Menuju konten utama

Pasar Otomotif Indonesia Lesu, Kok Hyundai Tetap Mau Investasi?

Penjualan mobil sepanjang Januari hingga Oktober 2019 minus 11,8 persen dibandingkan tahun lalu. Lantas kenapa Hyundai mau investasi Rp21,8 triliun?

Pasar Otomotif Indonesia Lesu, Kok Hyundai Tetap Mau Investasi?
Euisun Chung, Executive Vice Chairman of Hyundai Motor Group; Joko Widodo, President of Indonesia. FOTO/Hyundai Motor

tirto.id - Hyundai Motor Company siap menginvestasikan duit 1,55 miliar dolar AS atau setara Rp21,8 triliun untuk mendirikan pabrik di kota industri Deltamas, Bekasi, Jawa Barat. Komitmen itu diikat dalam nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) dengan pemerintah Indonesia yang diteken di Ulsan, Korea Selatan, Selasa (26/11/2019) lalu.

Hadir dalam pertemuan itu Presiden RI Joko Widodo, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia, Presiden Hyundai Motor Company Lee Won-hee, dan Executive Vice Chairman Hyundai Motor Group Chung Euisun.

Rencana produsen mobil terbesar asal Korea Selatan ini nampak sangat terukur. Dilaporkan Koreatimes, lahan pabrik disebut akan dibuka pekan depan, dan pabrik akan mulai beroperasi pada akhir 2021. Pada tahap pertama, kapasitas produksi pabrik sebanyak 150 ribu unit mobil per tahun dan meningkat terus menjadi 250 ribu.

Selain LMPV--segmen terbesar di pasar mobil Indonesia--pabrik ini juga akan memproduksi kendaraan listrik.

"Hyundai Motor akan sepenuhnya selaras dengan kebijakan pemerintah Indonesia tentang mobil ramah lingkungan dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi," kata Chung Euisun.

Meski prospek mobil listrik di Indonesia cukup menjanjikan, keputusan Hyundai terbilang cukup berani. Sebab, industri otomotif dalam negeri tengah mengalami perlambatan.

Mengutip data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan wholesalses 31 merek mobil sepanjang Januari hingga Oktober 2019 minus 11,8 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.

Kondisi demikian akhirnya membuat Chevrolet, yang bergerak di bawah General Motors dari Amerika Serikat, memutuskan hengkang usai berhenti berproduksi sejak 2015. Setelah Chevrolet, produksi mobil Datsun—di bawah bendera Nissan—juga dikabarkan bakal berhenti per Januari 2020.

Alasan dua perusahaan tersebut kurang lebih sama: sulit bersaing dari sisi penjualan.

Penjualan wholesales Chevrolet turun sepanjang hingga Oktober 2019 hanya mencapai 992 unit. Capaian ini anjlok sebesar 51,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2018 yang mencapai 2,048 unit.

Sementara untuk produk Datsun, Gaikindo mencatat adanya penurunan penjualan sebesar 39 persen dari 9.701 unit pada Januari-Oktober 2018, menjadi 5.921 unit hingga Oktober tahun ini.

Lantas, bagaimana dengan Hyundai?

Di Indonesia, mereka berstatus juara ke-17 dengan penjualan wholesales sebanyak 1.177 unit atau 0,1 persen dari pangsa pasar.

Meski bertitel semenjana, bagi Direktur Eksekutif Center or Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal, prospek bisnis Hyundai di Indonesia masih cukup positif. Soalnya, dibandingkan merek lain, penjualan Hyundai hingga saat ini masih relatif stabil dan hanya turun 0,3 persen dari periode sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 1.181 unit.

Peluang mereka untuk meningkatkan penjualan juga makin jembar usai Chevrolet berhenti berproduksi. Pangsa pasar yang ditinggalkan Chevrolet sama dengan Hyundai yang mengandalkan teknologi tinggi dan menyasar pasar menengah atas.

Apalagi, investasi Hyundai diarahkan salah satunya untuk pengembangan mobil listrik yang belum dikembangkan produsen asal Jepang di Indonesia.

"Ini sektor yang tidak dimiliki Jepang. Ini yang ditembak Hyundai," kata Faisal saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (27/11/2019).

Kepentingan Hyundai

Di luar potensi pasar, lobi pemerintah juga jadi salah satu faktor pendorong goal-nya kesepakatan investasi tersebut. Indonesia cukup jor-joran menggaet investor asing karena tak mau tertinggal dari Thailand dan Vietnam.

Kepentingan Indonesia nampaknya sejalan dengan Hyundai untuk menghadapi dominasi Jepang di pasar Indonesia dan ASEAN.

Lewat keterangan resminya, Hyundai mengatakan bahwa pembangunan pabrik akan mendorong pertumbuhan penjualan ke ke pasar-pasar baru Asia Tenggara, serta "membantu bisnis memerangi perlambatan permintaan di pasar otomotif global."

Masuknya Hyundai juga dipermulus dengan perjanjian Indonesia-Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement (IK-CEPA) yang diteken Indonesia, Senin (25/11/2019) lalu. Melalui perjanjian itu, Hyundai menikmati bea masuk impor nol persen.

Belum lagi, pemerintah telah menyiapkan berbagai insentif pajak bagi investor yang ingin masuk untuk pengembangan mobil listrik.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 150/ 2018, investasi pada industri kendaraan bemotor di atas Rp30 Triliun bisa menikmati tax holiday atau pembebasan PPh Badan selama 20 tahun.

"Untuk fasilitas [pajak] yang digunakan sementara masterlist BKPM, berupa pembebasan bea masuk dan biasanya digunakan dalam rangka pembangunan industri," ujar Kepala Humas Bea Cukai Deni Surjantiro.

Wakil Ketua Umum Kadin, Johnny Darmawan, mengatakan rasio kepemilikan mobil di Indonesia baru menyentuh 87:1.000—lebih rendah dari Thailand yang mencapai 230 kendaraan per 1.000 orang.

Artinya, meski penjualan menunjukkan perlambatan, bilang potensi pasar otomotif Indonesia masih besar 2-3 tahun ke depan.

"Kenapa Hyundai mau? Ya bangun pabrik kan enggak satu tahun. Bisa 2-3 tahun. Bisa aja 2-3 tahun lagi pasar mobil booming lagi. Pas kan, dia," ucap Johnny kepada reporter Tirto, Rabu (27/11/2019).

Baca juga artikel terkait INDUSTRI OTOMOTIF atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana