Menuju konten utama

PAUD Digusur pada Jam Belajar, Anak Berisiko Alami Trauma

Cara kerja seperti ini tak boleh terjadi, anak-anak bisa mengalami trauma psikis.

PAUD Digusur pada Jam Belajar, Anak Berisiko Alami Trauma
Ilustrasi trauma pada anak. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - “Pak enggak bisa besok saja, atau tunggulah sampai jam 11, masak tidak mau.”

Seorang ibu mengeluh di depan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang berbaris di depannya, tapi mereka bergeming. Sementara, di belakangnya, para siswa berusia 4-5 tahun berjalan berbaris menjinjing tas dan bangku, keluar dari kelas. Saat itu, waktu masih menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Suasana belajar mengajar baru berjalan sekitar 15 menit lamanya.

“Ke musala, ayo jalan ke musala, biar kumpul di sana,” suara seorang pria memberi komando kepada anak-anak. Demikian terekam dalam video unggahan di Youtube.

Dalam rekaman itu pula, tampak dua mobil rombongan Satpol PP tiba-tiba saja datang, membawa langsung mobil beko, membuat Rabu, 17 Oktober 2018 menjadi hari yang membingungkan bagi sekitar 80-an siswa.

Selepas ruangan kelas kosong, Satpol PP sigap meratakan bangunan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Tunas Bina Taman Sari, Jakarta Barat. Bangunan yang terdiri dari TPA, Kelas A, dan Kelas B itu kabarnya masuk proyek revitalisasi Kota Tua. Mereka tak mau bernegosiasi sedikitpun atas penggusuran yang mengambil jam belajar anak-anak.

Dini, salah seorang wali murid yang berada di lokasi penggusuran, merasa tak menerima pemberitahuan penggusuran. Pimpinan Satpol PP, menurutnya, hanya berkoordinasi melalui RW setempat dan selanjutnya diteruskan RW ke guru PAUD Tunas Bina.

Penggusuran tak mendapat perlawanan. Anak-anak dengan rela membawa kursinya masing-masing menuju tempat persinggahan sementara. Sekarang, kegiatan belajar mengajar meminjam ruangan tempat ibadah di Kecamatan Taman Sari.

“Anak-anak belum ngerti, jadi ikhlas saja keluar sambil bawa bangku. Tapi saya jadi orangtua kesal sekali, mereka seperti tidak punya toleransi untuk tunggu bongkaran setelah jam pulang sekolah,” katanya.

Aksi penggusuran PAUD yang telah berdiri sejak tahun 2007 itu berbuntut penilaian ulang kinerja camat Taman Sari. Bahkan, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan telah mencopot jabatan camat tersebut. Keputusan Anies didasari Pasal 28 (2) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satuan Polisi Pamong Praja yang mengatur satuan ini berkoordinasi dengan camat atau instansi terkait.

Artinya, kejadian tersebut berada di bawah wewenang camat setempat. Pasal 20 PP No.16/2018 juga mengatur Satpol PP dalam melaksanakan tugas wajib menjunjung tinggi hak asasi manusia, selain UU, kode etik, serta nilai agama dan etika. Artinya, penggusuran PAUD Tunas Bina, jikapun tak terhindarkan, seharusnya dilaksanakan setelah jam belajar usai.

Kepala Satpol PP DKI Jakarta, Yani Wahyu saat dikonfirmasi pada 2 November 2018 lalu menyatakan sedang tidak bertugas dan meminta saya menghubungi Pelaksana Harian. Namun saat diminta nomor kontak yang bisa dihubungi, Yani mengabaikan permintaan tersebut, pesan yang dikirimkan kepadanya pun tidak terbalas.

Klik, telepon ditutup.

Sepekan kemudian (9/11/2018), saya menghubungi Wakil Kepala Satpol PP DKI Jakarta, Hidayatullah pada pukul 18.13 sore. Namun, telepon dimatikan dengan alasan sudah masuk waktu salat, saat dihubungi lagi pada pukul 19.00 WIB sambungan telepon masuk nada sibuk. Pesan yang kami kirimkan dibalas dengan informasi bahwa dirinya telah pensiun tiga bulan lalu, dan belum memiliki pengganti hingga sekarang.

Trauma Anak

Henny Rantu (57), pendiri PAUD, menyatakan sudah menerima surat penertiban. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 54 Tahun 2011 tentang Standar Operasional Prosedur Satuan Polisi Pamong Praja menyebut adanya surat peringatan pertama hingga ketiga sebelum dilakukan penggusuran.

Hanya saja, Henny tidak menyangka penggusuran dilakukan pada jam belajar anak, sebab kesepakatan sebelumnya menyatakan penertiban akan dilakukan sampai PAUD mendapat ruang pengganti sementara.

Dini mengaku sang anak, Dani, tidak trauma, tapi sang adik, Risa, yang masih berumur empat tahun justru ketakutan. Dani dan Risa terpaut jarak umur dua tahun. Kini, setiap melihat Dani pergi sekolah, Risa seringkali menangis, mengatakan ia tak mau sekolah. Padahal, tahun depan orangtuanya berencana mendaftarkan Risa ke PAUD.

“Aku enggak mau sekolah, nanti sekolahnya digusur kayak Dani,” rajuknya.

Dilansir Laman American Psychological Association (APA), terdapat banyak hal yang bisa membikin anak mengalami trauma. Termasuk perubahan kondisi di lingkungan sosialnya. Dalam fase pemulihan traumatis, rata-rata anak akan mengalami gangguan dan perubahan perilaku sebagai upaya adaptif mengatasi trauma.

Beberapa gangguan tersebut termasuk kecemasan, gangguan tidur seperti mimpi buruk, sedih, marah, kehilangan minat terhadap aktivitas sehari-hari, dan kurang konsentrasi.

“Faktor pengaruh trauma pada anak bisa meliputi kekerasan (fisik dan mental) di lingkungan sekolah, sosial, maupun keluarga, pelecehan, perang, perpisahan/kematian, trauma medis, bunuh diri, dll,” papar APA.

Infografik Trauma Pada Anak

APA memaparkan perkiraan tingkat trauma anak akibat kekerasan masyarakat berkisar 39-85 persen. Lalu, trauma akibat menjadi korban kejahatan (viktimisasi) meningkat hingga 66 persen, sementara tingkat paparan trauma terhadap pelecehan seksual, serta trauma umum lainnya, diperkirakan 25-43 persen.

Ras dan etnis, status kemiskinan, dan jenis kelamin mempengaruhi risiko anak terpapar trauma.

“Anak laki-laki lebih banyak terpapar trauma dibanding anak perempuan, begitu juga dengan anak yang hidup di bawah garis kemiskinan,” tulis laman tersebut..

Meski terpapar peristiwa traumatik dan mengalami masalah adaptasi jangka pendek, sebagian besar anak akan kembali normal. Namun, perlu dicatat bahwa ada sebagian lain yang mengalami gejala psikologis akut, termasuk gejala PTSD. Kebanyakan dari anak golongan ini teridentifikasi tidak mendapat penanganan pasca trauma.

APA menyarankan anak-anak yang terpapar peristiwa traumatis untuk mendapat perhatian lebih bahkan pendampingan klinis jika diperlukan. “Kualitas hubungan terapeutik antara terapis, anak, dan orang tua/pengasuh adalah fondasi perawatan trauma.”

Baca juga artikel terkait TRAUMA ANAK atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani