Menuju konten utama

Pasal Kohabitasi di RKUHP Dinilai Makin Melanggengkan Persekusi

Menurut Bivitri, saat ini saja persekusi sudah kerap terjadi pada pasangan yang dianggap melakukan pelanggaran terkait kohabitasi.

Pasal Kohabitasi di RKUHP Dinilai Makin Melanggengkan Persekusi
Ilustrasi Pria memberi wanita mawar. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Pakar Hukum Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai pasal kohabitasi di RKUHP dapat menimbulkan persekusi di tengah masyarakat. Pasalnya, menurut Bivitri, tanpa ada pasal tersebut persekusi sudah kerap terjadi pada pasangan yang dianggap melakukan pelanggaran terkait kohabitasi.

"Tanpa RKUHP saja [kohabitasi] sudah terjadi [persekusi]. Kemarin-kemarin, ada yang lagi makan berdua kemudian perempuannya ditelanjangi diarak, divideokan. Kan mengerikan masyarakat kita jadi barbar begitu," kata Bivitri dalam diskusi daring Rabu (12/7/2022).

Bivitri mengatakan kohabitasi sebagaimana yang diatur dalam pasal 416 RKUHP tersebut merupakan wilayah hukum privat yang seharusnya tidak serta-merta dipindahkan ke wilayah hukum publik, lebih-lebih hukum pidana.

Bivitri juga mengatakan bahwa hukum pidana harusnya ditempatkan sebagai langkah terakhir dalam mengatasi permasalahan.

"Norma hukum apalagi hukum pidana harusnya diperlakukan optimum remedium. Cara mengatasi yang paling ultimum, paling maksimal," katanya.

Menurut Bivitri, pemerintah seharusnya merumuskan norma hukum dengan mempertimbangkan ketertiban umum, bukan preferensi kelompok.

"Jadi seharusnya bukan berarti semua perilaku yang kita tidak suka dibuat pasal hukum pidana biar orang enggak melakukan itu. Bukan begitu caranya merumuskan norma hukum pidana. Tapi kita harus melihat apakah perilaku mengganggu ketertiban umum atau tidak," katanya.

Diketahui, Pasal 416 RKUHP mengatur mengenai larangan kohabitasi, yang dimasukkan dalam salah satu tindak pidana kejahatan kesusilaan, yang berbunyi sebagai berikut :

(1) Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

(2) Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:

a. Suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau

b. Orangtua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.

(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.

(4) Pengaduan dapat ditarik kembali.

Baca juga artikel terkait RKUHP atau tulisan lainnya dari Fatimatuz Zahra

tirto.id - Hukum
Reporter: Fatimatuz Zahra
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Bayu Septianto