Menuju konten utama

Pelecehan Seksual di Kampus Marak, Kemenag & Kemendikbud Bisa Apa?

Pelecehan seksual di IAIN Kediri menambah panjang daftar kasus kekerasan seksual di kampus. Apa yang semestinya dilakukan Kemenag & Kemendikbud?

Pelecehan Seksual di Kampus Marak, Kemenag & Kemendikbud Bisa Apa?
Ilustrasi kekerasan seksual. FOTO/istockphoto

tirto.id - Kasus pelecehan seksual di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri, Jawa Timur menambah daftar panjang kekerasan seksual di dunia pendidikan, khususnya kampus. Kementerian Agama dan Kemendikbud yang membawahi institusi pendidikan didesak mengambil sikap tegas.

Kasus pelecehan seksual di IAIN Kediri diduga dilakukan oleh dosen terhadap mahasiswinya. Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Kediri, lembaga yang mendampingi korban menjelaskan terdapat beberapa bentuk pelecehan seksual yang dilakukan oleh sang dosen.

Misalnya, pelaku mengajak korban untuk bercinta hingga menikah melalui pesan teks aplikasi yang dialami sejak semester 5. Hal itu membuat korban risih dan merasa trauma, tapi ia tidak berani melapor atau sekadar bersuara.

Setelah kasus itu mencuat, ternyata ada korban lain yang mengalami pelecehan seksual dan baru melapor. Kasusnya diusut oleh rektorat, tapi sang dosen masih berkeliaran bebas melakukan kekerasan seksual.

"Kasus [kekerasan seksual itu] jelas ada. Kami sedang fokus [menanganinya]. Harapan korban ada penyelesaian yang adil bagi korban," kata Ketua Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Kediri, Sardjuningsih kepada Tirto, Senin (30/8/2021). Labih lengkap kasus di IAIN Kediri bisa dibaca di link ini.

Komnas Perempuan mengapresiasi korban kekerasan seksual di IAIN Kediri yang telah berani bersuara dan melaporkan kekerasan seksual yang menimpanya. Keberanian ini akan memberikan kekuatan kepada korban lain untuk bersuara.

Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah mengatakan, dengan bersuara, publik mengetahui bahwa kekerasan seksual ada di sekitar kita, seperti lingkungan pendidikan. Lalu dengan mengetahui dan mengakuinya, maka setiap orang bisa memperbaiki agar tidak terjadi peristiwa serupa.

Di sisi lain, untuk bersuara bagi korban dibutuhkan keberanian, karena akan berhadapan dengan pelaku yang memiliki kuasa dengan lembaga pendidikan juga masyarakat yang bisa saja mempersalahkan si korban.

"Maka pada posisi ini kita harus mempercayai dan mendukung korban, agar ia tidak sendiri," kata Siti Aminah kepada reporter Tirto, Rabu (1/9/2021).

Aminah menjelaskan, untuk kasus tersebut bentuknya adalah pelecehan seksual non-fisik, yakni ketika dilakukan ujian lisan. Dalam konteks hukum pidana, pelecehan seksual non-fisik belum diatur.

Namun bukan berarti ketika tidak diatur dalam hukum pidana dan pelecehan seksual non-fisik dibenarkan. Ia mengatakan, tetap saja hal tersebut melanggar norma-norma kesopanan, norma agama maupun kepantasan.

"Tidak terjangkaunya pelecehan seksual non-fisik inilah yang menjadi salah satu alasan diusulkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual," kata dia.

Fenomena Gunung Es Kekerasan Seksual di Kampus

Kasus pelecehan seksual di IAIN Kediri hanya fenomena gunung es ketika korban berani bersuara. Sebab, masih banyak kasus pelecehan seksual lain yang belum terungkap karena para korban belum berani bersuara.

Selain di IAIN Kediri, kasus serupa juga pernah terjadi di IAIN Sultan Amai Gorontalo. Kasusnya mirip, yaitu pelecehan seksual yang dilakukan oleh dosen kepada mahasiswinya. Bahkan setidaknya menimpa empat mahasiswi. Akibat kasus tersebut, mahasiswa sampai melakukan unjuk rasa. Alhasil, dosen cabul itu telah dipecat.

Dugaan kekerasan seksual di kampus di bawah Kemenag juga pernah terjadi di UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang. Kasus ini diduga dilakukan seorang dosen Fakultas Psikologi berinisial ZH pada dua mahasiswinya melalui pesan singkat yang membuat korban risih. Namun pelaku masih melakukan kegiatan pengajaran dan belum diberi sanksi tegas. Kasus yang sama juga terjadi di IAIN Tulungagung.

Selain terjadi di perguruan tinggi di bawah Kemenag, kekerasan seksual juga kerap terjadi di kampus di bawah naungan Kemendikbud-Ristek. Misalnya, pelecehan seksual yang dilakukan dosen kepada seorang mahasiswi di Universitas Negeri Padang (UNP). Sang dosen melakukan pelecehan di kamar mandi. Korban telah melaporkan ke LBH Padang dan kasus tersebut ramai di petisi online change.org.

Selanjutnya, salah satu kasus pelecehan seksual yang paling disorot adalah yang menimpa mahasiswi FISIP Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Agni --bukan nama sebenarnya--. Kasus ini menyisakan trauma dan depresi, sampai harus menjalani konseling traumatik.

Lalu, seorang dosen Universitas Palangka Raya (UPR) berinisial PS diduga melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswinya. Dari hasil investigasi kode etik terdiri dari beberapa guru besar di lingkungan FKIP UPR, pihak kampus juga memberhentikan jabatan PS sebagai Kepala Prodi Studi Pendidikan Fisika.

Kasus lain, seorang dosen Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) di Universitas Negeri Jakarta melakukan perkosaan kepada seorang mahasiswi. Pelaku melakukan aksinya dengan cara mengundang korban ke tempat kosnya untuk membuat laporan keuangan FIS Mart.

Setelah diproses dengan jalan mempertemukan keluarga korban dengan pelaku, pihak UNJ mengeluarkan Surat Keputusan menetapkan sanksi moral kepada pelaku. Usai menerima SK, pelaku malah melaporkan kembali korban ke pihak kepolisian atas dasar pencemaran nama baik. Pada 2 Juni 2015, pelaku juga masih menggugat keputusan Dekanat FIS.

Kemenag & Kemendikbud Harus Buat Aturan

Komnas Perempuan pun menyayangkan masih terjadinya kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Padahal, Dirjen Pendidikan Islam Kemenag telah menerbitkan SK Dirjen Nomor 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.

SK tersebut juga telah ditujukan kepada para Rektor dan Ketua Ketua Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Dalam SK itu, intinya setiap Rektor PTKI membangun dan mengembangkan mengembangkan Standard Operational Procedure (SOP) Pencegahan dan Penanganan KS/PPKS di masing-masing kampusnya.

Sanksi dalam pedoman ini diatur secara berjenjang. Tindak kekerasan seksual akan disidang dalam Dewan Etik untuk selanjutnya dilaporkan ke Menag. Unsur pidana dalam tindakan tersebut, bisa dilaporkan ke ranah hukum. Pihak kampus akan memberikan pendampingan kepada korban.

"Maka dalam konteks ini, pihak Rektorat IAIN [Kediri] mengacu SK Dirjen itu, dengan memfasilitasi korban untuk mengklaim keadilan melalui mekanisme yang dipilihnya, membantu pemulihan korban dan memberikan sanksi kepada pelaku," kata Siti Aminah.

Selain kepada PTKI, Komnas Perempuan juga mendorong Kemenag harus memastikan bahwa setiap rektor menerbitkan SOP pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Termasuk melakukan monitoring dan evaluasi bagi yang sudah memiliki SOP, apakah terinformasikan ke civitas akademika dan berlaku efektif.

Namun dalam pantauan Komnas Perempuan, pada 2020 baru 8 IAIN yang rektornya sudah menerbitkan SK Rektor tentang pencegahan dan penanganan Kekerasan Seksual. Sementara IAIN Kediri sendiri belum memiliki SOP tersebut.

"Sehingga menjadi penting melalui kasus ini untuk segera menerbitkan SOP sekaligus membangun daya dukung segenap civitas akademika untuk mendukung dan memulihkan korban," kata Siti Aminah.

Mengingat kampus di Indonesia juga berada di bawah Kemendikbud-Ristek, Komnas Perempuan juga meminta kementerian tersebut berperan dalam menangani kasus kekerasan seksual.

Saat ini, Kemendikbud-Ristek telah menerbitkan peraturan menteri mengenai pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Permendikbud tersebut kini masih diharmonisasi, tapi belum ditandatangani oleh Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim, sehingga belum menjadi kewajiban perguruan tinggi di bawahnya.

Namun sejauh ini, kata Siti Aminah, sejumlah universitas sudah mengembangkan SOP serupa seperti di UI dan UGM.

Agar SOP pencegahan dan pengendalian kekerasan seksual di perguruan tinggi dapat diterapkan di seluruh perguruan tinggi dan tidak hanya UI atau UGM saja, Komnas Perempuan mendorong Nadiem segera menandatangani Permendikbud tersebut. Kemudian mengedarkannya ke seluruh perguruan tinggi dan meminta lembaga pendidikan tersebut untuk menerapkannya.

"Agar perguruan tinggi di bawahnya [Kemendikbud-Ristek] lebih memiliki dasar hukum," kata dia.

Apabila peraturan tersebut telah diterapkan, dampak positifnya seluruh anggota civitas akademika mengetahui bahwa setiap bentuk kekerasan seksual di kampus dilarang. Kemudian jika terjadi korban, maka mereka mendapatkan kepastian proses yang akan dilalui dan sanksi yang akan diberikan kepada pelaku.

"Juga yang tak kalah penting, korban mendapat dukungan, termasuk kepastian untuk melanjutkan pendidikannya sampai selesai," tuturnya.

Anggota Jaringan Muda Setara, Nurul Annisa merasa miris dengan pelecehan seksual yang dilakukan oleh dosen IAIN Kediri kepada mahasiswinya. Dia meminta agar Kemenag tidak hanya mengeluarkan SK Dirjen Nomor 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual saja, tetapi juga menindaklanjuti kasus tersebut.

Jaringan Muda Setara merupakan perkumpulan perempuan dari 15 kampus di Indonesia yang mendorong pemerintah segera mengeluarkan peraturan setop kekerasan seksual di kampus.

"Penting untuk menindaklanjuti. Karena itu sudah menjadi komitmen Kemenag dan itu bisa jadi bukti bahwa Kemenag punya keberpihakan kepada korban, jadi jaminannya nyata dan bukan hanya menjadi peraturan saja," kata Annisa kepada reporter Tirto.

Kemenag juga diminta melibatkan lembaga pendamping seperti PSGA untuk mengurus kasus kekerasan seksual tersebut di perguruan tinggi dan partisipasi mahasiswa agar lebih pro aktif. Selain itu, Kemenag juga harus menjamin perlindungan korban dari jeratan dosen yang diduga sebagai pelaku.

"Harapannya dosen dapat sanksi dan korban diberikan perlindungan dan pemulihan," kata Nurul.

Respons Kementerian

Kemendikbud-Ristek mengatakan saat ini tengah menyusun Permendikbud tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi. "Kita tunggu saja aturannya sampai dikeluarkan," kata Plt Karo BKHM Kemendikbud-Ristek, Anang Ristanto kepada reporter Tirto, Rabu (1/9/2021).

Dalam Permendikbud tersebut, Anang menjelaskan pihaknya melalui Pusat Penguatan Karakter Kemendikbud-Ristek terus melakukan edukasi mengenai penghapusan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.

Edukasi tersebut melalui konten-konten dan juga dialog dengan pemangku kepentingan.

"Bentuk kontennya seperti infografis, video yang diunggah di media sosial. Sedangkan untuk dialognya seperti seri webinar," ucapnya.

Sementara itu, pihak Kemenag saat dihubungi reporter Tirto pada Selasa (31/8/2021), merekomendasikan untuk menanyakan langsung ke Rektorat IAIN Kediri dan menghubungi Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis), Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Suyitno.

Reporter Tirto telah mencoba menghubungi Wakil Rektor III IAIN Kediri Wahidul Anam dan Suyitno, namun hingga artikel ini dirilis, mereka belum memberikan respons.

Baca juga artikel terkait PELECEHAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz