Menuju konten utama

Pasca-Tragedi Susur Sungai, Ekstrakurikuler Pramuka Harus Berbenah

Kegiatan Pramuka seringkali disisipi kekerasan verbal atau fisik alih-alih melatih mental.

Pasca-Tragedi Susur Sungai, Ekstrakurikuler Pramuka Harus Berbenah
Sejumlah anggota Pramuka menampilkan Tarian Indonesia Menari bersama dalam rangka memperingati Hari Pahlawan di Tugu Gajah Bandar Lampung, Lampung, Minggu (10/11/2019). ANTARA FOTO/Ardiansyah/hp.

tirto.id - Jumat (21/2/2020) lalu, sepuluh siswi SMPN 1 Turi, Sleman, Yogyakarta menjadi korban jiwa akibat kegiatan susur sungai di Sungai Sempor. Sebanyak 249 siswa secara bersamaan turun ke sungai saat cuaca sedang hujan tanpa alat pengaman berupa tali, helm, atau pelampung.

Pembina yang hanya berjumlah tujuh orang jelas kewalahan mengawasi banyaknya siswa yang digulung arus deras sungai. Sementara tiga orang pembina justru absen turun ke sungai, sehingga akibat kelalaiannya, mereka ditetapkan sebagai tersangka. Pasca-tragedi, kontroversi tentang kegiatan kepramukaan mencuat.

Ada pihak-pihak yang menganggap ekstrakurikuler ini kurang bermanfaat dan lebih banyak “menyiksa” ketimbang membentuk karakter anak. Bahkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengusulkan pramuka dievaluasi. Menurut KPAI, ketika dipaksakan esensi pramuka untuk membentuk kompetensi sosial siswa akan rusak.

“KPAI mendorong Kemendikbud mengevaluasi kebijakan yang menjadikan pramuka wajib, bahkan mempengaruhi kenaikan kelas,” ujar Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti dalam rilis yang diterima Tirto, Sabtu, (22/2/2020).

Berdasar Permendikbud No. 63 Tahun 2014 (PDF) pendidikan pramuka memang menjadi ekstrakurikuler wajib bagi jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK. Aturan tersebut mencantumkan beberapa manfaat dari pendidikan kepramukaan diantaranya timbul rasa memiliki, saling tolong menolong, mencintai tanah air, dan mencintai alam (hlm. 2).

Bisa jadi karena representasi dari aturan inilah siswa SMP 1 Turi merasa terbebani kewajiban mengikuti pramuka dan tak berani menolak saat diminta menyusuri sungai. Jika tidak, maka bayang-bayang tinggal kelas mengancam mereka.

Yang Mereka Katakan Soal Pramuka

“Di pramuka aku diajarkan hidup sederhana dan bisa beradaptasi dengan alam.”

Tesalonika, 17 tahun, siswi di salah satu sekolah menengah atas Bekasi berkisah pernah memimpin kelompok sangga pramuka selama dua tahun. Ia juga sempat menjadi panitia dalam kegiatan perkemahan Sabtu-Minggu. Secara pengalaman, Tesa kenyang mengorganisir kegiatan dan bernegosiasi dengan beragam karakter orang. Pramuka membantu membentuk dirinya menjadi pribadi mandiri dan berani.

Setiap dua minggu sekali di hari Jumat, semua siswa di sekolahnya wajib mengikuti kurikulum kepramukaan. Biasanya mereka belajar beragam ilmu pramuka seperti asal-usul, tali-temali, menggunakan beragam sandi dan semapur, serta pengetahuan umum soal bertahan hidup di alam.

“Pramuka jadi menyenangkan kalau tidak ada paksaan dan ancaman,” kata Tesa, seolah mengabarkan bahwa sebagian rekannya berat hati mengikuti ekstrakurikuler ini.

Bagi Tesa akan lebih relevan jika aturan wajib soal pramuka hanya diberikan kepada anak sekolah dasar, sebagai bekal berorganisasi dan bersosialisasi. Sementara untuk tingkat sekolah menengah, cukup dijadikan ekstrakurikuler pilihan dibanding harus memberi ancaman tinggal kelas. Karena toh, meski ada ancaman, masih banyak rekannya yang diam-diam membolos saat pramuka.

“Saya rasa anak SMP-SMA mulai paham minat dan bakatnya. Kalau diwajibin, malah tidak efisien, hanya buang waktu dan tenaga siswa maupun guru, karena banyak yang tidak mau diatur saat ekskul.”

Selain membantu membentuk karakter anak, dengan kurikulum pramuka yang tepat, mereka juga diajarkan cara-cara bertahan hidup di situasi mendesak. Edenia Chintya Nagari, 17 tahun, siswi di sekolah menengah lain, Klaten, bercerita pernah memasak menggunakan kayu saat berkemah di alam.

“Kami paham cara aman menyebrang sungai berarus deras, mendaki bukit terjal, membuat tenda sederhana, dan melakukan pertolongan pertama pada luka,” ungkap Eden. Dari pramuka, Eden mengaku memiliki banyak teman dan menjajal pengalaman anyar.

Mirisnya, terkadang kegiatan ini dibumbui improvisasi kurang relevan dari pembina. Seperti misalnya melakukan jurit malam dengan menambah properti hantu gadungan. Ada pula pembina atau senior yang melakukan kekerasan verbal dan fisik dengan dalih melatih mental.

“Ya kadang berbau senioritas, kebanyakan marah-marah doang, kadang dibentak jadi nggak enjoy. Pengajarnya seperi kurang persiapan/materi.”

Beban Kewajiban Ikut Pramuka

Sejak kurikulum pendidikan 2013 alias K-13 ditetapkan, resmi sudah aturan kepramukaan wajib dilaksanakan jenjang pendidikan 12 tahun. Tapi tak banyak sekolah memahami bahwa kewajiban pelaksanaan pramuka bisa dipilah dalam tiga metode berbeda. Sekolah tak perlu menggelar aktivitas kepramukaan saban minggu.

Permendikbud No. 63 Tahun 2014 (hlm. 6) menyebut pramuka bisa dipilih antara model blok, aktualisasi, dan reguler. Model blok dilakukan dengan cara menggelar latihan pramuka setahun sekali. Kemudian dengan model aktualisasi siswa mendapat materi kepramukaan selama dua jam per minggu. Terakhir sistem reguler yang diperuntukkan hanya untuk siswa yang memiliki minat di kegiatan ini.

Artinya secara de jure kegiatan pramuka bersifat fleksibel dan bisa disesuaikan dengan kondisi sekolah masing-masing. Tapi permendikbud tidak tersosialisasikan dengan baik. Banyak pihak, termasuk KPAI dan sekolah-sekolah, salah menginterpretasikan kata “wajib” dalam aturan tersebut.

“Bahkan ada yang mewajibkan memakai seragam pramuka di hari-hari tertentu, padahal tidak ada tertulis seperti itu,” kata Kepala Pusat Informasi Nasional Gerakan Pramuka Guritno kepada Tirto, Rabu (26/2/2020).

Selain masalah salah interpretasi, Guritno juga menyoroti minimnya kompetensi pembina pramuka. Ia mengamini terdapat sebagian pembina yang tidak memahami materi kepramukaan, bahkan tidak mengikuti kursus kepembinaan hingga tingkat lanjut. Seperti pembina SMP 1 Turi, mmisalnya, yang hanya ikut kursus kepembinaan dasar.

Infografik Ekstrakurikuler Pramuka

Infografik Ekstrakurikuler Pramuka. tirto.id/Quita

Padahal, menurut Guritno, pendidikan kepramukaan selalu berkembang, sehingga pembina harus memperbaharui ilmu kepramukaan agar tetap relevan. Kursus pembina secara periodik mengajarkan tata cara mengajar beserta manajemen risiko ketika melakukan kegiatan alam.

“Jadi begitu melakukan kegiatan alam, peserta lebih dulu diberi pembekalan apa yang harus diperhatikan dan dilakukan ketika berada dalam situasi-situasi tertentu.”

Melihat tragedi SMP 1 Turi, Guritno berani mengatakan pembina kegiatan tersebut tak memiliki persiapan, apalagi manajemen risiko. Terbukti para siswi dibiarkan tetap memakai rok meski melakukan aktivitas lapangan. Bahkan sebelum acara berlangsung, mereka tidak berkoordinasi dengan pihak kwatir cabang, padahal jelas kurang personil pengaman.

“Idealnya satu pembina mengawasi 10 anak, maksimal 20. Lalu ada yang mengawasi di hulu sungai untuk mengamati debit air sungai. Tapi semua tidak dilakukan.”

Pada akhirnya memang bukan pramuka yang patut disalahkan atas tragedi SMP 1 Turi. Semua kembali pada kompetensi pembina dan sekolah yang mau beradaptasi dengan kondisi siswa. Sama seperti matematika, sejarah, atau ilmu lain, bisa jadi asyik atau malah membosankan, tergantung bagaimana cara guru mengajar siswanya.

Baca juga artikel terkait PRAMUKA atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Windu Jusuf