 29 tahun yang tinggal di Los Angeles, berinisiatif menciptakan akun tersebut guna menghadirkan realitas pelecehan yang kerap dialami perempuan di dunia kencan online. Lewat @byefelipe, ia dan sejumlah orang, yang berpartisipasi membagikan tangkapan gambar pesan bernada melecehkan, tengah berupaya melawan balik perlakuan-perlakuan menyinggung yang mereka terima.

Kepada Good Morning America, Tweeten berkata ia menerima banyak pesan dari khalayak yang mengisyaratkan seksisme dan kebencian saat mereka mengakses aplikasi kencan.

“Tidak semua laki-laki melecehkan perempuan, tetapi setiap perempuan yang Anda kenal pasti pernah mengalami pelecehan,” ujar Tweeten sebagaimana dikutip dari ABCNews.

Popularitas penggunaan aplikasi kencan di kalangan anak muda tak pelak membuka ruang bagi aksi-aksi pelecehan, dan mayoritas dialami perempuan.

Hasil penelitian Pew Research Center tahun 2013 terhadap 2.252 anggota situs/pengguna aplikasi kencan pada usia di atas 18 tahun di AS menunjukkan 28 persen mengaku pernah mengalami pelecehan atau perbuatan tidak menyenangkan. Sebanyak 42 persen perempuan menyatakan sempat merasakan seksisme macam itu, dan hanya hanya 17 persen laki-laki yang mengalami hal serupa.

Untuk konteks Indonesia, survei tahun 2017 dari Jajak Pendapat Aplikasi (Jakpat) terhadap 512 responden usia 16-45 tahun menyebut ada 12,52 persen pengguna menyatakan pernah mengalami pelecehan verbal dan visual saat mengakses Tinder.

Wacana pelecehan dalam aktivitas di dunia virtual kerap kali berada di ruang remang. Ada batasan yang sangat kabur atas apa-apa saja yang digolongkan sebagai pelecehan dan hal ini bergantung pula pada bagaimana si penerima meresponsnya.

Situs resmi PBB merilis publikasi mengenai pelecehan seksual dan menyatakan segala hal yang tidak diharapkan atau diinginkan seseorang bisa dikategorikan sebagai pelecehan. (Baca: Apa itu Pelecehan Seksual)

Permintaan kencan, komentar dengan muatan seksual, atau lawakan-lawakan jorok bisa jadi suatu pelecehan selama si penerima pesan merasa terganggu atau tersinggung saat mendapatkannya. Tidak cuma hal-hal verbal yang tercakup dalam kategori pelecehan seksual. Memperlihatkan gambar-gambar berkonten seksual tanpa diminta oleh si penerima atau tanpa perbincangan ke arah sana juga disebut suatu pelecehan.

Sejalan gagasan tentang pelecehan seksual yang dirilis PBB, Manneke Budiman, pengajar Kajian Budaya dari Universitas Indonesia, berpendapat bahwa pelecehan seksual menjadi suatu pelecehan nyata hanya jika subjeknya merasa tidak nyaman, tersinggung, atau direndahkan.

“Ajakan dan godaan yang sama, jika dilakukan oleh orang yang disukai, tidak akan direspons sebagai pelecehan. Ini wilayah abu-abunya,” ujarnya, yang tengah meneliti responsi lokal terhadap arus budaya global di kalangan anak muda dan kelas menengah perkotaan di Indonesia.

Di Indonesia, kesadaran atas pelecehan masih minim. Hukum yang mengaturnya secara tegas belum terbentuk. Sapaan dan percakapan yang menjurus ke intensi seksual diakui beberapa orang yang saya wawancarai sempat mereka terima, tetapi sedikit yang menyadari hal tersebut masuk kategori pelecehan.

Nela (25), misalnya, berkata pernah menerima pesan pertama seperti “Kamu mau enggak ngasih saya blowjob?” saat mengakses aplikasi kencan. Dalam profilnya, ia memang menaruh keterangan looking for hook up, tetapi tidak serta merta ia mengharapkan pesan-pesan bernada seksual dari siapa pun, terlebih dari orang-orang yang sebelumnya tidak pernah diajaknya berbincang soal seksualitas. Baginya, hal ini tergolong suatu pelecehan.

Pengalaman serupa sempat dialami Tere (28), Dian (27), Vivi (25), dan Sari (27) saat mengakses aplikasi kencan.

Beberapa kali Tere mendapat pesan ajakan berhubungan seks dari laki-laki yang berbeda. Sama seperti Nela, ia menduga kalimat-kalimat pertama dalam percakapan yang tidak diinginkannya itu diterimanya lantaran memasang keterangan terbuka untuk melakukan hookup pada profilnya.

“Hanya karena saya memasang info itu, cowok-cowok langsung menganggap saya perempuan gampangan,” ujar Tere.

Sementara Dian, yang tidak memasang keterangan sejenis, berkata pernah mendapat ajakan tidur dari orang-orang asing pada pembukaan percakapan mereka. “Belum apa-apa, udah ngajakin ke kamar, minta dikirimin gambar."

Lain lagi dengan Vivi. Perempuan yang bekerja sebagai desainer grafis ini menyatakan sempat diajak laki-laki yang ditemuinya di Tinder untuk melakukan phone sex dan chat sex, padahal tak pernah sekalipun ia mengisyaratkan intensi seksual ketika berinteraksi atau menulis profil di aplikasi kencan.

Dari pengalaman memasang Tinder, Badoo, dan OKCupid, Sari berkata 40 persen pesan yang diterimanya memuat ajakan berhubungan badan.

“Lebih banyak dari Badoo dan OKCupid, sih, karena orang bisa mengirim pesan langsung ke saya tanpa harus saling like dulu seperti di Tinder. Makanya, saya risi dan lebih nyaman pakai Tinder,” ujar Sari.

Baik Nela, Tere, dan Dian memilih mengabaikan pesan-pesan bernada melecehkan yang mereka terima, sementara Sari memilih membalas dengan kata-kata, seperti, “Sorry, saya tidak mencari one night stand atau hook up di sini.”

Banyak yang menganggap orang-orang yang menggunakan aplikasi kencan dengan maksud tidur bareng sehingga Sari sempat mendapat tanggapan, “Lantas, kamu ada di aplikasi kencan ini buat apa?” Padahal, intensinya mengakses aplikasi kencan semata untuk mencari teman mengobrol dan berkencan tanpa melibatkan hubungan seksual.

Infografik HL Indepth Kencan Online

Mengapa Marak Pelecehan Seksual di Dunia Online?

Munculnya fenomena pelecehan di aplikasi kencan dan dunia online secara umum bukanlah hal anyar. Selama belum ada regulasi yang jelas dan kesadaran orang-orang akan pelecehan di ranah virtual, hal macam ini bakal terus tumbuh subur dengan didukung sejumlah faktor.

Pertama, pihak platform aplikasi kencan tidak bertanggung jawab atas konten melecehkan atau bernada mengancam apa pun yang disampaikan para penggunanya kepada satu sama lain.

Platform lebih bertanggung jawab atas pelanggaran hak cipta dibanding ketika ditemukan ancaman dalam situsnya,” ujar profesor Nancy Kim dari California Western School of Law yang melakukan studi tentang bagaimana hukum ditegakkan untuk kasus pelecehan online, kepada Fast Company.

Berikutnya adalah anonimitas, yang memang ditampung lewat aplikasi kencan, sehingga membuat sebagian orang lebih leluasa mengekspresikan diri dan mengutarakan gagasannya, termasuk ekspresi seksual yang kerap bikin orang lain terganggu dan merasa dilecehkan.

Siapa pun bisa memilih foto yang tak merepresentasikan dirinya, menulis profil yang sama sekali bertolak belakang dari aslinya, menggunakan nama akun yang jauh berbeda dari nama terang atau inisial, bahkan mengucapkan hal-hal yang tak lazim ia ucapkan di kehidupan nyata sehari-hari.

Dunia daring dan aplikasi kencan mewadahi hal semacam itu. Ia bisa dimaknai sebagai pelepasan diri dari kekangan norma sosial yang berlaku di masyarakat. Tanpa tedeng aling-aling, segelintir orang menyatakan intensi seksual, bahkan menampilkan gambar alat vital di ragam aplikasi kencan atau aplikasi mengobrol.

Dengan anonimitas, mereka pikir bisa bebas dari macam-macam sanksi, dari sosial hingga legal. Paling-paling kerugian yang mereka dapatkan berupa tanggapan negatif atau diblok oleh pengguna lain yang mereka dekati. Namun, kerugian macam ini tak akan menghentikan aksi mereka terhadap ‘mangsa-mangsa’ barunya.

Mengenai para pelaku pelecehan, Robin Stern—psikolog dan direktur rekanan dari Yale Center for Emotional Intelligence—mengungkapkan ada orang-orang yang mendapat kesenangan dari melecehkan orang lain. Dengan menyinggung lawan bicaranya, orang-orang ini "merasa lebih berkuasa."

Yang mengerikan, lanjut Stern, "Perasaan senang dari melecehkan ini tak jarang pula membuat mereka ketagihan."

========

Catatan: Semua sumber yang saya wawancarai dalam artikel ini memakai nama samaran.

Baca juga artikel terkait APLIKASI KENCAN atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Fahri Salam