Menuju konten utama

Pasal Karet RUU Permusikan Berasal dari Naskah Akademik

RUU Permusikan yang sedang digodok DPR tidak hanya mengandung pasal "karet", tapi juga banyak aturan yang tumpang tindih dengan regulasi lainnya.

Pasal Karet RUU Permusikan Berasal dari Naskah Akademik
Musisi yang tergabung dalam Kami Musik Indonesia Glenn Fredly (kedua kiri), Franki Raden (kiri) dan Agus S (kedua kanan) melakukan pertemuan dengan Badan Legislasi DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (7/6). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

tirto.id - Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan yang digagas Komisi X DPR RI menuai kritik dari para musisi. Mereka menilai terdapat sejumlah klausul yang bermasalah, mulai dari “pasal karet” hingga potensi tumpang tindih aturan.

Salah satu poin yang disoroti adalah pasal 5 yang berisi beberapa larangan bagi para musisi: dari mulai membawa budaya barat yang negatif, merendahkan harkat martabat, menistakan agama, membuat konten pornografi hingga membuat musik provokatif.

Aturan itu disebut karet karena tak memiliki tolak ukur yang jelas. Apalagi, kata vokalis band Efek Rumah Kaca, Cholil Mahmud, interpretasi aparat tidak selalu sama dengan pembuat lagu. Padahal, di satu sisi kereativitas sangat dibutuhkan untuk menciptakan seni.

Hal sanada diungkapkan vokalis band metal rock Seringai, Arian Tigabelas. Ia menilai RUU Permusikan tersebut dari awal sudah bertentangan dengan UUD 1945, khususnya pasal 28.

“Kalau dilihat pasal 5 yang banyak larangan, itu saja sudah bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28, kebebasan berserikat, berpendapat. [..] ini sudah bertentangan, harusnya enggak bisa disahkan,” kata Arian saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (30/1/2018) siang.

Arian menilai RUU Permusikan yang sudah santer terdengar sejak Agustus 2018 ini memiliki pasal-pasal “karet” yang rentan mengkriminalisasi musisi dan pekerja seni.

“Harusnya yang dibahas adalah tata kelola industri musik di Indonesia, seperti apa. Bukannya membatasi. Anggota DPR berdalih ini akan jadi UU musik pertama di dunia, ya mungkin saja di negara lain itu enggak ada karena memang enggak butuh,” kata Arian.

Selain pasal 5, Arian juga mempersoalkan pasal 32 dalam RUU Permusikan yang mengatur pekerja seni harus melakukan uji kompetensi jika ingin diakui profesinya sebagai musisi dan seniman. Arian menilai hal tersebut terlalu berlebihan.

“Kalau guru sekolah musik atau klasik, ya mungkin butuh uji kompetensi. Tapi saya melihat, mereka yang menyusun ini karena takut saja lahan industri musik Indonesia diambil oleh musisi luar. Ini berlebihan sekali. Enggak jelas,” kata Arian.

Tak hanya itu, kata Arian, dirinya juga menemukan salah satu pasal yang mewajibkan restoran dan hotel untuk memutarkan lagi musik tradisional.

“Ada di pasal 40 kalau enggak salah. Itu hotel dan restoran wajib memasang lagu tradisional. Lagi-lagi pemaksaan. Jangan ada pemaksaan harusnya,” kata Arian.

Penyanyi genre folk Iksan Skuter juga mengungkapkan protesnya. Ia menilai draf RUU Persmusikan ini sangat berbahaya karena jika disahkan akan membuat musik Indonesia mundur dan memberangus kebebasan berekspresi.

“Ada fasisme di RUU itu. Membikin seniman harus ikut dengan pemerintah. Ini akan sangat berbahaya jika disahkan. Kita akan kembali mundur jauh. Kembali ke era ketika seni direpresi,” kata Iksan saat dihubungi wartawan Tirto.

Menurut Iksan seni adalah hal yang bersifat subjektif, seniman merefleksikan apa yang dialami dalam hasil karyanya. Sehingga jika dikekang oleh UU dikhawatirkan akan mengatur cara berkesenian itu sendiri.

Penyanyi yang rutin menyuarakan isu agraria ini berkata, munculnya pasal “karet” dalam RUU Permusikan ini diduga karena ada pihak yang terganggu ketika seniman dan musisi menyuarakan isu kerakyatan serta memicu gerakan sosial di berbagai daerah.

“Contoh di Bali dengan penolakan reklamasi Teluk Benoa atau di Bandung ketika ada penolakan penggusuran di Tamansari. Seniman dan musisi banyak yang ikut bersuara kan,” kata dia.

Iksan juga mengkritisi soal uji kompetensi pekerja seni yang diatur dalam pasal 32. Menurut dia, aturan tersebut tak penting dan tidak substantif.

“Itu enggak penting. Itu hanya bicara legalitas saja. Kita, kan, praktisi dan pelaku seni. Tanpa diakui lewat uji kompetensi pun, dari dulu sudah diasingkan dan didiskreditkan tapi tetap berjalan, kita punya jaringan sendiri,” kata Iksan.

Iksan menambahkan maksud dari musisi dan pekerja seni yang diasingkan dan didiskreditkan selama ini adalah ketika profesi musisi dan pekerja tseni ak diterima dalam hal-hal administrasi formal, seperti peminjaman uang di bank.

“Uji kompetensi pun belum tentu bisa menjamin itu [bisa pinjam uang di bank]," kata Iksan.

Sedangkan Harry Sutresna bahkan lebih telengas lagi mengomentari RUU Permusikan ini.

"Ini sama saja dari gabungan Orde Baru dan Orde Lama. Maksud saya, hampir semuanya pasal karet," kata pria yang kerap dipanggil Ucok "Homicide" ini.

Ucok juga merespons pasal 32 di dalam RUU tersebut yang berisi kewajiban bagi seniman untuk melakukan uji kompetensi jika ingin diakui profesinya sebagai musisi dan seniman. Ucok menilai uji kompetensi bagi musisi dan seniman sangat tidak jelas.

"Itu sudah enggak usah dibahas lagi. Keterlaluan ini RUU. Memangnya nanti bakal dapat semacam SIM gitu?" katanya.

Bermasalah Sejak Naskah Akademik

Selain pasal “karet” yang dikritik sejumlah musisi, RUU Permusikan ini juga dinilai mubazir. Sebab, kata vokalis band Rumah Kaca Cholil Mahmud, sejumlah aturan yang terdapat dalam draf RUU itu sudah termaktub dalam regulasi lain.

Misalnya soal hak cipta dan royalti. Menurut Cholil masalah ini sudah diatur dalam UU Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. Sementara soal musik tradisional akan tumpang tindih dengan UU No 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan.

“Jadi memang disharmonisasi banget UU-nya,” kata Cholil kepada reporter Tirto.

Cholil menambahkan “kalau itu [RUU Permusikan] semua dipretelin, sisanya tinggal pasal sertifikasi sama pasal 5 itu.”

RUU Permusikan ini memang bermasalah sejak penyusunan naskah akademik. Selain tidak melibatkan para musisi, naskah akademik ini juga memasukkan unsur yang berpotensi menjadi pasal “karet” dalam draf UU.

Para penyusun adalah mereka yang sama sekali tak berkecimpung di industri musik. Pengarahnya K. Johnson Rajagukguk (Kepala Badan Keahlian DPR RI), Penanggung Jawab Inosentius Samsul, Ketua Sali Susiana, Wakil Ketua Chairul Umam, Sekretaris Nova Manda Sari, dan Anggota Arrista Trimaya, Rachmat Wahyudi Hidayat, Ihsan Badruni Nasution, Juli Panglima Saragih, serta Sulit Winurini.

Berdasarkan naskah akademik yang diterima Tirto, ditulis mereka yang memproduksi karya musik yang mengandung unsur kekerasan, perjudian, provokasi, SARA, hingga pengaruh negatif budaya asing dapat dijatuhkan sanksi.

Redaksional itu kemudian disalin-tempel (copy-paste) dalam Pasal 5 draf RUU Permusikan dan dikritik para musisi.

Baca juga artikel terkait RUU PERMUSIKAN atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz