Menuju konten utama

Pejabat dan Tokoh yang Pernah Mengungkit Istilah "Pribumi"

Anies Baswedan bukan penyelenggara pemerintahan yang pertama yang mengungkit soal istilah kata "pribumi".

Pejabat dan Tokoh yang Pernah Mengungkit Istilah
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberikan pidato politiknya di halaman Balaikota DKI Jakarta, Senin (16/10/2017). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

tirto.id - Anies Rasyid Baswedan berpidato untuk kali pertama di hadapan publik Jakarta pasca dilantik sebagai Gubernur DKI oleh Presiden Joko Widodo, Senin (16/10) kemarin. Dalam pidato berdurasi 22 sekitar menit itu banyak hal dibahas Anies, dari mulai soal sejarah Jakarta, kolonialisme, Pancasila, hingga masyarakat pribumi.

Untuk yang disebutkan terakhir akhirnya menimbulkan polemik karena sarat dengan sentimen SARA. Saat berita ini ditulis, cuitan yang mengandung kata "pribumi" di Twitter telah mencapai 90,5 ribu dan menjadi trending topic pertama.

Apa sebetulnya yang Anies bicarakan? Anies mengatakan, dulu semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Ia mengatakan ini dalam konteks penjelasan soal kolonialisme, bahwa dahulu ada penjajah yang mengeksploitasi "pribumi" untuk kepentingan mereka sendiri.

"Kini kita telah merdeka. Kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri," katanya.

Baca juga: Kata "Pribumi" yang Polemis dalam Improvisasi Pidato Anies

Dalam tataran legal-formal, sebetulnya telah ada aturan yang melarang penggunaan kata pribumi-nonpribumi, Instruksi Presiden (Inpres) No. 26 Tahun 1998 tentang menghentikan istilan pribumi dan nonpribumi, yang dikeluarkan oleh Presiden ke-3 Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie pada 16 September 1998.

Dalam Inpres itu disebutkan bahwa istilah pribumi dan nonpribumi harus dihentikan "dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan."

Anies yang merupakan cucu AR Baswedan, pendiri Persatoean Arab Indonesia (PAI) ini menjelaskan lebih jauh soal kenapa akhirnya kata pribumi yang dipakai untuk menyebut mereka yang melawan penjajahan di Jakarta. Menurut Anies, Jakarta merupakan kota dimana warganya paling merasakan penindasan di era penjajahan Belanda.

"Yang lihat Belanda jarak dekat Siapa? Orang Jakarta. Coba kita di pelosok-pelosok Indonesia, tahu ada Belanda? Kita lihat di depan mata nggak? Tapi yang lihat di depan mata itu kita yang di Jakarta," kata Anies di Balai Kota, Senin (16/10).

Namun, Anies juga bersikukuh bahwa istilah “pribumi” yang ia pakai tidak melanggar etika publik, serta tidak menyalahi Instruksi Presiden Nomor 26 tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program ataupun Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan.

"Pokoknya itu [kata "pribumi"] digunakan untuk menjelaskan era kolonial Belanda dan itu memang kalimatnya begitu," ujarnya.

Baca juga: Mitos-Mitos Tentang Pribumi

Anies bukan yang pertama membuat polemik soal istilah "pribumi". Beberapa kali pejabat publik lain mengatakan pernyataan serupa. Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti misalnya, pada Desember 2014 lalu sempat menyebut bahwa perikanan tangkap harusnya dikuasai pelaku usaha "pribumi".

"Saya menginginkan perikanan tangkap itu harus dikuasai para pemain pribumi dan kapal penangkapnya juga harus dibuat secara lokal untuk menghidupkan galangan-galangan yang ada," katanya di Maluku, sebagaimana dilaporkan Antara.

Awal tahun lalu, Susi kembali mengatakan bahwa dirinya akan mengeluarkan program yang berpihak pada "pengusaha pribumi", terutama para pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) bidang kelautan dan perikanan. "Supaya kuat," katanya. Ini merujuk seolah ada asumsi bahwa pengusaha lokal tidak pernah benar-benar siap berkompetisi dengan pengusaha internasional.

Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah juga mengucapkan hal serupa. Pada 2015 lalu pria yang lahir di Bone, Sulawesi Selatan ini pernah mengatakan agar publik tidak mencurigai penguasa pribumi. Konteksnya saat itu ada pengusaha pribumi yang bertemu dengan petinggi Freeport-McMoRan, James R Moffett.

Ketua Perhimpunan Pengusaha Tionghoa Surabaya, William Rahardja sempat mengatakan bahwa JK kerap menjelek-jelekkan pengusaha Tionghoa, bahkan di luar Indonesia sekalipun. "Pak JK sering kali menjelek-jelekkan pengusaha etnis Tionghoa. Bahkan di Malaysia, Pak JK juga melakukan hal itu. Padahal, sejak reformasi, di Indonesia sudah tidak ada lagi istilah pengusaha pribumi dan nonpribumi," kata William, seperti dilaporkan Antara pada 2009 lalu.

Megawati Soekarnoputri, Presiden ke-5 Indonesia, juga sempat menyinggung pribumi dalam Pidato Ilmiah penganugerahan Doktor Honoris Causa di bidang politik dari Universitas Negeri Padang (UNP) pada akhir September 2017. Mirip seperti Anies, ia membicarakan pribumi dalam konteks kolonialisme.

"Politik etis atau politik balas budi dimulai pada tahun 1901, yang seolah membuka akses pendidikan bagi rakyat pribumi. Padahal, maksud politik yang sebenarnya adalah agar kolonialisme tetap bertahan, dengan diperkuat oleh tenaga cakap pribumi yang dibayar dengan murah," katanya sebagaimana dikutip dari situs resmi PDI Perjuangan.

Baca juga: Pribumi Monyet dan Paradoks Kepribumian

Sejarawan Andi Achdian, mengatakan bahwa kata pribumi sebenarnya tidak melulu bermasalah. Kata pribumi, misalnya, memang kerap diungkapkan para akademisi dalam konteks menjelaskan penjajahan. Akademisi, katanya, menggunakan kata pribumi sebatas untuk menjelaskan realitas dibanding menggerakkan orang untuk melakukan sesuatu. "Itu kan beda," kata Andi kepada Tirto, Selasa (17/10/2017).

Namun ini jadi hal lain ketika pejabat publik yang bicara. Sebab apa yang diungkapkan mereka punya konsekuensi praktis. Satu contoh saja, ungkapan bernada rasis, misalnya, pernah mengakibatkan genosida etnis Yahudi oleh Adolf Hitler dalam periode Perang Dunia II.

Menurut Andi, ungkapan Anies bermasalah. "Saya paham yang dimaksud Anies adalah warga miskin Jakarta, tetapi (menggunakan kata pribumi) itu bermasalah. Kata pribumi bisa diganti dengan orang Indonesia," terang Andi.

Senada dengan pernyataan Andi, LBH Jakarta dalam keterangan resminya mengatakan bahwa mempertahankan istilah pribumi sama dengan mempromosikan terjadinya segregasi atau pengucilan sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Padahal, UUD 1945 pasal 27 dan 28D menyebut setiap warga negara setara di hadapan hukum.

"Kami berharap pidato Anies kemarin menjadi momentum bagi kita semua, terutama pejabat publik, termasuk presiden dan menterinya, untuk berhenti menggunakan istilah pribumi dan nonpribumi sebagaimana telah diinstruksikan pada awal reformasi," tulis LBH Jakarta.

Baca juga artikel terkait ANIES-SANDIAGA atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Politik
Reporter: Rio Apinino
Penulis: Rio Apinino
Editor: Zen RS