Menuju konten utama

Peleburan Kelas BPJS Berpotensi Meningkatkan Jumlah Penunggak Iuran

Setiap kebijakan penyesuaian iuran dari BPJS Kesehatan selalu diikuti jumlah penurunan kelas peserta dan tunggakan iuran.

Peleburan Kelas BPJS Berpotensi Meningkatkan Jumlah Penunggak Iuran
Seorang warga menunjukkan Kartu Indonesia Sehat BPJS Kesehatan di Benda, Kota Tangerang, Banten, Senin (20/7/2020). ANTARA FOTO/Fauzan/hp.

tirto.id - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan agaknya perlu melakukan penyesuaian yang rinci dalam wacana peleburan kelas layanan fasilitas kesehatan. Sebab perubahan ini berpeluang membebani peserta kelas tiga dan membuka celah tunggakan iuran.

BPJS Kesehatan akan menerapkan wacana penghapusan skema kelas ini pada awal tahun depan. Jika sebelumnya peserta BPJS Kesehatan bisa memilih kepesertaan kelas I, II, hingga III sesuai kemampuan membayar iuran, maka nanti hanya ada kelas standar dengan ketentuan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan non-PBI.

Peserta PBI adalah masyarakat tidak mampu yang iuran BPJS Kesehatan-nya ditanggung pemerintah. Sementara peserta non-PBI terdiri dari Pekerja Penerima Upah (PPU) dan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau mandiri. Komposisi iuran akan dibagi antara kedua kelas ini dengan memperhatikan besaran inflasi, biaya kebutuhan jaminan kesehatan, dan kemampuan peserta.

“Sampai saat ini belum bisa disampaikan, karena masih terus berproses,” jawab Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Muttaqin kepada Tirto terkait besaran iuran.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar punya hitungan sendiri. Ia memprediksi iuran tersebut berada di rentang Rp 42 ribu sampai 100 ribu. Sebelumnya besaran iuran untuk Kelas I adalah Rp 150 ribu, Kelas II Rp 100 ribu, dan Kelas III Rp 35 ribu. Artinya bagi peserta kelas I dan II iuran akan berkurang, tetapi sebaliknya bagi peserta Kelas III.

Sementara peserta Kelas III terdiri dari 20 juta masyarakat miskin yang layak mendapat PBI namun lolos, sehingga memutuskan lari ke kepesertaan mandiri. Menurut Timboel, menaikkan iuran menjadi lebih besar dari sekarang berpotensi membuat banyak tunggakan bagi peserta yang semula berada di Kelas III.

“Yang dikhawatirkan mereka jadi tidak bisa bayar. Kenaikan BPJS kemarin saja banyak disertai penurunan kelas,” kata Timboel kepada Tirto.

Pernyataan terakhir rasanya senapas dengan pengalaman Sudarsono, 56 tahun. Ia adalah PPU Kelas I sejak pertama kali bergabung dengan BPJS Kesehatan pada tahun 2014. Ketika beralih ke kepesertaan mandiri di tahun 2018, Sudarsono masih bertahan di kelas yang sama, besaran iuran saat itu Rp 80 ribu dengan empat orang tanggungan.

“Waktu itu masih belum terlalu berat, sekitar Rp 320 ribu. Saya coba teruskan saat kenaikan BPJS di awal 2020 jadi Rp 160 ribu. Tapi berat karena sudah tidak bekerja,” ujar pensiunan perusahaan swasta di Jakarta ini.

Sudarsono baru memutuskan turun ke Kelas III beberapa bulan kemudian sebab makin terdesak oleh kebutuhan primer lain. Bagi Sudarsono yang sudah pernah merasakan manfaat kepesertaan untuk pemasangan ring jantung di tahun 2017, BPJS amat membantu menjamin risiko medis keluarga.

Apalagi pasca operasi ia harus mengonsumsi obat dan melakukan kontrol secara rutin. Namun di sisi lain Sudarsono berharap aturan peleburan kelas nantinya tidak menambah beban finansial rakyat kelas bawah. “Kalau bisa jangan naik lah, karena kan saya turun kelas karena iurannya kemahalan,” imbuhnya.

Mereka yang Turun Kelas

Sudarsono tak sendirian, bersamanya ada sekitar 1,57 juta peserta mandiri BPJS memilih turun kelas dalam periode Januari-Juli 2020. Jumlah tersebut setara 5,10 persen dari total peserta mandiri sebanyak 30,87 juta jiwa.

Sebelumnya fenomena turun kelas juga terjadi pada akhir 2019 dan awal 2020, salah satu faktornya tentu akibat kebijakan penyesuaian iuran. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) 75/2019, pada Januari-Maret 2020 besaran iuran Kelas I sebesar Rp 160 ribu, kelas II Rp 110 ribu, dan kelas III Rp 42 ribu.

Pada akhirnya peserta BPJS mandiri banyak memilih kelas dasar sebagai alternatif pembiayaan kesehatan mereka. Penurunan paling banyak terdapat pada rentang peserta Kelas II ke Kelas III, yakni sebesar 1,02 juta orang.

Sementara sekitar 342 ribu peserta Kelas I turun ke Kelas III dan 209 peserta Kelas I turun ke Kelas II. Jika ditotal lebih dari 1,2 juta peserta turun ke kelas dasar. Penurunan peserta ini membuat BPJS kehilangan pendapatan iuran sekitar Rp108,57 miliar.

Total kehilangan iuran pada tahun lalu dirinci sebesar Rp 56,87 miliar pada Januari 2020. Lalu Februari 2020 sekitar Rp 23,58 miliar, Maret 2020 totalnya menjadi Rp 9,39 miliar. Sepanjang April 2020, BPJS Kesehatan kehilangan pendapatan iuran menjadi Rp 1,58 miliar, kemudian Mei 2020 Rp 270,59 juta, Juni 2020 Rp 4,52 miliar, dan Juli 2020 sekitar Rp 10,98 miliar.

Infografik Penghapusan Kelas BPJS

Infografik Penghapusan Kelas BPJS. tirto.id/Quita

Kehilangan pendapatan iuran pada Juli 2020 menjadi yang terbesar sejak Januari 2020, bertepatan dengan kembali naiknya iuran BPJS Kesehatan. Namun begitu, arus kas BPJS Kesehatan justru berakhir surplus Rp 18,7 triliun pada pertengahan 2020. Pencatatan ini menjadi yang pertama kali dalam sejarah defisit keuangan BPJS.

“Sejak Juli 2020 tidak ada kasus gagal bayar klaim karena penyesuaian iuran,” kata direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris dilansir dari Bisnis.com.

Tapi seperti prediksi BPJS Watch, wacana peleburan kelas kemungkinan akan menarik iuran lebih besar dari jumlah minimum saat ini. Guna mengantisipasi kemungkinan gagal bayar, Timboel mengusulkan pendataan ulang PBI dan pengelompokan peserta Kelas III ke dalam PBI.

“Memang akan sulit mendatanya, karena itu kebijakan ini harus ditunda, tidak bisa diterapkan tahun depan," ujar Timboel.

Menilik data BPJS Kesehatan tahun lalu (April 2020) mayoritas peserta mandiri memang terdapat pada Kelas III sebanyak 21,8 juta orang atau 61,6 persen dari total peserta mandiri. Dari jumlah tersebut sebanyak 11,01 juta orang atau 50,4 persen merupakan peserta aktif.

Artinya 10,8 juta orang atau 49,6 persen peserta mandiri Kelas III menunggak iuran. Jika nantinya peleburan kelas membuat iuran bertambah, sangat mungkin jumlah penunggak akan semakin besar dan BPJS tak lagi merasakan surplus karena hilangnya subsidi silang dari kelas yang lebih tinggi.

Baca juga artikel terkait BPJS KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Irfan Teguh