Menuju konten utama

Pelabuhan Para Pengungsi Timur Tengah

Para pengungsi perang Timur Tengah tersebar di banyak negara. Dari Eropa hingga negara-negara yang juga miskin.

Pelabuhan Para Pengungsi Timur Tengah
Pencari suaka asal Afghanistan membawa tulisan "Kami Dilupakan" saat unjuk rasa di depan Kantor Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), Kebon Sirih, Jakarta, Selasa (24/8/2021). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc.

tirto.id - Setelah serangan Al-Qaeda ke gedung pencakar langit di New York pada 11 September 2001, negara-negara Eropa yang tergabung dalam NATO seperti Inggris, Jerman, dan Prancis angkat senjata mendukung invasi Amerika Serikat ke Afganistan. Usaha untuk menghancurkan rezim Taliban—yang menaungi Al-Qaeda—ini dilaporkan menelan lebih dari 100 ribu korban sipil.

Kesetiaan kepada AS juga ditunjukkan oleh Inggris, kali ini bersama Denmark dan Polandia, pada pendudukan Irak karena hoaks senjata pemusnah massal yang diperkirakan menewaskan sampai 200 ribu warga sejak 2003.

Inggris dan Prancis juga terlibat menyokong persenjataan dan logistik untuk pasukan pemberontak dalam rangka menggulingkan rezim Bashar al-Assad di Suriah sejak 2011. Selain menewaskan ratusan ribu sipil, konflik ini mengakibatkan separuh lebih populasi kehilangan rumahnya—6,7 juta di antaranya mengungsi ke luar negeri.

Ketidakstabilan politik ini akhirnya berujung pada gelombang pengungsi dari Timur Tengah sampai ke perbatasan Eropa. Puncaknya terjadi pada 2015, ketika jumlah pencari suaka menembus 1,2 juta jiwa. Setahun kemudian jumlahnya masih 1,1 juta jiwa, lalu menunjukkan tren menurun pada kisaran 600 ribuan dan terendah pada 2020, sekitar 400 ribu orang. Sementara di Inggris Raya, jumlah pencari suaka sejak 2015 konstan pada kisaran 25-35 ribu setiap tahun.

Keterlibatan militer yang memperparah konflik di negara asal pengungsi menjadi alasan moral mengapa Benua Biru harus turut bertanggung jawab terhadap para pengungsi. Namun, sekian tahun terakhir, mereka disorot karena kewalahan menghadapi gelombang pengungsi asal Suriah, Irak, dan baru-baru ini Afganistan. Hubungan antarnegara Eropa menegang karena tidak mampu menyepakati kebijakan terpadu untuk merespons krisis pengungsi.

Situasi ini juga menyuburkan retorika anti-imigran dari kaum populis-nasionalis sayap kanan. Bahkan, karena retorika tersebut, pada 2017 AfD (Alternative for Germany) jadi oposisi terbesar di parlemen. Di Hungaria, Perdana Menteri Viktor Orbán dengan mudah menang pemilu ketiga kalinya pada 2018 setelah partai penyokongnya, Fidesz, “menggoreng” habis-habisan narasi anti-imigran. Nuansa senada ditemui di Austria, yang sejak 2017 dipimpin oleh Kanselir Sebastian Kurz dari faksi konservatif Partai Rakyat dan koalisinya, Partai Kebebasan, yang berhaluan kanan keras.

Eropa Bukan Penerima Pengungsi Terbesar

Turut serta memicu gelombang pengungsi tapi kemudian berseteru dan kelimpungan menghadapinya bukan satu-satunya kekonyolan Eropa. Faktanya sejauh ini juga bukan mereka penerima pengungsi terbanyak, tapi negara dari kawasan Asia Barat dan Timur Tengah.

Sampai sekarang, misalnya, Turki-lah penerima pengungsi asal Suriah terbanyak di dunia. Bukan karena mereka baik hati, tapi berkat kesepakatan dengan Uni Eropa pada 2016 lalu. Eropa setuju membayar Turki sampai total 6 miliar euro atau Rp100 triliun untuk menampung pengungsi. Apa tujuannya? Tak lain menahan agar mereka tak sampai menginjakkan kaki ke Eropa.

Namun Turki pun akhirnya kepayahan mengatasi pengungsi, terlebih karena ekonomi yang sudah lemah dan diperparah oleh pandemi Covid-19.

Tak mau lagi masalah bertambah rumit dengan besarnya potensi pengungsi asal Afganistan, pada akhir Agustus lalu Presiden Recep Tayyip Erdogan melarang Eropa “cuci tangan” sembari menekankan, “Turki tidak punya tugas, tanggung jawab, atau kewajiban untuk jadi gudang pengungsinya Eropa.”

Erdogan mengungkapkan bahwa Turki sudah menampung 3,6 juta pengungsi Suriah dan 300 ribu dari Afganistan, sementara total warga Turki sendiri yang harus diprioritaskan kesejahteraannya mencapai 84 juta. Sebagai pembanding, Jerman, negara dengan ekonomi terkuat di Eropa dan populasi penduduk setara Turki, hanya menampung sekitar 1,2 juta pengungsi.

Rasio pengungsi dibanding total populasi tertinggi terdapat di Republik Lebanon. Negara dengan populasi tak sampai 7 juta jiwa ini menampung sampai 1,5 juta pengungsi Suriah, 17 ribu lain dari Irak dan Sudan, ditambah 200 ribu dari Palestina di bawah mandat PBB. Menurut laporan Badan PBB untuk Pengungsi (UNHCR), pada 2020 Lebanon membutuhkan Rp8,5 triliun untuk membiayai pengungsi, namun sumbangan dari negara-negara donatur tak sampai menutupi 60 persennya.

Bukan berarti Lebanon sejahtera sehingga sebanyak itu menampung pengungsi. Faktanya justru sebaliknya. Menurut temuan terbaru PBB, 82 persen penduduk mengalami kemiskinan multidimensional. Lebanon sudah jatuh dalam lubang krisis bahkan sebelum pandemi Covid-19. Utangnya pada 2019 tercatat sampai 150 persen PDB, tertinggi ketiga setelah Jepang dan Yunani. Rakyatnya frustrasi karena layanan dasar kerap bermasalah: sering mati listrik, air minum dan fasilitas kesehatan terbatas, sampai koneksi internet super lambat. Elite politik kerap dituding sudah mengeruk kekayaan untuk kalangan mereka sendiri alih-alih mengupayakan kesejahteraan warga, sementara potensi cadangan gas alam dan minyak belum dimaksimalkan.

Yordania juga memiliki rasio pengungsi yang tinggi, yakni 700 ribuan (kebanyakan asal Irak dan Suriah) dari total 10 juta penduduk. Tahun lalu, Yordania menganggarkan Rp6 triliun untuk biaya operasional pengungsi. Namun, seperti Lebanon, donasi yang diterima hanya cukup memenuhi sebagian saja.

Negeri miskin minyak, gas, dan bahkan air ini turut berjibaku dengan ekonomi yang melemah, terlebih setelah sektor pariwisata dihantam pandemi. Angka pengangguran nyaris mencapai 25 persen, sementara utang negara merangkak sampai 85 persen nilai PDB. Tahun lalu sempat muncul juga riak perpecahan politik antara Raja Abdullah II dan adik tirinya, Pangeran Hamzah. Untungnya krisis ini berhasil diredam.

Pakistan dan Iran juga dilaporkan menampung banyak pengungsi. Melansir data UNHCR pada 2020, Pakistan yang jumlah penduduknya 225 juta jiwa ini menampung lebih dari 1,5 juta pengungsi (1,4 juta berasal dari Afganistan). Sementara Iran menerima sekitar 800 ribu pengungsi, mayoritas berasal dari Afganistan sedangkan 20 ribu lainnya dari Irak. Negara dengan total 85 juta populasi jiwa ini pun tidak terbebas krisis, yang terutama disebabkan oleh sanksi ekonomi AS dan musuh-musuh Iran di sekitarnya: para negara Teluk.

Dari semua itu, ringkasnya, meskipun Eropa kerap diberitakan terbebani dan ketakutan dengan kedatangan pengungsi, situasi jauh lebih pelik dialami negara-negara yang benar-benar menjadi penampung pengungsi terbesar—yang tentu saja ekonominya tidak semapan mayoritas negara Eropa.

Eropa tetap tak mau membukakan pintu lebih lebar dan memilih memperkuat kerja sama dengan negara-negara di kawasan ini Asia-Timur Tengah. Demi menghindari “kesalahan” krisis migran 2015-16 silam, petinggi dari 27 negara Uni Eropa lebih memilih sepakat mengucurkan ratusan juta euro untuk negara-negara yang menaungi para pengungsi.

Di Mana Negara Kaya Minyak?

Setelah beberapa tahun ini pengungsi berdesakan memasuki negara yang tak bisa dibilang kaya, wajar jika muncul pertanyaan: apa kontribusi negara-negara kaya gas dan minyak di kawasan itu?

Meskipun terletak di dekat daerah berkonflik (Suriah, Irak, Afganistan), enam monarki makmur (Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi, Uni Emirat Arab) yang tergabung dalam Dewan Kerja Sama Negara-negara Arab Teluk atau Gulf Countries Council (GCC) ini cenderung absen dari sorotan media tentang penanganan pengungsi. Namun demikian, sejumlah donasi dilaporkan datang dari individu dan lembaga sosial di negara-negara tersebut.

Melansir ulasan oleh peneliti kajian Timur Tengah Michael Stephens di BBC pada 2015, sumbangan individual mencapai 900 juta dolar AS atau 12 triliun rupiah. Bahkan, pegawai dari korporat raksasa Qatar Petroleum dikabarkan bersedia menyisihkan gaji setiap bulan untuk didermakan kepada para pengungsi Suriah. Arab Saudi juga melaporkan sejak 2011 sudah menerima 500 ribu orang Suriah yang disponsori dengan visa pekerja—alih-alih berstatus pengungsi.

Lalu kenapa tidak ada kebijakan pengungsi dalam skala negara? Menurut Stephens, hal ini berhubungan dengan permusuhan antara negara-negara Teluk suni dengan dengan Iran dan sekutunya, termasuk Suriah. Arab Saudi dan Qatar khawatir ada warga Suriah balas dendam dengan menyusup sebagai pengungsi mengingat ketika perang sipil di Suriah berkecamuk dua negara itu aktif menyokong tentara pemberontak yang anti-rezim Assad.

Masih menurut Stephens, kehadiran pengungsi juga dipandang mengancam keseimbangan demografi di negara-negara Teluk yang sudah rentan. Misalnya Uni Emirat Arab dan Qatar. Di sana, persentase warga negara masing-masing hanya berkisar 10 persen. Mayoritas penduduk adalah buruh migran atau pekerja kontrak yang diperlukan untuk menggerakkan roda ekonomi.

Mekanisme ini, kata Stephens, “untuk mempertahankan status dominan mereka tanpa dikuasai oleh orang Arab dari negara lain atau buruh Asia Selatan.”

Walaupun negara Teluk menyambut baik kehadiran pekerja migran dengan alasan ekonomi, perlindungan hukum terhadap mereka kelam. Contoh terbarunya adalah ribuan pekerja meninggal dunia dalam persiapan Piala Dunia Qatar tahun depan. Mereka kelelahan, tanpa perlindungan memadai, dan gaji pun kerap terlambat dibayarkan. Kekerasan terhadap mereka pun sudah terlalu sering kita dengar, seperti terjadi pada Siti Tarwiyah dan Susmiyati di Arab Saudi, yang meninggal setelah dianiaya majikan pada 2007 silam. Tragedi ini terjadi karena kafala, semacam sistem perbudakan modern, yang mengikat pekerja dengan majikan atau pemberi kerja sehingga mereka tidak bisa pergi ke mana pun tanpa izin tertulis dari atasan.

Infografik Pengungsi Timur Tengah

Infografik Pengungsi Timur Tengah. tirto.id/Fuad

Penting juga untuk dicatat bahwa seluruh negara Arab Teluk tidak menandatangani Konvensi PBB Tahun 1951 tentang Status Pengungsi. Konvensi yang sudah disepakati oleh 145 negara ini mendefinisikan pengungsi, hak-hak mereka, dan tanggung jawab negara-negara penandatangan untuk melindungi mereka.

Sebenarnya negara-negara penampung pengungsi terbesar seperti Lebanon, Yordania, atau Pakistan juga tidak menandatangani Konvensi Pengungsi. Makanya, secara hukum, di Pakistan misalnya, pengungsi dipandang sebagai imigran ilegal yang rentan dipersekusi atau dilecehkan aparat kepolisian.

Peneliti dari Queen's University Belfast University, Julie Norman, dalam tulisan di The Conversation pada 2015 silam menjelaskan betapa mampu negara kaya seperti Arab Saudi turun tangan. Mereka terbiasa mengelola orang asing, jutaan jemaah haji, setiap tahun. Tapi toh itu tak dilakukan, meski faktanya saat itu mereka bahkan memiliki 100 ribu tenda kosong dengan fasilitas mesin pendingin suhu yang awalnya ditujukan untuk jemaah haji.

Dia menekankan bahwa negara-negara Teluk yang lebih stabil dan mapan secara ekonomi semestinya membantu lebih untuk menanggulangi krisis pengungsi demi mengurangi beban kawasan sekitar. Juga, perlu ditambah, demi para pengungsi itu sendiri yang sebagian di antaranya bahkan belum menemukan negara yang bersedia menerima dan terlunta-lunta termasuk yang ada di Jakarta.

Baca juga artikel terkait PENGUNGSI atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Humaniora
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino