Menuju konten utama

Pasar Glodok, Sentra Ekonomi Jakarta, Sekarat di Usia Senja

Lebih dari 30 persen pemilik kios cabut dari Pasar Glodok. Sebagian pedagang gagap teknologi di tengah era pasar online.

Pasar Glodok, Sentra Ekonomi Jakarta, Sekarat di Usia Senja
Lampu terang dan ramai dagangan hanya tampak di lantai dasar Pasar Glodok, Jakarta, Senin (14/8). Tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Pada 1629, di masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) alias kongsi dagang Hindia Belanda, orang-orang Tionghoa mulai bermukim secara terpusat di Glodok. Mereka bagian dari minoritas yang kerap diawasi.

Keberadaan mereka justru menjadi pemicu gairah perekonomian—selain target diskriminasi dalam setiap pergolakan politik dari masa ke masa. Tak heran kawasan itu lantas berkembang dan identik sebagai sentra elektronik dan kuliner. Ia menyedot para migran ekonomi selama ratusan tahun untuk mengadu nasib sebagai pedagang, yang tersebar di Plaza Glodok, Pasar Glodok, Harco Glodok, dan Mangga Dua Square.

Pada 14 Mei 1998, gelombang kerusuhan melumpuhkan salah satu sentra ekonomi Jakarta tersebut. Barang dagangan di kawasan Glodok dijarah, lalu diluluhlantakkan dengan cara dibakar. Meninggalkan gedung-gedung gosong yang dibiarkan kosong—jejak dari prahara 1998. Namun, beberapa tahun kemudian, sebagian pedagang bersikukuh membuka lapak di area yang hangus terbakar tersebut.

Baca juga:

Pada 2001, Pasar Glodok, yang juga dikenal sebagai Glodok City, diambil alih pemerintah daerah DKI Jakarta sebagai unit pasar besar untuk direkonstruksi. Pedagang Tionghoa ramai-ramai berpindah ke pasar itu. Sepasang Liong Samsi atau hewan singa dipajang di pintu masuk utama—menyiratkan simbol rasa aman dan nyaman. Bank DKI Jakarta menjadi satu-satunya penyewa besar.

Pada awal 2013, masih dalam bayangan horor 1998, Pasar Glodok kembali jadi target aksi teror oleh kelompok Aman Abdurrahman. Nama terakhir adalah pemimpin Jamaah Ansharut Daulah (JAD)—disebut-sebut berafiliasi dengan Negara Islam Irak (ISIS)—yang dibui pada 2010 atas keterlibatannya dalam jaringan teror di Aceh Besar dan baru-baru ini ditetapkan oleh kepolisian Indonesia atas perannya dalam serangan Thamrin, 14 Januari tahun lalu.

Aksi teror di Glodok, yang direncanakan oleh tiga belas orang, itu bisa ditangkal oleh Polri setelah bahan kimia racikan sebagai bom yang dipasang di beberapa titik strategis gagal meledak.

Hingga kini, Glodok tak lepas dari bayang-bayang teror. Menjadi hal lumrah jika lusinan pedagang Pasar Glodok, yang saya temui beberapa kali, memilih diam saat ditanya mengenai peristiwa kekerasan masa lalu.

Baca juga:

Lepas dari aksi teror, dari tahun ke tahun, kawasan ekonomi Glodok tak pernah kembali mencapai kejayaannya seperti sebelum 1998.

Dedi, misalnya. Sejak menjadi pedagang Toko Game Astro di lantai 4 Pasar Glodok tak pernah mencicipi kejayaan penjualan lagi. Sebelumnya, ketika berjualan di Harco Glodok, Playstation dagangannya laku keras. Saat saya mendatangi kiosnya, tengah hari Selasa, 8 Agustus lalu, tak ada satu pun konsumen. Ia kini hanya mengandalkan konsumen yang loyal.

“Sepi. Tapi masih ada sajalah langganan,” ungkapnya.

Baca juga:

Begitu juga Akiong, 31 tahun, yang membuka kios ponsel dan aksesoris di lantai 1. Meski jual-beli kerap diiringi tawar-menawar, tapi dalam sehari, konsumen yang datang tak lebih dari lima orang.

Saman, bukan nama sebenarnya, sejak tiga tahun lalu merugi terus. Ia memiliki empas kios, letaknya di lantai II dan III. Ia membeli satu kios sekitar Rp165 juta. Kiosnya di lantai III tak lagi ada aktivitas dagang. Meski begitu, ia tetap harus membayar biaya listrik dan pemeliharaan saban bulan.

Biaya pemeliharaan itu dihitung Rp90 ribu tiap satu meter persegi, plus pajak Rp10 ribu. Untuk empat kios, ia harus merogoh kocek Rp2 juta per bulan. Dalam sebulan, ia membayar beban listrik sekitar Rp540 ribu.

“Bulan lalu saya tekor. Makan modal. Buat karyawan juga minus. Kalau operasional tertutup, ya masih mending. Sekarang kebanyakan minus untuk nutupi operasionalnya saja. Semua toko merasakan (hal sama),” tutur pria berusia 40 tahun ini.

Kompetisi di dalam Pasar

Saman dan para pedagang kios lain juga bersaing dengan konter kecil. Konter itu berjumlah 18 unit, seukuran 1x0,5 meter persegi, berjajar mengelilingi ruang tengah. Biaya sewa per konter Rp700 ribu per bulan, termasuk biaya listrik dan pemeliharaan. Namun, konter-konter ini bisa menjual apa saja, dan barang yang dijual pun sama dengan pedagang kios.

Muhammad Ridwan, 41 tahun, pemilik warung makan Padang, menganggap PD Pasar Jaya yang mengelola Pasar Glodok menyalahi aturan soal kehadiran konter kecil yang menjual makanan.

Saat kerusuhan 1998, dagangan Ridwan hangus. Mobil Kijang Grand Extra dan beras 2 ton miliknya dijarah. Kerugian yang ia derita nyaris Rp1 miliar. Namun, ia pantang menyerah. Usai dibangun, ia membeli lima kios di Pasar Glodok.

Lambat laun penghasilannya makin defisit. Hingga 2014, dalam sehari, rumah makannya menghabiskan 1 ton beras.

“Sekarang 5 karung paling-paling untuk 15 hari,” tuturnya.

Untuk menambah pemasukan, Ridwan menjual satu kios. Namun, orang yang membeli kiosnya bangkrut.

Setiap bulan Ridwan harus membayar biaya pemeliharaan sekitar Rp2 juta dan biaya listrik Rp700 ribu. Demi efisiensi, secara bertahap, ia mengurangi jumlah karyawan. Semula jumlah karyawan warung makannya ada 16 orang. Kini hanya dua karyawan.

“Karyawan saya tiap hari terima duit daripada pemiliknya,” ungkapnya.

Ridwan menilai, PD Pasar Jaya “sangat galak” menarik biaya pemeliharaan pasar. Jika telat sehari, tanpa peringatan lebih dulu, aliran listrik akan diputus. Namun, pihak manajemen minim inovasi, tak mau tahu bagaimana cara menarik banyak konsumen untuk datang, sehingga—harapan pedagang—pasar kembali ramai.

“Denda ada, setelah tanggal 25 sampai lewat bulan. (Denda) dihitung per bulan,” katanya.

Hal sama pernah diungkapkan oleh Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Ia menilai menurunnya pembeli di Pasar Glodok karena pihak manajemen “tidak inovatif.”

“Maka, poin saya, pusat belanja harus inovatif. Kalau statis, dengan adanya kompetisi, pembeli akan pindah ke tempat lebih baik. Nah, itu dilihat dari volumenya. Kalau satu tempat ini volume penjualan meningkat, maka orang pasti akan lari ke situ,” kata Lukita.

Lukita menegaskan, untuk menarik pelanggan, mestinya pusat perbelanjaan membuat pelbagai bentuk promosi, acara, harga sewa lebih atraktif, dan menciptakan fasilitas yang membuat pengunjung nyaman.

Henry Manurung, Manajer PD Pasar Jaya untuk Pasar Glodok, membantah jika selama ini pihaknya kurang inovasi. Menurutnya, sepinya transaksi pembelian bukan terjadi di Pasar Glodok semata.

“Bukan kurang inovasi. Mana buruknya coba? Buruknya inovasi? Ini bukan bangunan baru, kok. Kalau kita menentukan sesuatu itu harus ada pembanding, bandingkan dengan yang di depan sana dan sebelahnya lagi. Semua juga sepi, kok,” ungkapnya.

Namun, Manurung melemparkan tanggung jawab ke PD Pasar Jaya pusat saat ditanya soal sejauh ini bentuk inovasi seperti apa yang sudah dieksekusi.

“Karena, kan, di sana ada kantor pemasarannya. Programnya dari kantor pusat. Kalau saya, kan, di sini operasional. Operasional, kan, enggak mengerjakan itu,” tuturnya.

Manurung mengatakan, total okupansi Pasar Glodok sebanyak 1.880 kios. Ia berkata, para pedagang yang masih aktif hanya 564 kios. Itu belum menghitung jumlah kios yang cuma buka sewaktu-waktu.

“Sekitar 70 persen yang aktif,” katanya.

Manurung beralasan, sepinya pembeli karena akses yang susah ke Pasar Glodok. Para calon pembeli lebih memilih ke tempat perbelanjaan lain ketimbang menembus kemacetan, ujarnya.

Ia juga merespons celetukan Sandiaga Salahuddin Uno, wakil gubernur Jakarta terbaru yang dilantik Oktober mendatang, yang mengusulkan agar Pasar Glodok sebagai pusat olahraga dan "coworking space”.

“Glodok tidak lagi cocok untuk pedagang elektronik hari ini,” ujar Sandiaga, yang memancing respons kontroversial, pada Juli lalu.

Menurut Manurung, ide Sandiaga itu logis. “Beberapa lantai yang enggak aktif bisa dipakai,” ucapnya.

Bagaimanapun, pada 2021, masa bangunan Pasar Glodok habis. Manurung “tidak tahu” akan bagaimana nasib pasar tersebut setelahnya.

infografik HL Glodok senjakala

Gagap Teknologi di Era Pasar Daring

Perdagangan daring, sejak era internet, adalah salah satu lahan bisnis yang gurih. Pertumbuhannya didulang berkat semakin meluas penggunaan telepon pintar dan akses internet.

Dari data Statista, pada 2016, bisnis daring menyumbang 8,6 persen terhadap penjualan ritel global. Pada 2017, pasar daring diproyeksikan meningkat menjadi 10,1 persen.

Selain metode transaksi yang mengandalkan jaringan internet itu, belanja via online pun sensitif terhadap harga. Pembeli misalnya dimanjakan lewat ongkos kirim gratis, diskon gila-gilaan, dan promosi lewat kupon.

Menengok keadaan pedagang di Pasar Glodok yang saya temui, sebaliknya mereka mengaku kurang mampu beradaptasi terhadap perkembangan media daring.

Yongki, misalnya, berkata tidak mencoba ke cara berjualan online. “Saya gaptek,” ujar pemilik kios Kharisma Game untuk menyebut kegagapannya dalam teknologi.

Alhasil, Yongki hanya menjadi distributor bagi para pedagang yang bergerak di sektor e-commerce. Maka, ia hanya membuka kios buat mengisi waktu senggang. Selebihnya, kios itu menjadi gudang penyimpanan.

“Ini, kan, gedung bekas kebakaran. Feng shui-nya jelek. Seharian ini, belum ada yang beli. Kalau dihitung, ya rugi, karena saya bayar karyawan. Ini usaha cuma untuk habisin waktu,” ujarnya.

Begitu juga Akiong, 43 tahun, pedagang Kios Fun'z Cellular di lantai I, yang sengaja memilih menghindari e-commerce. Alasannya, ia enggan ambil risiko.

“Kalau via online, barang rusak pas pengiriman, mau ngadu ke mana?” katanya.

Toh, ada juga pedagang seperti Dedi, pemilik Toko Game Astro di Lantai IV. Ia telah mencoba berdagangan via daring lewat Tokopedia, salah satu marketplace daring di Indonesia yang baru-baru ini mendapat suntikan modal dari Alibaba, perusahaan e-commerce asal Cina.

Tetapi, kata Dedi, saingan di pasar online pun keras. “Saingannya banyak,” keluhnya.

Roy Nicholas Mandey, Ketua Asosiasi Pedagang Ritel Indonesia (Aprindo), menilai salah satu faktor tumbangnya daya beli ialah ramainya bisnis e-commerce. Meski minim penjualan makanan, kosmetik, dan pakaian, tumbuhnya bisnis daring didukung kesemrawutan tata kota dan inovasi harga.

“Elektronik malah ada diskon di online. Otomatis mendingan beli online daripada di Glodok,” ungkap Mandey.

Ia mengatakan, generasi kekinian melek internet. Mereka bisa dengan mudah menelusuri pelbagai macam komoditas dan membandingkan harga ketimbang ke pasar konvensional yang harus mempertimbangkan ongkos akses dan parkir.

Merujuk perkembangan internet di Indonesia, tahun lalu ada 132,7 juta pengguna internet atau 51,5 persen dari populasi. Berdasarkan riset terbaru Nielsen mengenai tren konsumen digital, yang dirangkum enam bulan pertama 2017, jangkauan internet telah mencapai 44 persen atau sekitar 24,4 juta orang dari 53,3 juta penduduk di 11 kota. Angka ini melejit pesat dibanding lima tahun lalu yang cuma 26 persen.

Menurut riset TEMASEK dan Google tahun lalu mengenai pasar daring di Asia Tenggara, Indonesia tergolong paling cepat pertumbuhan internetnya di dunia. Pada 2020 mendatang, diprediksi ada 215 pengguna internet di Indonesia. Pada 2025 mendatang, 119 juta orang Indonesia diprediksi sebagai pembeli online, dengan total nilai 81 miliar dolar AS, menurut riset tersebut.

Di Glodok, perkembangan soal pasar internet itu terdengar asing bagi pedagang seperti Saman, yang lahir pada 1977. Ia besar pada era ketika mayoritas penduduk Indonesia mengandalkan informasi dari televisi pemerintah dan siaran radio.

Untuk ukuran usianya, Saman kesulitan menjajal usahanya untuk perlahan beralih ke pasar daring. Sambil lalu ia belajar berjualan via online dari anaknya.

“Ya saya akan jualan online,” ujarnya. “Sudah terdesak gini toko fisik. Parah luar biasa. Mau enggak mau harus ikutin zaman.”

Lihat sajian visual riset Tirto mengenai perilaku belanja generasi internet: Masa Depan di Tangan Generasi Z, dan 11 laporan khusus tentang generasi yang tumbuh bersama internet: Selamat Tinggal Generasi Milenial, Selamat Datang Generasi Z

Baca juga artikel terkait GLODOK atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam