Menuju konten utama

Pelarangan Burkini dan Laicite, Sekularisme Ekstrem Perancis

Soal hubungan negara dan agama, Perancis memisahkannya secara ekstrem.

Pelarangan Burkini dan Laicite, Sekularisme Ekstrem Perancis
Seorang perempuan Muslim memakai hijab berdiri di air Laut Mediterania. [ANTARA FOTO/REUTERS/Baz Ratner]

tirto.id - Dengan latar Spanyol abad ke-18, di sebuah jamuan makan malam, Ines Bilbatua melewatkan waktu. Ia bersenda gurau bersama teman-temannya. Saat hidangan daging babi datang, ia meringis dan menampik. Ia tak sadar gerak geriknya diawasi mata-mata dewan Inquisisi.

Bilbatua tak membayangkan penolakannya memakan babi bisa membuatnya dianggap penganut Yahudi—yang ajarannya memang melarang umatnya memakan daging babi. Ini adalah masalah besar bagi daerah yang dikuasai oleh otoritas agama secara ekstrem, dilengkapi perangkat bernama Inquisisi.

Petaka itu kemudian terjadi: Ines Bilbatua diinterogasi dewan Inquisisi. Tak ada jawaban apapun yang bisa meyakinkan bahwa putri Tomas Bilbatua ini bukan Yahudi sembunyi-sembunyi. Gadis ini kemudian disiksa bertahun tahun dengan tuduhan yang sama sekali tak dipahaminya.

Meski cerita dalam film Goya's Ghost itu separuh fiksi, ia mewakili periode Inquisisi di Spanyol, di mana orang tak bisa hidup tentram dan selalu dihantui ancaman hukuman, terutama jika ia dicurigai menyimpang. Inilah ekstremisme negara-agama di Eropa masa lalu. Hukum-hukum yang berlaku di negara mengikuti apa yang dianggap benar menurut agama.

Namun, tiga abad kemudian pendulum hubungan negara dan agama bergerak ke arah kebalikannya. Tahun lalu, katering sekolah di kota kecil Chilly-Mazarin, Perancis, tak memberi pilihan makanan non-babi bagi semua siswa sekolahnya. Tentu ini masalah bagi siswa Muslim dan Yahudi.

Alasan tak ada pilihan makanan non-babi? Sekularisme. Jika pada abad-abad sebelumnya orang tak makan babi dicurigai menyimpang dari Katolisisme, maka sekarang orang harus mau makan apapun termasuk babi, dengan alasan sekularisme.

Walikota Jean-Paul Beneytou, yang berasal partai sayap kanan Les Républicains, seperti dikutip The Guardian mengatakan ini adalah cara yang masuk akal untuk menjaga “netralitas” sektor publik. Di Perancis, kantin sekolah umum memang dikelola kota yang bersangkutan sehingga tergantung kebijakan sang walikota.

Di kota-kota lain, pada hari-hari ada daging babi menjadi makanan utama, anak Muslim atau Yahudi biasanya disediakan pengganti, misalnya sosis kalkun. Ada juga kota yang menyediakan pilihan vegetarian.

Masalah tak berhenti pada soal hijab dan babi. Baru-baru ini, ada masalah lain terkait kerasnya sekularisme Perancis. Pakaian renang yang menutupi seluruh badan—biasa disebut sebagai burkini—dilarang di pantai-pantai Mediterania negara itu.

Pelaksanaan larangan itu sungguh ekstrem. Pada sebuah foto, tampak dua orang polisi bersenjata memberi peringatan pada seorang perempuan yang bersantai dengan burkini untuk melepaskan sebagian pakaiannya saat itu juga. Satu polisi berkacak pinggang mengawasi Siam, si perempuan berburkini, yang sedang melepas pakaiannya.

Saat itu, seperti dilaporkan The Guardian, Siam sedang duduk-duduk dan tiduran di pantai bersama keluarganya. Ia tak berniat berenang di laut, katanya.

Seorang saksi bernama Mathilde Cousin mengkonfirmasi kejadian itu. “Hal yang paling menyedihkan adalah orang-orang berteriak 'pulang,' dan sebagian lagi mendukung polisi,” kata Cousin. “Anak perempuannya menangis.”

Kota Nice adalah kota yang melarang burkini menyusul kota-kota lain, Cannes salah satunya. Mereka menggunakan bahasa yang kurang lebih sama dengan alasan pelarangan burkini di kota-kota lain. Burkini, katanya, “terang-terangan memanifestasikan kepatuhan pada agama, sedangkan di saat yang sama Perancis dan tempat-tempat beribadah menjadi target serangan-serangan teroris.”

Kalimat itu menerangkan dua hal. Pertama, hijab atau burkini dianggap sebagai pakaian yang terkait terorisme. Kedua, Perancis tampak sangat bermusuhan dengan simbol-simbol agama.

Laïcité: Sekularisme Ekstrem Perancis

Soal hubungan negara dan agama, Perancis memang menatanya secara ekstrem. Amerika Serikat jelas mendefinisikan diri sebagai negara sekuler, tapi tak sekeras Perancis. Aparat di AS, misalnya anggota militer, diperbolehkan mengenakan hijab. Inggris Raya lebih ramah lagi dengan agama. Negara yang disebut terakhir ini mengedepankan politik pengakuan. Semua agama boleh “kelihatan” di ruang publik. Sekolah umum menyediakan makanan halal dan kosher. Sekolah berbasis agama pun mendapat bantuan subsidi negara.

Perancis tak seperti Amerika Serikat, dan lebih tak mirip lagi dengan Inggris. Di masa lalu, Perancis ada di bawah Katolisisme. Negara berimpitan dengan otoritas gereja. Persoalan ini selesai dengan pengesahan hukum yang memisahkan agama dengan negara secara tegas pada 9 Desember 1905. Termasuk penekanan bahwa negara Perancis tidak mengakui, membiayai, dan mensubsidi lembaga keagamaan apapun.

Dalam satu artikel di situsweb University of Brookings, brookings.edu, berjudul “French Views of Religious Freedom,” disebut bahwa laïcité bermakna sekularisme, diciptakan untuk menggambarkan oposisi yang berkembang terhadap otoritas moral dari para imam Katolik. ”Seiring waktu, gerakan laïcité terus mengutuk pemaksaan agama sebagai bentuk pengaruh agama yang tidak semestinya.”

Secara historis, “trauma” terhadap agama bisa dipahami. Eropa pernah babak belur karena perang agama. Setelah perang itu selesai, ada dua pilihan: bersama gereja Katolik atau bersama kemerdekaan berpikir/menjadi pemikir bebas. Hingga kini, kebebasan berpikir masih dimaknai sebagai kebebasan dari otoritas moral.

Selama ini, sekularisme hampir tak jadi soal karena mayoritas rakyat Perancis tidak religius. Mereka tak bermasalah dengan larangan menampakkan simbol agama. Pada 2005-2009, dari 41,6 persen orang dewasa yang terafiliasi sebagai Katolik, hanya 12 persen yang menghadiri misa. Anda bisa melihat data ini di sini.

Namun, ceritanya menjadi lain kala gelombang imigran Muslim datang. Para imigran masih lekat dengan praktik-praktik religius. Gegar budaya ini juga ditambah oleh masalah ekstremisme dan terorisme. Berbagai penyerangan oleh kaum ekstremis Islam menambah tegangan itu.

Bisakah masalah selesai dengan laïcité berwarna de-Islamisasi semacam sekarang?

Giles Fraser, wartawan yang juga pendeta Gereja Inggris, menulis kondisinya tak sama dengan de-Kristenisasi yang menjadi latar laïcité dulu. Ada perbedaan besar antara memusuhi uskup-uskup besar di Roma dahulu dengan memusuhi komunitas muslim rapuh, yang dihasilkan oleh penjajahan Perancis di masa lalu.

Fraser mengakui bahwa ada masalah terorisme. Namun, menyasar komunitas muslim adalah bentuk intimidasi sekaligus provokasi. “Anda harus curiga bahwa sekularisme Perancis bukanlah hal netral seperti sebelumnya, ketika [seorang] rasis seperti Le Pen mulai membelanya secara antusias,” kata Giles dalam artikelnya di The Guardian.

=====================================

Pembaruan kabar pada 27 Agustus 2016:

Pengadilan administratif tertinggi Perancis akhirnya menyatakan bahwa pelarangan burkini yang diterapkan beberapa kota sebagai hal yang ilegal dan merupakan pelanggaran kebebasan fundamental. Dalam keputusannya, tiga hakim senior mengatakan bahwa pelarangan itu "telah memberi pukulan serius dan jelas ilegal untuk kebebasan fundamental seperti kebebasan untuk pergerakan, kebebasan hati nurani, dan kebebasan individu," demikian dilaporkan oleh independent.co.uk.

Baca juga artikel terkait SOSIAL BUDAYA atau tulisan lainnya dari Maulida Sri Handayani

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Maulida Sri Handayani
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Suhendra