Menuju konten utama

Paspampres Perempuan, Perisai Nyawa Para Ibu Negara

Bagi mereka, nyawa pihak yang diamankan jauh lebih berharga ketimbang nyawanya sendiri.

Paspampres Perempuan, Perisai Nyawa Para Ibu Negara
Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto (kedua kiri) mendapat pengawalan dari personil wanita Paspampres usai Apel Bersama Memperingati Hari Kartini Tahun 2018 di Lapangan Silang Monas, Jakarta, Rabu (25/4). ANTARA/Widodo S Jusuf

tirto.id - Seorang perempuan dengan setelan baju olahraga muncul di hadapan Debora, membentuk sikap sempurna, memberi salam kemiliteran. Ia membalasnya dengan senyum simpul, tanda menerima salam dari sejawatnya. Debora lalu melanjutkan obrolan yang sempat terjeda bersama saya. Adegan serupa beberapa kali terjadi di sela-sela perbincangan selama satu jam di Mes Korps Wanita Angkatan Darat (Kowad), Tanah Abang, Jakarta.

Debora Susilowati Sembiring adalah anggota Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) Indonesia. Perempuan asli Medan, Sumatera Utara ini berpangkat sersan satu di Kowad. Beberapa waktu lalu, rekam gambar dirinya, sempat wara wiri di layar kaca dan media sosial, sebagai salah satu Jokowi's Angel.

“Itu pertama kalinya mengawal presiden dalam peringatan Hari Kartini. Pak Jokowi yang minta,” katanya.

Selama ini, Debora lebih banyak ditempatkan untuk pengamanan para isteri presiden dan wakilnya. Ia sudah menjalani rutinitas itu sejak tahun 2011. Tugas perdananya mengawal Herawati, istri dari Budiono yang saat itu menjabat sebagai wakil presiden. Kini, ia kebagian menjadi perisai hidup Mufidah Jusuf Kalla, isteri wakil presiden Jusuf Kalla.

Untuk menjadi seperti sekarang, kariernya tak dibangun dengan mudah. Sembilan tahun ke belakang, butuh perjuangan berdarah-darah sebelum akhirnya Debora ditarik menjadi salah satu dari 80 orang paspampres perempuan. Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan paspampres laki-laki sebanyak 3000 personel.

Pada 2009, Debora pertama kalinya mengikuti seleksi masuk Kowad. Sayang di tahun itu keberuntungan belum menyertai anak dari seorang petani kecil di pelosok Medan ini. Di tahun berikutnya, ia mencoba seleksi yang sama berbekal uang tabungan, hasil jadi buruh di sawah-sawah dan toko milik orang

“Saya harus bersaing dengan ratusan peserta lain, per kodam hanya diambil delapan orang.”

Susah payah ia berjuang lolos dari sembilan tahapan seleksi. Apalagi rival-rivalnya menyewa pelatih khusus untuk persiapan seleksi fisik seperti lari dan renang. Tapi ia tidak, keterbatasan biaya membuat Debora harus gigih melatih dirinya sendiri. Uangnya mesti dihemat, guna keperluan administrasi, transportasi, dan biaya hidup selama di Medan kota.

Untungnya, di tahun kedua ini perjuangannya terbayar. Debora tersaring masuk menjalani pelatihan di Pusat Pendidikan (Pusdik) Kowad Bandung. Nilai-nilai cemerlang saat seleksi dan selama pendidikan menghantarkannya menjadi Paspampres. Dari 20 orang yang tersaring di tahap pertama, mereka kembali diseleksi dan delapan orang harus digugurkan.

“Seperti mengulang tes masuk Kowad, ada psikotes, penyegaran jasmani, lari, sit up, push up, renang, dan tes kesehatan,” ujar Debora, telunjuk kanannya membuka satu per satu jari di tangan kiri, menghitung tahapan seleksi yang ia lalui.

Si Perisai Hidup yang Multi-talenta

Tak ada yang membedakan antara paspampres laki-laki ataupun perempuan. Mereka sama-sama harus rela menomorduakan nyawa demi pihak yang dikawal. Tugasnya melakukan pengamanan fisik jarak dekat kepada presiden, wakil presiden, mantan presiden dan wakil presiden, serta tamu negara setingkat kepala negara/pemerintahan beserta keluarganya.

Ada beberapa pengamanan yang dilakukan paspampres dalam operasi pengamanan. Diantaranya, pengamanan langsung jarak dekat, pengamanan instalasi yang digunakan oleh objek, pengamanan dalam perjalanan, makanan, medis, hingga penyelamatan objek dalam kondisi darurat. Karena harus mengemban tugas berat, paspampres diambil dari anggota terbaik TNI, baik AD, AL, maupun AU.

Namun, khusus masa tugas paspampres perempuan, dibatasi hanya sampai mereka menikah. Setelah itu, tugasnya dimutasi ke bagian staf keadministrasian. Kebijakan ini dimaksudkan untuk meringankan beban pekerjaan perempuan. Apalagi jadwal pengawalan tak bisa ditawar dan tak dapat diprediksi.

Ada beberapa kualifikasi yang harus dimiliki para anggota paspampres seperti Debora. Mereka harus memiliki kecerdasan seimbang antara psikis dan fisik dengan IQ tergolong cukup hingga cerdas. Mereka juga mesti lihai membaca bahasa tubuh dan mahir berbahasa inggris.

Kemampuan fisiknya diukur dari kemampuan menyelam tanpa alat bantu, berenang hingga jarak 500 meter, berjalan cepat sejauh 1 km dalam hitungan 7 menit, jago menembak, dan bela diri. Untuk mengasah semua kemampuan tersebut, biasanya mereka akan melakukan latihan setiap pagi di sela-sela jadwal dinas.

“Lari, sit up 40 kali, push up minimal 28 kali, renang, nembak, simulasi pengamanan.”

Anggota-anggota paspampres ini lazimnya menghabiskan waktu selama 1x24 jam ketika sedang berdinas. Mempertaruhkan nyawa mereka demi kenyamanan dan keamanan objek dari gangguan sekecil apapun. Tak jarang, padatnya rutinitas pengawalan membuat mereka kurang tidur. Jika sudah begini, jurus-jurus bela diri jadi sering dikeluarkan untuk mengusir rasa kantuk.

Semula Debora sempat enggan ditempatkan menjadi paspampres. Pikirnya, ia akan jadi jarang pulang ke kampung halaman. Bayang-bayang ibu dan saudara-saudaranya membikin Debora ingin ditempatkan di Medan. Namun, tujuh tahun berkarir menjadi paspampres malah membuatnya jadi merasa beruntung.

Infografik Paspampres perempuan

Pengalaman mengawal tokoh-tokoh penting negara memberikan wawasan tambahan kepada Debora. Selain bisa berkeliling tiap daerah di Indonesia dan bertemu dengan orang-orang yang berbeda. Ia belajar, bahwa, meski paspampres identik dengan kegarangannya, mereka harus tetap bersikap lemah lembut kepada masyarakat.

Di sinilah kecerdasan emosionalnya diuji. Paspampres tak diperkenankan membentak atau melakukan kontak fisik kasar ketika pengawalan. Seringkali ia harus berhadapan dengan antusiasme masyarakat saat bertemu dengan pemimpin negara.

Situasi seringkali kisruh saat masyarakat berdesak-desakan minta foto bahkan merangkul objek pengawalan. Di saat itulah, Debora harus menggunakan kelihaiannya dalam membaca bahasa tubuh dan menggunakan kecerdasan berbahasanya.

“Harus sigap, tegas, tapi juga lemah lembut. Intinya humanis.”

Sejak awal pendidikan menjadi paspampres, ia memang sudah diberi pembekalan cara-cara menghadapi berbagai situasi pengamanan. Jangankan masyarakat, mereka juga harus siap pasang badan terhadap ancaman terorisme pada objek. Debora dan paspampres lainnya punya prinsip: nyawa pihak yang diamanankan jauh lebih berharga dibanding nyawa mereka sendiri.

Baca juga artikel terkait PASPAMPRES atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani