Menuju konten utama

Pelecehan Bukan Akibat Pakaian; Berbaju Longgar & Berhijab pun Kena

Ada 16% korban memakai baju lengan panjang, 14% pakai seragam sekolah, 17% mengenakan hijab, dan 14% memakai baju longgar.

Pelecehan Bukan Akibat Pakaian; Berbaju Longgar & Berhijab pun Kena
Ilustrasi pelecehan seksual. tirto.id/Nadya

tirto.id - Ayi, 22 tahun, menceritakan pengalaman pahitnya tentang pelecehan seksual yang terjadi di bus Damri jurusan Jatinangor, Sumedang, ke Kota Bandung. Ia mengalami kejadian serupa di bus tiga kali; pada 2015, 2017, dan 2018.

“Waktu itu lagi berdesakan dan ramai banget dan aku posisinya duduk di kursi. Tengahnya Damri [lorong bus] itu penuh dengan orang yang berdiri semua. Waktu aku lagi duduk, di dekatku tiba-tiba ada bapak-bapak, dia berdiri di sampingku. [Satu tangan] dia pegangan ke atas, tapi tangan yang satu lagi itu ke bawah,” tutur Ayi.

“Tangan bapaknya usil. Aku itu padahal tasnya ke depan, tapi tangannya kayak nyenggol-nyenggol, ngedesek ke bagian payudara. Awalnya aku mikir, mungkin karena kedorong orang, tapi lama-lama aku kayak ngerasa ditekan,” sambungnya.

Tak nyaman, Ayi menggeser posisi duduknya dan memindahkan tas. Namun, tangan lelaki itu terus berusaha mendekat ke arah payudaranya. Ketakutan, Ayi pun diam, sembari merasa kecewa kepada dirinya sendiri karena tak berani berteriak dan melihat wajah pelaku.

Dua tahun kemudian, pelecehan semacam itu kembali terjadi, padahal kali ini bus dalam kondisi sepi dan banyak bangku kosong. Lagi-lagi, Ayi ketakutan dan kembali memilih bungkam. Namun, saat itu, Ayi sudah berani menatap dan mengingat wajah pelaku.

Setahun kemudian, pelecehan dengan modus yang sama terjadi lagi. Dan ternyata, kata Ayi, pelakunya adalah orang yang sama dengan orang yang melecehkan dia pada 2017. Namun, kali ini, Ayi tak mau tinggal diam. Meski tak berani berteriak, Ayi memilih pindah ke deret kursi paling belakang.

Dari bangku tersebut Ayi melihat predator seksual itu pindah ke bangku kosong di sebelah perempuan lain. Laki-laki itu pun mengulangi perbuatannya kepada penumpang itu. Namun, Ayi diam.

“Diam ketika melihat orang lain itu [karena] aku takut salah paham. Aku merasa dia dilecehkan, tapi [khawatir] dia merasa biasa saja. Karena sebagian orang masih santai saja, sementara yang lain bilang itu pelecehan,” tutur Ayi.

Tingginya Pelecehan Seksual di Ruang Publik

Ayi tak sendirian. Pada Juli 2019, sekelompok organisasi yang berkumpul dalam Koalisi Ruang Publik Aman mengumumkan "Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik" yang dilakukan pada akhir 2018.

Studi ini menghimpun data selama 16 hari, saat Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP). Ada 62.224 responden yang tersebar di 34 Provinsi di Indonesia. Partisipan pun dikelompokkan ke dalam berbagai identitas, seperti gender, usia, tingkat pendidikan, kepercayaan, abilitas, serta kelompok marginal.

Survei tersebut menunjukkan pelecehan seksual di ruang publik pernah dialami oleh 64 persen dari 38.766 perempuan, 11 persen dari 23.403 laki-laki, dan 69 persen dari 45 gender lainnya. Bahkan, mereka menemukan hasil bahwa 52 persen responden mendapat pelecehan seksual pertama kali sebelum berusia 16 tahun.

Ada tiga lokasi yang menjadi favorit para pelaku kejahatan seksual beraksi, yakni jalanan umum (33%), transportasi umum termasuk halte (19%), serta sekolah dan kampus (15%).

Dalam survei tersebut, para peneliti mengungkapkan bahwa bus adalah transportasi umum yang paling sering jadi tempat pelecehan seksual (36%), diikuti oleh angkot (30%), KRL (18%), ojek dan taksi online (18%), dan ojek dan taksi konvensional (6%).

Ruang Gerak Menjadi Terbatas

Tingginya angka pelecehan seksual di ruang publik ini semakin mempersempit gerak para korban. Di Indonesia, ada beberapa dampak jangka panjang yang bisa terjadi, misalnya korban akan meningkatkan pertahanan diri dengan belajar bela diri atau membawa senjata (22,95%), membatasi aktivitas (18,57%), mengubah metode transportasi (16,18%), mengalami perubahan perilaku karena takut berinteraksi (9,22%). Hal ini tentu akan berakibat buruk pada kesehatan dan kesejahteraan mereka.

Rika Rosvianti (Neqy), pendiri perEMPUan, salah satu kelompok yang terlibat dalam survei ini, membeberkan temuan lain dari hasil survei ini, yakni reaksi para saksi ketika mengetahui adanya pelecehan seksual. Dalam riset ini, 40 persen orang memilih mengabaikan dan 8 persen orang memilih untuk menyalahkan korban.

Meski begitu, 22 persen orang berani memilih untuk membela korban dan 15 persen responden berusaha menenangkan korban setelah kejadian.

“Secara persentase ini berarti orang sudah mulai aware bahwa yang terjadi itu adalah kekerasan seksual. Orang sudah mulai mengerti untuk menolong diri atau orang lain, sehingga kalau secara umum, trennya sudah ada dan orang sudah mulai bertindak, apa pun bentuknya,” ungkap Neqy.

Pelecehan Seksual Tak Hanya Verbal dan Fisik

Hasil survei yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman mengungkapkan tiga jenis pelecehan seksual di ruang publik yang paling sering dialami responden, yaitu verbal (60%), fisik (24%), dan visual (15%). Selain itu, mereka juga menemukan bahwa 38 persen pelaku akan berpura-pura bodoh dan 36 persen pelaku akan mengolok dan mengumpat ketika korban melakukan perlawanan.

Menurut Neqy, hal itu adalah bentuk sikap defensif dari para predator seksual ketika kelakuannya diketahui oleh korban. “Kalau secara umum, kalau mereka [pelaku] diberi intervensi akan lebih ngerem tindakannya. Makanya, yang dilakukan [pelaku] biasanya adalah [sikap] defensif. Jadi kenapa hasilnya pura-pura bodoh atau mengumpat, karena itu sebagai bentuk defensif,” kata Neqy.

Penampilan Tak Berpengaruh

Melalui survei ini, para peneliti menemukan fakta yang mematahkan mitos tentang jenis pakaian korban dan waktu terjadinya pelecehan seksual. Kejadian pelecehan seksual justru banyak terjadi di siang hari (35%), diikuti dengan sore hari (25%), malam hari (21%), dan pagi hari (17%).

Selain itu, jenis pakaian yang digunakan korban juga beragam, seperti rok dan celana panjang (18%), baju lengan panjang (16%), seragam sekolah (14%), hijab (17%), dan baju longgar (14%).

Hasil survei itu cocok dengan yang dialami oleh Ayi. Tiga kejadian pelecehan seksual di ruang publik yang dia alami terjadi pada sore hari (pada kejadian pertama) dan siang hari (kejadian kedua). Ayi juga membeberkan bahwa ia selalu mengenakan pakaian yang sangat tertutup, sehingga orang tak bisa melihat lekuk tubuhnya.

Infografik Pelecehan di Ruang Publik

Infografik Pelecehan di Ruang Publik. tirto.id/Aquita

“Aku keseharian itu pakai kerudung panjang, pakai gamis. Ya enggak ada yang bisa dilihat. Aku itu juga suka pakai jaket. Jadi bisa dibayangkan, sudah pakai gamis, enggak kelihatan, lalu pakai jaket. Dan biasanya aku pakai tas dan tas itu di bagian depan badan,” beber Ayi.

Neqy mengatakan bahwa melalui survei ini, publik harusnya sadar bahwa tak ada alasan untuk menyalahkan korban pelecehan seksual.

“Pelecehan seksual ini murni terjadi 100 persen karena niat pelaku. Tidak ada korban yang ‘mengundang’ untuk dilecehkan. Tidak seharusnya korban yang mengalami pelecehan seksual ini disalahkan karena kejahatan yang dilakukan orang lain. Sudah saatnya kita mengubah pola pikir kita yang malah sering [menyalahkan] korban,” tandasnya.

Baca juga artikel terkait PELECEHAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Humaniora
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani