Menuju konten utama

PDIP dan Media Surya Paloh: Untung Didukung, Rugi Dirundung

PDIP dulu mengusung Jokowi dengan merangkul Partai Nasdem dan sumber daya pemberitaannya. Kini mereka tak senang dengan itu.

Presiden Joko Widodo (kanan) berjabat tangan dengan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh (kiri) dalam peresmian gedung Nasdem Tower di Menteng, Jakarta, Selasa (22/2/2022). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/hp.

tirto.id - Suatu hari sebelum Joko Widodo mengikuti perebutan kursi presiden di tahun 2014, Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri menelepon Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Pesannya singkat saja: anak buahnya di partai, yaitu Tjahjo Kumolo, Hasto Kristiyanto, dan Andi Widjajanto akan datang esok hari untuk menyampaikan sebuah pesan.

Pagi sekitar jam 10, tiga orang itu memang datang menemui Paloh. Mereka berterus terang bahwa kekuatan PDIP belum cukup untuk mampu mengusung Jokowi sebagai presiden dan berharap Partai Nasdem akan menambah daya gedor. Kendati Partai Nasdem waktu itu belum punya kursi di parlemen, PDIP tetap menaruh harapan kemenangan pada mereka.

Tak pikir panjang, Paloh langsung mengulurkan tangan. Mereka lantas berjabat tangan, menandakan bahwa Partai Nasdem setuju untuk mengusung Jokowi di Pilpres 2014.

Cerita ini dituturkan oleh Ketua DPP Partai Nasdem Willy Aditya dalam acara bincang “GASPOL” di Kompas.com pada November 2022 lalu.

Ketika itu publik sudah mengenal Paloh sebagai pebisnis, terutama di industri media massa. Dia adalah pendiri sekaligus pemilik televisi berita Metro TV. Partai Nasdem baru berdiri pada 2011, sementara Metro TV sudah muncul di layar kaca sejak 2001. Dalam naungan Media Group, pria kelahiran Banda Aceh tahun 1951 ini punya media lain seperti Media Indonesia dan Metrotvnews.com.

Media milik Paloh bahkan salah satu yang terbesar di Indonesia. Ross Tapsell dalam riset doktoralnya yang dijadikan buku berjudul Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens, and the Digital Revolution (2017) menyebut Media Group milik Surya Paloh adalah satu dari delapan perusahaan nasional yang melakukan konglomerasi media. Tujuh lainnya adalah CT Corp milik Chairul Tanjung; Global Mediacom milik Hary Tanoesoedibjo; EMTEK milik Eddy Kusnadi Sariaatmadja; Visi Media Asia milik Bakrie Group; Berita Satu Media Holding milik Keluarga Riady; Jawa Pos milik Dahlan Iskan; dan Kompas Gramedia milik Jakob Oetama.

“Perusahaan-perusahaan media global belum mendominasi pasar Indonesia dan bukan pendorong utama industri di Indonesia. Sebaliknya, konglomerat media nasional yang punya kuasa dan pengaruh,” catat Tapsell.

Kata kuncinya adalah “pengaruh”. Dan Jokowi merasakan betul soal itu.

Bawa Jokowi Menang

Ross Tapsell dalam artikel jurnal berjudul Indonesia’s Media Oligarchy and the Jokowi Phenomenon (2015) mengamati pengaruh media berhasil membuat Jokowi menjadi sorotan nasional. Sebelumnya pria kelahiran 1961 ini tidak banyak disorot. Aktivitasnya di Jakarta, menurut Tapsell, tidak “diikuti” oleh oligark media seperti Hary Tanoe atau Aburizal Bakrie.

Semua berubah setelah pertemuan yang diceritakan di bagian awal. Setelah itu, blusukan Jokowi mendapat tempat tersendiri di media milik Paloh.

Hasilnya baik sampai-sampai media lain, termasuk TVOne milik Aburizal Bakrie, ikut menguntit. Meskipun Bakrie mendukung Prabowo Subianto, tetapi didorong oleh keuntungan pemberitaan, medianya tidak bisa mengabaikan Jokowi begitu saja. Beberapa media juga melakukan hal yang sama.

Seorang petinggi Kompas bahkan mengatakan kepada Tapsell bahwa Prabowo dan Bakrie sempat mendatangi kantor mereka agar mendapat porsi pemberitaan yang sama dengan Jokowi.

Namun gaya blusukan tak terbendung. Jokowi unggul dalam berbagai survei pemilihan calon presiden periode 2014-2019. Tentu saja semua tak bisa dilepaskan dari dongkrak yang disediakan Media Group-nya Surya Paloh.

“Untuk menang, Jokowi harus bersekutu dengan oligark Orde Baru macam Wakil Presiden Jusuf Kalla dan bos media macam Surya Paloh, Dahlan Iskan (Jawa Pos), dan James Riady (Berita Satu),” catat Tapsell.

Dalam sebuah kesempatan, Paloh memang menyatakan siap memenangkan Jokowi di Pilpres 2014 dengan memanfaatkan seluruh jaringan yang dia miliki. “Harus diberdayakan sepenuhnya,” katanya.

Upaya ini kemudian dianggap melanggar aturan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) karena berlebihan. Jumlah tayangan mereka terhadap Jokowi dianggap timpang. KPI lagi-lagi melayangkan teguran pada Metro TV karena menayangkan umrah Jokowi dari awal sampai akhir.

Pada akhirnya, praktik konglomerasi media ini berdampak pada sempit dan terbatasnya ruang publik, demikian menurut Anggia Valerisha asal Universitas Parahyangan dalam artikel jurnal dengan judul Dampak Praktik Konglomerasi Media Terhadap Pencapaian Konsolidasi Demokrasi di Indonesia (2016).

Menurutnya “yang dilakukan oleh media sarat dengan kepentingan pemilik media yang notabene ikut dalam aktivitas politik.” “Media tidak lagi independen, objektif, jujur, dan netral menjalani perannya sebagai lembaga sirkulasi informasi bagi warga masyarakat sebagaimana yang diharapkan terjadi dalam demokrasi yang dewasa.”

Bulan Madu Selesai

Situasi kini jelas telah berubah. Minggu lalu PDIP mengadukan Media Indonesia dan Metro Tv ke Dewan Pers. Alasannya, dua media itu dianggap “media internal partai” dan merugikan PDIP. Integritas kedua media itu juga dipertanyakan karena disinyalir ada anggota DPP Partai Nasdem yang juga bekerja di redaksi.

Isu rangkap jabatan yang dilaporkan PDIP sebenarnya tidak hanya ditemukan di Partai Nasdem. Partai Perindo yang dinaungi oleh pemilik MNC Grup Hary Tanoe pun sama. Nama Syafril Nasution yang adalah Wakil Ketua Umum DPP Partai Perindo juga merupakan Direktur MNC Grup.

Salah satu juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin pada Pilpres 2019 bernama Usman Kansong. Pria yang menjabat sebagai Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo itu sampai tahun 2020 masih menjadi karyawan Media Indonesia.

Infogafik Pasang surut Nasdem Jokowi

Infogafik Pasang surut Nasdem Jokowi. tirto.id/Quita

Rangkap jabatan yang terjadi di Partai Perindo, Usman ketika terlibat dalam tim kampanye, lalu dukungan penuh media terhadap Jokowi pada 2014 lalu, tidak pernah jadi masalah bagi PDIP.

Sebagian pihak menduga PDIP memang bukan menyasar media massa yang seharusnya memberi tanggung jawab moral kepada publik, melainkan Partai Nasdem. Belakangan hubungan kedua partai tersebut renggang dan bahkan terlibat saling sindir pada Juni 2022. Terlebih lagi sejak Partai Nasdem mengusung Anies Baswedan untuk Pilpres 2024 dan salah satu kader menyebut Gubernur DKI Jakarta itu adalah antitesis Jokowi.

PDIP mengatakan tidak ada kepentingan politik di balik pelaporan itu. Semua murni kepentingan jurnalistik.

Terlepas dari politis atau tidaknya maksud PDIP, praktik jurnalisme partisan telah dikritik sejak lama. Pada 2014 lalu Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyebut “Surya Paloh adalah pemilik stasiun TV yang paling masif menjadikan media miliknya sebagai sarana politik. Aburizal Bakrie adalah tokoh politik dengan frekuensi dan durasi iklan tertinggi (152 kali). Hanura adalah partai dengan porsi pemberitaan tertinggi di RCTI (frekuensi, durasi, dan citra positif).”

Mungkin tidak bakal banyak yang berubah kecuali sekarang PDIP merasakan betapa ruginya dampak jurnalisme partisan pada partai mereka.

Baca juga artikel terkait MEDIA MASSA atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino
-->