Menuju konten utama

Pekerjaan Rumah Pertamina Usai Kuasai 100 Persen Blok Rokan

Hak pengelolaan Blok Rokan 100 persen memang diberikan kepada Pertamina. Namun, ada sejumlah pekerjaan rumah yang mesti dilakukan oleh perusahaan pelat merah itu.

Pekerjaan Rumah Pertamina Usai Kuasai 100 Persen Blok Rokan
Fasilitas minyak PT Chevron Pacific Indonesia di daerah Minas yang masuk dalam Blok Rokan di Riau, Rabu (1/8/2018). ANTARA FOTO/FB Anggoro.

tirto.id - Pemerintah memberikan hak kelola Blok Rokan, di Provinsi Riau yang habis masa kontraknya pada September 2021 kepada PT Pertamina (Persero). Kementerian ESDM menyebut keputusan ini murni diambil atas dasar pertimbangan bisnis dan ekonomi setelah mengevaluasi proposal Pertamina yang dinilai lebih baik daripada PT Chevron Pasific Indonesia, perusahaan asal Amerika Serikat yang mengelola Blok Rokan sejak 1971.

Kondisi tersebut didasari dengan Signature Bonus yang disodorkan Pertamina sebesar 784 juta dolar AS atau sekitar Rp11,3 triliun dan nilai komitmen pasti sebesar 500 juta dolar AS atau Rp7,2 triliun dalam menjalankan aktivitas eksploitasi migas. “Penawaran dari Chevron jauh di bawah penawaran yang diajukan oleh Pertamina,” kata Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar seperti dikutip Antara, Rabu (1/8/2018).

Pengamat energi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi menilai keputusan itu sebagai preseden baik bagi Pertamina karena bisa memenangkan persaingan secara bisnis melawan Chevron. Sebelumnya, kata Fahmy, Pertamina selalu kalah dalam memperebutkan blok migas potensial dari perusahaan asing, seperti ExxonMobil dan British Petroleum.

“Selama ini, kan, Pertamina bersaing selalu kalah ya. Kali ini Pertamina bisa menang, saya kira ini patut diapresiasi, tapi sekaligus ini tantangan bagi Pertamina,” kata mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas ini kepada Tirto, Kamis (2/8/2018).

Fahmy menyatakan, tantangan terbesar Pertamina adalah harus bisa membuktikan kemampuannya dalam mengelola Blok Rokan ini. Indikator minimalnya, kata Fahmy, adalah mempertahankan produksi minyak dari lapangan itu agar tidak turun atau lebih rendah dibanding saat dikelola Chevron.

Berdasarkan data SKK Migas, realisasi lifting minyak Blok Rokan per Maret 2018 mencapai 212 ribu barel per hari (bph). Dengan produksi sebesar ini, Blok Rokan mendominasi pasokan produksi minyak nasional yang ditarget mencapai 800 ribu bph atau setara 25 persen produksi minyak nasional.

“Kalau ini [penurunan produksi] terjadi akan menjadi preseden buruk karena tantangan Pertamina adalah mempertahankan produksi migas, sukur-sukur bisa menaikkan,” kata Fahmy memberikan catatan.

Kekhawatiran Fahmy ini cukup beralasan mengingat track record Pertamina setelah mengambil alih Blok Mahakam dan ONWJ, produksinya kemudian menurun. Hingga Mei lalu, misalnya, produksi minyak PT Pertamina Hulu Mahakam hanya mencapai 92,47 persen, yaitu 44.638 bph dari target 48.271 barel. Sementara untuk produksi gas bumi, capaian hanya 84 persen, yaitu 932.700 MMSCFD dari target 1,2 juta MMSCFD.

Namun demikian, khusus Blok Rokan, Fahmy masih optimistis Pertamina mampu mempertahankan produksi minyak dari blok migas itu. Menurut Fahmy, hal ini didasarkan atas dua pertimbangan penting dalam industri migas. Pertama, soal karakteristik masing-masing ladang minyak di wilayah kerja migas. Kedua, terkait sumber daya manusia.

“Karakteristik ladang minyak di Blok Rokan ini berbeda dengan Blok Mahakam dan ONWJ. Di Mahakam itu banyak sumurnya, tapi tersebar kecil-kecil, sehingga di Mahakam itu harus mencari sumur-sumur baru untuk menaikkan produksi, dan sampai hari ini itu belum berhasil,” kata Fahmy.

Berbeda dengan Blok Rokan yang selama ini menjadi andalan pemerintah dalam memenuhi lifting minyak nasional. Menurut Fahmy, di Blok Rokan terdapat sumur Duri dan Minas yang selama ini menjadi tulang punggung produksi minyak nasional dan diyakini cadangan minyaknya masih cukup besar. Dengan karakteristik seperti itu, maka relatif mudah bagi Pertamina untuk melakukan eksplorasi maupun eksploitasi.

Selain itu, kata Fahmy, dari segi sumber daya manusia (SDM) di Blok Rokan, sekitar 95 persen merupakan tenaga kerja lokal (bukan asing) yang nantinya dapat diambil alih Pertamina. Sehingga dari segi kapabilitas dan pengalaman, kata Fahmy, hal itu memungkinkan Pertamina untuk meningkatkan produksinya.

“Kalau nanti produksinya bisa meningkat, maka ini bisa menaikkan lifting [nasional], dan pendapatan Pertamina sekaligus pendapatan negara [naik]” kata Fahmy.

Skema Pembiayaan dan Nasib Karyawan

Tantangan lain yang mesti dijawab Pertamina adalah soal skema investasi dan nasib karyawan. Plt Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati menyatakan, pihaknya akan tetap mempertahankan karyawan Chevron di Blok Rokan. Ia memastikan tidak akan ada lay off karyawan setelah mengambil alihan wilayah kerja migas itu.

“Di [Blok] Mahakam juga begitu, berpindah. Ini kami lagi proses untuk menyampaikan semuanya. Kami akan tetap menggunakan data tenaga kerja nasional. Kami tidak akan lay off, tapi malah kami mungkin akan menambah tenaga kerja karena sudah ada yang pensiun,” kata Nicke, di Wisma Antara, Jakarta, Rabu (1/8/2018).

“Kami akan optimalkan SDM yang sudah berkompeten dan berpengalaman di bidang tersebut,” tambah Perempuan kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, 25 Desember 1967 ini.

Nicke mengungkapkan tekad perseroan yang akan meningkatkan produksi minyak di Blok Rokan ini. Ia menyebutkan setidaknya ada dua cara yang bakal ditempuh Pertamina, yakni dengan cara konvensional dan non-konvensional.

Nicke mengklaim, Pertamina sudah mempelajari data teknis yang terkait dengan Blok Rokan. Untuk itu, ia menilai perlu adanya penerapan teknologi dalam melakukan eksplorasi di sejumlah titik. “Kami harus menambah area,” kata Nicke.

Langkah lainnya, menurut Nicke, Pertamina juga akan meningkatkan produksi minyak lewat penerapan teknologi EOR (Enhanced Oil Recovery). Teknologi pengurasan minyak itu memang sudah dilakukan di Blok Rokan saat ini. Akan tetapi, Nicke menyatakan Pertamina bakal meneruskannya serta berupaya agar kapasitas produksinya bisa bertambah.

Selain itu, Nicke juga tidak menampik saat disinggung mengenai rencana menggandeng investor dalam mengelola Blok Rokan. Ia menyatakan Pertamina membuka peluang seluas-luasnya bagi investor manapun yang memang tertarik untuk bermitra.

“Tujuan mencari partner ini untuk memitigasi risiko, yakni risiko teknologi dan juga risiko pendanaan. Banyak pihak yang berminat, dan peluang untuk melakukan kerja sama itu memang terbuka guna memitigasi risiko,” kata Nicke.

Infografik CI Berebut Blok rokan

Fahmy Radhi menilai upaya Pertamina menggandeng mitra dalam pengelolaan Blok Rokan sebagai langkah yang wajar dalam industri migas mengingat perseroan membutuhkan dana yang cukup besar dalam investasi. Menurut Fahmy, ada tiga alternatif pembiayaan yang bisa dilakukan Pertamina, antara lain: menggunakan sumber dana equity, pinjaman dari lembaga keuangan, dan share down.

“Saya kira ada pilihan-pilihan alternatif bagi Pertamina. Kalau kemudian dia [Pertamina] menggunakan sumber dana equity yang ada, saya kira terlalu berat ya. Meskipun kondisi keuangan Pertamina sebetulnya aman-aman saja, tapi saya kira dalam bisnis kurang tepat,” kata Fahmy.

Pilihan kedua adalah pinjaman dari lembaga keuangan. Menurut Fahmy, bila Pertamina bertekad mengelola Blok Rokan sendiri, maka sesungguhnya dengan mudah perusahaan pelat merah itu mencari pinjaman menggunakan sumber dana utang, baik dari lembaga pembiayaan dalam maupun luar negeri.

“Dengan cadangan Blok Rokan yang masih besar, saya kira lembaga-lembaga keuangan dalam dan luar negeri akan mengantre untuk membiayai,” kata Fahmy.

Alternatif ketiga, kata Fahmy, adalah share down seperti yang diwacanakan Nicke. Menurut Fahmy, dalam share down ini Pertamina mencari patner untuk sharing profit, sekaligus sharing cost dan risiko.

“Jadi share down itu bukan penjualan aset, enggak ada aset yang dijual. Itu kan sharing pengelolaan, misalnya Blok Rokan dikelola Pertamina bisa juga share down sampai 39 persen dan 10 persen diberikan ke daerah sebagai PI [Participating Interest]. Kalau misalnya Pertamina milih share down, itu saya kira hal yang lazim dilakukan di industri migas,” kata dia.

Pertanyaan berikutnya adalah siapa yang harus jadi patnership? Fahmy menyarankan yang paling tepat adalah Chevron. Alasannya karena perusahaan asal Amerika Serikat itu sudah puluhan tahun mengelola blok itu. Bila Chevron tidak bersedia, maka Pertamina bisa mencari mitra lain.

“Kalau Pertamina menggunakan cara share down, saya kira Chevron akan bersedia karena perusahaan asal Amerika itu tahu persis potensi migas yang ada di Blok Rokan dan profit yang akan diperoleh dari blok itu,” kata Fahmy.

Baca juga artikel terkait BLOK ROKAN atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Bisnis
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz