Menuju konten utama

Peduli Keselamatan Bumi? Jangan Tergoda Beli Ponsel Baru

Dalam menghasilkan pelbagai elemen sebagai bahan baku satu unit iPhone, rata-rata Apple membutuhkan 34 kilogram bijih mentah material-material bumi.

Peduli Keselamatan Bumi? Jangan Tergoda Beli Ponsel Baru
Tabel Periodik. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Pada 1958, setelah mengabdi sebagai prajurit militer Amerika Serikat, Jack Kilby bergabung dengan Texas Intruments untuk menjadi teknisi elektrik. Tempat kerjanya ini didirikan oleh Cecil H. Green tujuh tahun sebelumnya sebagai perusahaan yang memproduksi transistor, resistor, dan kapasitor atas lisensi yang dibeli dari AT&T senilai $25.000, atau sekitar Rp3,5 miliar dalam nilai saat ini. Kala itu, Texas Instruments tengah tumbuh pesat, menjadi tulang punggung pelbagai perangkat elektronik.

Saat itu, meski Texas Instruments memudahkan penciptaan pelbagai perangkat elektronik--terutama radio--namun masih ada proses yang rumit yang harus dilakukan klien-kliennya dalam menciptakan produk, yakni menggabungkan transistor, resistor, dan kapasitor sebagai satu kesatuan utuh melalui proses solder atau patri yang rumit dan berisiko.

Ini terjadi karena perangkat elektronik seperti radio tak dibentuk hanya dengan satu transistor, resistor, dan kapasitor semata, tetapi sangat banyak. Akhirnya menimbulkan problematika teknis bernama "tyranny of number".

Sebagai karyawan baru, Kilby sadar atas kerumitan itu dan menolak ikut serta dalam acara liburan perusahaan yang dilaksanakan tak lama setelah ia bergabung. Kilby memilih tinggal di kantornya, mengotak-atik transistor, resistor, dan kapasitor yang dibuat Texas Instruments untuk menjadi satu kesatuan utuh. Ia mencoba memecahkan "tyranny of number" guna membantu klien-klien perusahaannya bekerja lebih mudah, dan membuat perusahaannya tumbuh lebih pesat.

Pada pertengahan September, sesaat setelah rekan-rekannya pulang berlibur, Kilby berhasil memecahkan "tyranny of number" dengan menggabungkan transistor, resistor, dan kapasitor dalam kesatuan utuh bernama integrated circuit (IC) alias microchip. Menurut David S. Abraham dalam The Elements of Power: Gadgets, Guns, and the Struggle for a Sustainable Future in the Rare Metal Age (2015), kesuksesan ini terjadi karena "Kilby berhasil memilih material yang tepat untuk menggabungkan modul-modul tersebut."

Material yang digunakan Kilby bernama germanium (Ge) yang ditemukan oleh kimiawan asal Jerman, Clemens Alexander Winkler, pada 1886.

Penemuan IC, imbuh Abraham, membuat umat manusia memulai era baru: The Age of Rare Metal.

Kelangkaan Metal

"Benda-benda yang sebelumnya tak mengandung modul elektronik apapun, kini mengandung unsur elektronik," tulis David S. Abraham dalam The Elements of Power: Gadgets, Guns, and the Struggle for a Sustainable Future in the Rare Metal Age (2015).

Ia menambahkan, pada mainan anak-anak terlaris dekade 1980-an, misalnya, hanya Teddy Ruxpin (boneka) dan Lazer Tag (pistol-pistolan) yang mengandung modul elektronik. Namun, seiring ditemukannya integrated circuit (IC), hampir semua mainan yang dijual mengandung modul elektronik, memberikan fungsi tambahan yang sebelumnya tak tersedia.

Sebagai modul yang memberikan kemampuan logika berbasis binari pada sebuah benda, subjek utama IC tentu bukan mainan, melainkan TV, radio, kulkas, hingga komputer. Hal ini mendorong lahirnya pelbagai perangkat elektronik yang menakjubkan.

Tapi tentu IC bukan satu-satunya pondasi utama dalam pelbagai perangkat elektronik. Sebagaimana kisah Jack Kilby yang berhasil menciptakan IC dengan memanfaatkan germanium (Ge), pelbagai perangkat elektronik pun tercipta gara-gara pemilihan elemen metal yang tepat. Tanpa titanium (Ti) atau boron (B), misalnya, antena yang terpasang pada radio atau ponsel tak dapat bekerja. Atau tanpa tantalum (Ta) dan strontium (Sr), pelantang dan mikrofon tidak dapat digunakan untuk memanipulasi suara.

Kenyataan ini menegaskah bahwa pelbagai perangkat elektronik tak mungkin ada tanpa pelbagai elemen langka (rare metal). Elemen langka maksudnya adalah bahwa para penambang butuh menggali bumi sangat dalam dan menggunakan sangat banyak energi untuk menghasilkan, misalnya, neodymium (Nd).

Terdapat korelasi antara berkembangnya perangkat teknologi yang digawangi IC dengan kelangkaan pelbagai elemen metal. Perkembangan ini kian menjadi-jadi ketika Steve Jobs merevolusi dunia dengan menciptakan iPhone. Mendorong munculnya konsep terkini dari "smartphone", alat ajaib yang dapat digunakan untuk keperluan apapun.

Brian Merchant, editor Motherboard--kompartemen teknologi pada media Vice, dalam bukunya berjudul The One Device: The Secret History of the iPhone (2017), menyebut bahwa pada tataran paling dasar, iPhone adalah produk yang dihasilkan dengan mencampurbaurkan berbagai material Bumi.

iPhone 6 yang dibawa Merchant untuk dianalisis di firma konsultan bisnis tambang 911 Metallurgist, 24 persen dari total berat per unitnya adalah aluminium (Al). Lalu, terdapat material tungsten sebesar 0,02 persen dan 6 persen silikon (Si). iPhone juga mengandung emas (Au) sebesar 0,01 persen, timah (Sn), besi (Fe), lithium (Li), sulfur (S), serta 22 material lainnya yang menggenapkan berat total hingga 129 gram. Tak ketinggalan, tersemat pula yttrium (Y), neodymium (Nd), dan cerium (Ce).

Material yang menjadi bahan baku paling mendasar iPhone ini tidak dihasilkan oleh karyawan-karyawan Apple yang duduk manis di depan komputer di 1 Infinite Loop, Cupertino, AS, tetapi oleh para buruh kasar di negara-negara berkembang. Bahkan banyak di antara mereka berusia di bawah umur.

Timah yang digunakan untuk menyolder atau mematri modul-modul iPhone, misalnya, dihasilkan melalui tangan buruh-buruh kasar di pergunungan Cerro Rico, Potosi, Bolivia, yang mendapat upah hanya dari seberapa banyak mereka dapat menambang timah. Di saat paling beruntung, menambang timah dalam kuantitas besar maksudnya, buruh-buruh di Bolivia dapat menghasilkan uang hingga 50 dolar AS. Sayangnya, karena harus menambang semakin dalam ke perut bumi, tak jarang mereka memperoleh lelah semata atas kerja keras yang dilakukan.

Tak hanya di Bolivia. Timah yang digunakan Apple untuk memproduksi iPhone juga dihasilkan oleh buruh-buruh kasar di Bangka dan Belitung, Indonesia. Secara umum, Apple memperoleh material bumi untuk memproduksi iPhone dari tambang-tambang--selain Bolivia dan Indonesia--di Kongo, Mongolia, dan Chili.

Dalam menghasilkan pelbagai elemen sebagai bahan baku satu unit iPhone, rata-rata Apple membutuhkan 34 kilogram bijih mentah material-material bumi, yang membutuhkan 100 liter air untuk memprosesnya.

Infografik Mild Kandungan dalam Smartphone

Infografik Mild Kandungan dalam Smartphone. (tirto.id/Fuad)

Rata-rata di setiap satu unit iPhone, Apple memasang 0,034 gram emas sebagai konektor. dan saat ini terdapat 128 juta unit iPhone di dunia, artinya 24,752 ton emas telah dikeruk Apple dari perut bumi. Masalahnya, emas tak dihasilkan secara langsung, tetapi melalui proses pemurnian/pembersihan bijih emas, di mana tiap satu ton bijih emas rata-rata menghasilkan 1,4 gram emas. Artinya, untuk menghasilkan 24,752 ton emas dibutuhkan 17,68 giga ton bijih emas, setara dengan 0,00000000028 persen masa bumi.

Sialnya, hitung-hitungan ini baru sebatas iPhone. Belum termasuk pelbagai smartphone yang diproduksi Samsung, Xiaomi, dan lain sebagainya. Dan nahas, merujuk laporan berjudul "Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC berjudul Climate Change 2021: The Physical Science Basis" (2021), telah terjadi peningkatan karbon dioksida (CO2) sebesar 410 ppm (parts per million) di atmosfer setiap tahun sejak 2011. Terjadi pula peningkatan gas metan (CH4) dan dinitrogen monoksida (N2O) masing-masing sebesar 1.866 ppb (part per billion) dan 332 ppb per tahun.

Dengan kian mengepulnya gas rumah kaca di atmosfer, suhu permukaan bumi mengalami peningkatan 1,09 derajat Celsius antara 2011 hingga 2021, dibandingkan dengan peningkatan suhu yang terjadi pada 1850 hingga 1900. Suhu permukaan laut pun meningkat 0,88 derajat Celsius dalam rentang yang sama, membuat semakin mengikisnya es di Kutub Utara dan Selatan hingga tinggi permukaan lautan (sea level) meningkat rata-rata 3,7 milimeter per tahun. Peningkatannya jauh lebih tinggi dibandingkan 1901 hingga 1971. Ketika itu permukaan laut hanya meningkat 1,3 milimeter per tahun.

Artinya, pesatnya pertumbuhan smartphone menjadi mimpi buruk bagi bumi.

Memperpanjang usia pakai smartphone merupakan salah satu cara terbaik untuk menyelamatkan bumi. Tak perlu tergoda dengan jargon-jargon Apple ataupun Samsung yang seakan merengek meminta masyarakat mengganti ponsel setahun sekali.

Baca juga artikel terkait SMARTPHONE atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi