Menuju konten utama

Pekerja Migran Ungkap Masih Hadapi Praktik Pemaksaan Kontrasepsi

Persyaratan kontrasepsi bagi buruh migran terutama perempuan kerap dilakukan perusahaan tanpa persetujuan maupun informasi yang jelas.

Pekerja Migran Ungkap Masih Hadapi Praktik Pemaksaan Kontrasepsi
Sejumlah Pekerja Migran Indonesia (PMI) menunggu pendataan oleh petugas BP3TKI saat tiba di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong, Kabupaten Sanggau, Minggu (27/5/2018). ANTARA FOTO/Reza Novriandi

tirto.id - Pekerja migran Indonesia, terutama perempuan, masih dalam bayang-bayang eksploitasi dan kekerasan seksual. Ketua Pimpinan Pusat Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI), Karsiwen, menyatakan masih banyak perusahaan perekrutan pekerja migran melakukan praktik suntik kontrasepsi kepada calon pekerja migran perempuan tanpa persetujuan dan pemberitahuan yang dipaparkan sebelumnya.

“Ini termasuk pemaksaan kepada pekerja perempuan yang seharusnya bisa memilih,” kata Iwenk, sapaan akrabnya, pada Tirto ketika ditemui di Jakarta Barat, Selasa (7/3/2023).

Iwenk menyebut, organisasinya telah melakukan wawancara pada enam orang pekerja migran perempuan pada tahun lalu dan memastikan praktik ini masih dilakukan oleh beberapa perusahaan.

“Kita lakukan wawancara enam orang, dari yang sudah menjadi pekerja tahun 2010, sampai yang baru masuk tahun 2022, dan praktik itu masih ada,” lanjut Iwenk.

Iwenk menyatakan kebanyakan pekerja migran perempuan tak menyadari bahwa praktik suntik kontrasepsi ini merupakan bentuk pemaksaan. Menurutnya, kebanyakan dari mereka hanya melihatnya sebagai persyaratan semata.

“Memang, masih banyak yang tak menyadari kalau ini termasuk pemaksaan. Kebanyakan dari mereka yang dari desa, tahunya ini kan hanya syarat. Terlebih jika tidak menuruti, perusahaan meminta ganti rugi dengan jumlah sesukanya kalau kita menyatakan pengunduran diri dari proses rekrutmen,” jelas Iwenk.

Menurutnya, perlu ada penegasan dalam penerapan hukum UU TPKS pasal Pemaksaan Kontrasepsi dan Sterilisasi. Ia memahami beberapa negara tidak menghendaki pekerja migran perempuan hamil, namun menurutnya hal itu tak membuat perusahaan serta-merta memaksakan suntik kontrasepsi kepada calon pekerja.

“KB kan ada pilihan, ada suntik, ada pil, ada pemakaian kondom dan sebagainya. Seharusnya perusahaan menyediakan pilihan sesuai kondisi tubuh perempuan masing-masing. Tiap perempuan punya hormon yang berbeda, ada metode yang membuat efek buruk kesehatan jika tidak cocok,” jelas Iwenk.

“Terlebih ada perusahaan juga yang tak memberitahukan dahulu itu suntik apa, dan tidak menjelaskan risikonya kepada pekerja. Mentang-mentang metode suntik paling murah dan cepat,” sambungnya.

Menanggapi keluhan ini, Komisioner Komnas Perempuan Satyawanti Mashudi menyatakan pihaknya telah melakukan kunjungan ke beberapa balai pelatihan atau asrama pekerja migran karantina. Ia menyatakan banyak dari mereka memang telah mengetahui persyaratan suntik kontrasepsi sebelum berangkat ke negara tujuan bekerja.

Namun Satyawanti menegaskan, praktik ini memang bisa berubah menjadi bentuk pemaksaan terhadap pekerja migran perempuan apabila tidak didasari oleh persetujuan dan informasi yang jelas.

“Kalau dalam konteks pemaksaan iya, karena dia harus bekerja mau tidak mau jadi pemaksaan kontrasepsi,” ujar Satyawanti dalam peluncuran Catahu Komnas Perempuan 2023 di Hotel Santika Hayam Wuruk, Jakarta Barat, Selasa (7/3).

Bentuk lain pemaksaan tersebut menurutnya ketika seorang perempuan harus menerima kontrasepsi atau ia terpaksa harus kehilangan pekerjaan. Ia menekankan dengan adanya UU TPKS semoga permasalahan ini bisa diselesaikan dan mendapat payung hukum yang jelas.

“Tahun 2022 kemarin ada UU TPKS di mana pemaksaan kontrasepsi sudah masuk. Maka hal ini sudah menjadi advokasi lebih jauh untuk pihak-pihak yang mewajibkan perempuan agar tidak hamil dengan kontrasepsi agar perempuan kehilangan kesempatan hamil, itu harus diperjuangkan,” kata Satyawanti.

Terkait adanya beberapa negara tujuan para pekerja migran yang tidak memperbolehkan mereka hamil selama masa kerja, Satyawanti menyatakan pihaknya akan melakukan mediasi dengan perusahaan rekrutmen pekerja migran dan juga para pekerja migran perempuan.

“Memang ada negara yang cukup ketat, yang mau tidak mau perempuan yang mau jadi pekerja migran harus melalui proses itu dan itu yang perlu duduk bersama. Komnas Perempuan dan dengan pekerja migran,” tutupnya.

Baca juga artikel terkait PEKERJA MIGRAN atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Restu Diantina Putri