Menuju konten utama

Partai Politik Ikut Berperan dalam Korupsi Berjemaah

KPK menilai partai politik masih belum sepenuhnya menjalankan agenda pemberantasan korupsi di internal partai.

Partai Politik Ikut Berperan dalam Korupsi Berjemaah
Empat pemanjat profesional membentangkan spanduk yang bertuliskan "Berani Lapor Hebat" di gedung KPK C1 Jalan HR Rasuna Said, Jakarta (26/3/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi mengumumkan 38 anggota DPRD Sumatera Utara periode 2009-2014 dan 2014-2019 sebagai tersangka korupsi, Selasa (3/4/2018). Mereka diduga menerima suap masing-masing sekitar Rp300-350 juta dari mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho.

Korupsi berjemaah di Sumut ini bukan yang pertama. Pada 21 Maret 2018, KPK juga menetapkan 19 tersangka dalam kasus suap pembahasan APBD-P Kota Malang Tahun Anggaran 2015. Penetapan 19 tersangka ini merupakan pengembangan dari dua tersangka sebelumnya, yaitu Moch. Arief Wicaksono (Pimpinan DPRD) dan mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Pengawasan Bangunan (PUPPB) Kota Malang, Jarot Edy Sulistyono.

Jika ditarik lebih jauh lagi, kasus korupsi berjemaah ini jumlahnya akan semakin banyak, seperti kasus Hambalang, kasus cek perjalanan pemilihan deputi gubernur BI, dan skandal proyek e-KTP. Dalam kasus e-KTP misalnya, disebutkan bahwa korupsi yang merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun ini menyeret sejumlah nama, dari legislatif, eksekutif hingga pihak swasta.

Bagaimana modus-modus korupsi berjemaah ini terjadi?

Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Faridz menyatakan korupsi berjemaah terjadi setidaknya karena dua unsur sebagai pintu masuk. Pertama, kongkalikong antara pihak legislatif dan eksekutif. Kedua, minimnya integritas pejabat publik.

“Enggak mungkin kemudian proyeksi anggaran dilakukan akan terpenuhi targetnya kalau tidak melibatkan dua pintu tadi, karena integritasnya sama-sama buruk akhirnya korupsi. Ini kan soal perilaku,” kata Donal kepada Tirto, Rabu (4/4/2018).

Donal mengatakan umumnya korupsi berawal dari permohonan pengusaha yang mengiming-iming sejumlah hadiah atau uang. Anggota legislatif biasanya akan mengkondisikan proses penganggaran proyek. Setelah anggaran disahkan, menurut Donal para pengusaha itu mengkondisikan lelang. Modus seperti ini terjadi dalam proses korupsi berjamaah e-KTP.

Sementara itu, untuk modus korupsi berjemaah di Sumut, Donal berpendapat karena peran legislatif yang memiliki fungsi pengawasan anggaran. Dalam konteks ini, persetujuan anggaran menjadi alat anggota DPRD untuk mendapatkan uang dari pengesahan APBD.

Partai Ikut Berperan

Peran partai politik tidak bisa diabaikan bila ada korupsi berjemaah. Ia mengingatkan, para anggota legislatif dan pejabat eksekutif dipilih berdasarkan rekomendasi partai. Sayangnya, kata dia, ketika kader parpol ada yang terlibat kasus korupsi, mereka tidak mengambil sikap tegas.

Menurut Donal, meskipun sejumlah partai pada ramai menyebut slogan “berantas korupsi”, namun tidak sedikit kadernya yang tetap melakukan tindakan korupsi. Donal menilai, hal itu terjadi akibat para kader yang koruptif memiliki peran sentral bagi kelangsungan partai.

“Orang-orang yang bermasalah itu justru kadang-kadang banyak berkontribusi terhadap partai politik, mereka sambil menduduki jabatan strategis di partai,” kata Donal.

Donal menyatakan, kader-kader bermasalah tersebut memberikan kontribusi beragam, salah satunya pendanaan seperti yang dilakukan Setya Novanto. Donal mengatakan pada persidangan korupsi e-KTP diketahui politikus yang dikenal “licin” itu pernah memberikan uang sebesar Rp5 miliar untuk Rapimnas Partai Golkar.

Donal menilai, pemberian uang itu sangat diperlukan demi menjalankan roda organisasi kepartaian yang memerlukan biaya besar. Oleh sebab itu, keaktifan dan kontribusi para kader partai bermasalah membuat parpol tetap memberikan posisi strategis.

Menurut Donal, korupsi berjemaah terjadi akibat minimnya niat partai untuk berubah. Ia berkata, selama ini slogan partai bersih hanya sebagai permainan semata. Oleh sebab itu, pemerintah perlu mengatur partai politik agar korupsi berjamaah tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.

Namun, parpol menolak anggapan tersebut. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon menilai, permasalahan korupsi berjemaah tidak bisa serta-merta menyalahkan partai. Menurut Fadli, faktor karakter pejabat dan sistem bisa menjadi pemicu praktik korupsi berjemaah.

“Belum tentu itu karena parpol. Bisa juga karena orang-orang yang bersangkutan atau sistem yang ada di daerah itu, karena seringkali orang yang kemudian menjadi tersangka korupsi itu belum tentu orang itu terima,” kata Fadli di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (4/4/2018).

Fadli mencontohkan, pejabat yang melakukan maladministrasi bisa terjerat korupsi karena memperkaya orang lain. Padahal, pejabat tersebut tidak berbuat, tetapi hanya memperkaya orang lain, baik sengaja atau tidak.

Pria yang juga Wakil Ketua DPR ini mengklaim, partainya terus berusaha mencegah korupsi, salah satunya dengan mengingatkan para kadernya. Menurutnya, hal ini memang tidak sepenuhnya efektif karena tidak semua kader bisa dimonitor partai.

Namun, menurut Fadli, Gerindra memastikan akan memecat kader yang ketahuan korupsi. “Kalau ada yang korupsi, kami langsung hentikan walaupun kami juga melihat secara per kasus,” kata Fadli.

Hal senada juga diungkapkan Ketua Umum DPP PPP, Muhammad Romahurmuziy. Ia mengklaim, pihaknya sudah berusaha mencegah terjadinya korupsi dengan meminta para kadernya untuk menandatangani pakta integritas. “Kami kumpulkan anggota DPRD dari PPP tahun lalu,” katanya.

Menurut Romy, pihaknya berkomitmen untuk tetap menjunjung pemerintahan yang bersih. “Yang bisa kami lakukan adalah terus mengingatkan,” kata Romy.

Romy mengklaim, PPP sudah memasukkan unsur integritas dalam perekrutan caleg. Namun, kata Romi, pihaknya sulit mengontrol seluruh kader PPP yang tersebar luar. Oleh sebab itu, pengurus pusat hanya bisa mengimbau dan membuat regulasi agar kader tetap berada di jalur yang benar.

Sementara itu, Ketua DPP Partai Golkar, Ace Hasan Syadzily mengatakan, partainya di bawah kepemimpinan Airlangga Hartarto sudah berkomitmen untuk bebas korupsi sesuai slogan “Partai Golkar Bersih.” Ia pun mengklaim sudah melakukan beragam upaya pencegahan untuk menangkal kadernya terlibat korupsi. Namun, ia berdalih tidak bisa mengontrol aktivitas semua kader, sehingga masih ada celah terlibat korupsi berjemaah.

“Sudah kami coba terus menerus gitu, tapi kan kami tidak bisa mengendalikan semua kader Golkar di seluruh Indonesia supaya mereka begitu. Kan susah juga bagaimana? Kan kami bukan malaikat yang bisa mengawasi semua tindak tanduk mereka,” kata Ace kepada Tirto.

Ace mengaku tidak memahami secara rinci kasus korupsi berjemaah yang terjadi di Sumatera Utara atau Malang. Namun, ia menduga, kasus korupsi tersebut terjadi akibat ketidaktahuan kader atau masalah regulasi.

Ace menambahkan, korupsi tidak sepenuhnya kesalahan sistem partai. Menurut Ace, hal itu bisa saja terjadi akibat individu yang sudah mengetahui tindakan tersebut salah, akan tetapi tetap melakukan korupsi.

Partai Masih Setengah Hati

Menanggapi hal ini, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menilai, selama ini partai masih belum sepenuhnya menjalankan agenda pemberantasan korupsi di internal. Padahal, parpol adalah cerminan masyarakat dan bangsa serta membawa ideologi masing-masing.

Namun, Saut melihat, kekuatan ideologi partai tidak cukup kuat dalam masalah pemberantasan korupsi. Apabila dinilai dalam skor 1-10, situasi partai politik dalam pemberantasan korupsi tidak mendapat nilai yang cukup baik.

“Secara umum apa yang disebut ideologi parpol itu di Indonesia relatif cair, di mana dalam politik praktis mereka tidak berbeda satu dengan lain,” kata Saut saat dihubungi Tirto, Rabu (4/4).

Saut sepakat dengan pandangan bahwa permasalahan korupsi berjemaah berkaitan dengan integritas partai dan individu. Namun, Saut menilai, masyarakat juga ikut berperan dalam permasalahan korupsi berjemaah yang terjadi di satu daerah.

"Itu [korupsi berjemaah] bisa terjadi kombinasi antara prilaku atau integritas pribadi dengan prilaku atau integritas organisasi. Namun secara umum banyak diwarnai oleh nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat dengan permisifnya kita semua atas pelanggaran [korupsi] kita," kata Saut.

Saut berpandangan, tidak sedikit kader partai melewati seleksi alam untuk tetap berpartai. Namun, godaan jabatan dan kekuasaan bisa mengganggu perilaku kader. Selain itu, kata dia, lingkungan yang dikelilingi koruptor juga bisa mempengaruhi integritas seseorang.

Oleh sebab itu, kata Saut, publik tidak bisa hanya menyalahkan partai semata dalam korupsi berjemaah ini. “Pribadi yang kuat pun dapat luluh [melakukan korupsi] dengan sistem yang baik, apalagi ekosistem yang tidak baik. Jadi sistem secara keseluruhan, bukan internal partai saja," kata Saut.

Dalam konteks ini, kata Saut, KPK akan terus melakukan penindakan. Ia berkata, salah satu cara mencegah yang baik adalah memenjarakan para koruptor agar tidak terjadi korupsi berjemaah. Ia berharap, KPK bisa menindak di private sector dan influence trading demi memberantas korupsi secara berjemaah.

Baca juga artikel terkait PARTAI POLITIK atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher & Lalu Rahadian
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz