Menuju konten utama

Partai Allah versus (Bukan) Partai Setan pada Awal Republik Berdiri

Pemilu 1955 adalah awal mula pertarungan ideologi parpol-parpol di Indonesia: Nasionalis, Komunis, dan Islam.

Partai Allah versus (Bukan) Partai Setan pada Awal Republik Berdiri
Kampanye Partai Komunis Indonesia pada September 1955. LIFE/Howard Sochurek

tirto.id - "Jika Masyumi menang, Lapangan Banteng ini akan diubah jadi Lapangan Onta."

Begitu kalimat yang diucapkan seorang anasir Partai Komunis Indonesia (PKI) saat berkampanye di Lapangan Banteng, Jakarta, jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 1955.

Masyumi adalah singkatan Madjelis Sjoero Moeslimin Indonesia, sebuah partai politik peserta Pemilu 1955. Awalnya, Masyumi didirikan pada masa pendudukan Jepang sebagai organisasi konfederasi berbagai organisasi Islam. Setelah Indonesia merdeka, berbagai organisasi tersebut bersepakat menjadikan Masyumi sebagai parpol.

Islam dijadikan Masyumi sebagai ideologi partai. Tentu, itu berbeda dari PKI yang menjadikan komunisme sebagai ideologinya. Perbedaan ideologi tersebut membuat para anggota kedua parpol saling sindir. Jika PKI bilang Masyumi bakal mengubah "Banteng" menjadi "Onta", Masyumi rupanya tak ingin mengalah.

"Jika PKI menang, Lapangan Banteng akan diubah jadi Lapangan Merah, Kremlin, di Moskow," sebut pendukung Masyumi saat berkampanye di Lapangan Banteng.

Saling sindir itu pun sedikit menggambarkan persaingan ideologi antar-parpol di Indonesia yang telah meruncing sejak 1950-an. Dan, persaingan tersebut tampaknya abadi.

Baru-baru ini, Amien Rais, tokoh Partai Amanat Nasional (PAN) menyatakan pertarungan antara "Partai Allah" melawan "Partai Setan" setelah Pilkada DKI Jakarta 2017 dan jelang Pemilu 2019.

Pada 1950-an, parpol memang terbelah secara ideologi. Ada yang menjadikan Islam sebagai ideologi. Ada pula yang menjadikan nasionalisme dan komunisme sebagai ideologi.

Tetapi, tentu saja, terlalu ngawur untuk menyebut ideologi selain Islam itu sebagai "ideologi setan." Membedakan jenis kelamin parpol-parpol yang hidup pada 1950-an tidak semudah membalikkan telapak tangan dan menantang berbagai pakar untuk menelitinya.

Parpol Besar, Parpol Kecil

Marcus Mietzner mencatat dalam "Comparing Indonesia's Party System of The 1950s and The Post-Suharto Era" (2008) bahwa pada 1950-an parpol dapat dikategorikan menurut jumlah massa yang mendukungnya: 2 parpol besar, 5 parpol menengah, dan 10 parpol kecil.

Masyumi masuk dalam kategori parpol besar bersama Partai Nasional Indonesia (PNI), parpol yang didirikan Sukarno pada 1920-an. Sedangkan PKI dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) masuk dalam kategori menengah.

Dalam barisan partai kecil, salah satunya ada Partai Murba yang didirikan Tan Malaka. Murba berideologi komunis tetapi berseberangan secara strategi politik dari PKI.

PKI, saat itu, tengah berjuang lepas dari bayang-bayang peristiwa Madiun 1948. Pada peristiwa tersebut, PKI memberontak terhadap Republik. Sejumlah pimpinan PKI ditangkap dan dihukum mati.

Sedangkan PSI punya citra lebih menguntungkan. Berisi para intelektual, administrator, dan teknokrat, PSI dekat dengan Perdana Menteri Sutan Sjahrir.

Ada juga tiga parpol kecil lain yang melandaskan ideologinya pada agama, yakni Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Katolik.

PSII merupakan sempalan Masyumi. Parpol tersebut mengaku pewaris Sarekat Islam, organisasi politik muslim pertama di era Hindia Belanda.

Sempalan Masyumi lain adalah partai Nahdlatul Ulama (NU). Pada 1952, NU menyatakan keluar dari Masyumi dan menjadi partai tersendiri.

42 Ribu Desa Ikuti Pemilu 1955

Meskipun parpol-parpol bisa dikategorikan menurut banyak-sedikit anggotanya, tapi sejauh mana keanggotaan dan kekuatan parpol pada 1950-an sejatinya sulit ditentukan—belum ada ukuran pembanding yang pasti saat itu.

Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (1962) mencatat PNI mengklaim memiliki 1.466.783 anggota pada 1 Maret 1950, sementara Masyumi mendaku memiliki 10 juta anggota di seluruh Indonesia pada akhir 1950. Parkindo sendiri mengklaim memiliki 320 ribu anggota pada 1951.

Menurut Feith, angka-angka tersebut hanya bagian dari permainan gertakan politik. Ia juga dihasilkan dari kongres parpol yang berusaha mendatangkan sebanyak mungkin perwakilannya dari pelbagai daerah.

Klaim-klaim itu baru benar-benar diuji pada Pemilu 1955. Pemilu skala nasional pertama setelah Indonesia merdeka ini dilakukan di 16 wilayah pemilihan. Itu mencakup 208 kabupaten, 3.141 kecamatan, dan 42.092 desa.

Pemilu 1955 dilaksanakan dua kali. Pertama pada 29 September 1955 guna memilih anggota DPR, yang diikuti 118 peserta terdiri 36 parpol, 34 organisasi kemasyarakatan, dan 48 perorangan.

Semula kursi DPR berjumlah 260. Namun, jumlahnya menjadi 257 kursi karena 3 kursi untuk wilayah pemilihan Papua tidak digunakan. Saat itu Papua masih di bawah kendali Belanda.

Leo Suryadinata dalam Election and Politics in Indonesia (2002) mencatat sebanyak 12 kursi ditambahkan di DPR untuk mengakomodasi kelompok etnis non-pribumi: 3 kursi untuk Arab, 3 kursi untuk Eropa, dan 6 kursi untuk Tionghoa. Jadi, totalnya ada 269 kursi.

Setelah itu, Pemilu kedua digelar pada 15 Desember 1955 guna memilih 520 anggota Konstituante, yang diikuti 91 peserta terdiri 39 parpol, 23 organisasi kemasyarakatan, dan 29 perorangan.

Infografik HL Indepth Genealogi Parpol Indonesia

Tak Diduga PKI Bakal Sekuat Itu

Sebenarnya Pemilu hendak dilaksanakan pada 1946, tetapi pemerintah Indonesia terus disibukkan oleh serangan Belanda dan berbagai pemberontakan dalam negeri. Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar pada 1949, pemerintah berusaha betul melaksanakan Pemilu.

Namun, periode kekuasaan kabinet yang singkat membuatnya tertunda. Sejak Desember 1949 hingga Agustus 1955, lima perdana menteri silih berganti memimpin kabinet yang berbeda.

Berlangsung di tengah persaingan parpol yang begitu panas serta pasang-surut kabinet parlementer, Pemilu akhirnya terlaksana juga. Hasilnya, ada 28 parpol yang berhasil meraih setidaknya 1 kursi di DPR.

Kursi terbanyak dimiliki PNI dan Masyumi, masing-masing 57 kursi. Di Pemilu DPR 1955, PNI berhasil memperoleh 8.434.653 suara; terbanyak di antara parpol lain. Sedangkan Masyumi bercokol di posisi kedua dengan perolehan 7.903.886 suara.

PKI berada di peringkat keempat, satu tangga di bawah NU. NU meraih 6.955.141 suara (45 kursi), sementara PKI mendapat 6.176.914 suara (39 kursi).

Parpol selain empat yang disebut di atas hanya mendapat suara kurang dari 5 persen, dan memperolah tak lebih dari 8 kursi. Parpol macam ini menyandang partai gurem. PSII (8 kursi), Parkindo (8 kursi), Partai Katolik (6 kursi), PSI (5 kursi), dan Murba (2 kursi) termasuk dalam partai kategori ini.

Keberhasilan si "empat besar"—PNI, Masyumi, NU, PKI—dicatat Herbert Feith sudah diduga sebelumnya. Namun, tidak ada yang menduga bahwa PKI bisa mendulang lima kali lebih banyak suara dari PSII.

Selain itu, banyak komentar bermunculan mengenai sedikitnya kursi yang diperoleh PSI, Murba, serta pudarnya pesona partai kecil berhaluan nasionalis seperti Partai Rakyat Nasional (2 kursi), PIR-Wongsorejo (1 kursi), PIR-Hazairin (1 kursi), Partai Buruh (2 kursi), Parindra (0 kursi), dan SKI (0 kursi).

PNI: Partainya PNS dan Aristokrat Jawa

Dengan berlangsungnya Pemilu 1955, kekuatan massa parpol-parpol semakin tampak. Latar belakang pendukung parpol pun semakin bisa dilacak.

Antropolog Clifford Geertz mengungkapkan ada tipologi aliran tertentu yang diwakili empat besar parpol pemuncak klasemen Pemilu 1955. Berdasarkan aliran, Geertz membagi tipologi politik, terutama masyarakat di Jawa, menjadi tiga: santri, abangan, priyayi.

Abangan dan priyayi berafiliasi dengan PNI atau PKI, sementara santri merupakan pendukung NU atau Masyumi.

Menggunakan konsep Geertz, Indonesianis Daniel S. Lev mengungkapkan bahwa PNI merupakan partainya pegawai negeri sipil dan aristokrat Jawa. Sebagian besar pegawai dan aristokrat tersebut berlatar belakang priyayi dan abangan. Namun, priyayi rendah dan kalangan petani abangan justru mengarahkan dukungannya kepada PKI.

Di lain pihak, NU mendapat dukungan dari santri Jawa dan pedagang di kota-kota kecil di Jawa Timur dan Jawa Barat. Sedangkan Masyumi didukung pemilih muslim di luar Jawa: para tuan tanah, saudagar, dan intelektual modern Islam.

Herbert Feith mencatat 51,3 persen pemilih Masyumi adalah penduduk Pulau Jawa, sementara 48,7 persen sisanya adalah penduduk luar Pulau Jawa. Selisih itu tipis jika dibandingkan latar belakang pemilih tiga partai besar lain: 85,97 persen pemilih PNI, 85,96 persen pemilih NU, dan 88,6 persen pemilih PKI adalah penduduk Pulau Jawa.

Selain soal faktor aliran dan geografi pemilih, melacak pembelahan politik parpol dilakukan oleh Marcus Mietzner dengan menganalisis perbedaan sikap parpol dalam debat di Konstituante. Ia mendasarkan analisisnya berdasarkan buku Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959 (2009) yang ditulis Adnan Buyung Nasution.

Konstituante dibuat untuk menyusun undang-undang dasar (UUD) yang baru. Berdasarkan hasil Pemilu 1955, ada 35 parpol, organisasi masyarakat, dan perorangan menjadi anggota Konstituante.

Di dalam Konstituante tersebut, Buyung mengamati kehadiran kelompok integralis yang menginginkan rezim sentralistik yang mengandalkan kepemimpinan yang kuat dan revolusioner. Kelompok ini menentang demokrasi liberal, sebuah sistem yang diterapkan saat itu.

Partai Murba bersikap tanpa tedeng aling-aling dengan mengatakan kepada Presiden Sukarno untuk menegakkan kediktatoran. Sementara PNI menawarkan konsep masyarakat kolektif dan anggota Konstituante berhaluan nasionalis lain mengutuk demokrasi ala Barat sebagai kedok kediktatoran para kapitalis.

Saat Sukarno mengumumkan pada Februari 1957 bahwa dia akan membubarkan Konstituante, politbiro PKI mengumumkan: "Sistem demokrasi Barat yang dibawa ke Indonesia hingga sekarang berbahaya untuk perkembangan pergerakan demokrasi dan revolusi."

Rapuhnya Demokrasi Karena Ulah Parpol

Tak cuma golongan Kiri yang sebal atas sistem demokrasi yang diterapkan pada 1950-an. Parpol berhaluan Islam pun demikian. Tak hanya demokrasi liberal, mereka juga menolak konsep negara kediktatoran. Menurut Adnan Buyung Nasution, parpol berhaluan Islam lebih takut atas menguatnya kelompok komunis.

Ahmad Zaini, anggota NU, mengatakan negara harus berlandaskan Islam. Kemerdekaan politik dan individu mesti dibatasi hukum syariah, menurutnya.

Pernyataan serupa dilontarkan pemimpin karismatik Masyumi, Mohammad Natsir. Menurutnya, hanya ada dua pilihan: negara berlandaskan agama atau negara tidak berlandaskan agama.

Hanya sebagian faksi kecil dari anggota Konstituante yang menyatakan sistem demokrasi mesti dipertahankan. Mereka berasal, antara lain, dari PSI yang memang mendaku sebagai partai sentris atau sebagian kecil anggota Masyumi dan PSII berhaluan moderat.

Di tengah pembelahan ideologis antara parpol sekuler kekiri-kirian melawan parpol Islam, yang berlangsung dahsyat serta minimnya peran parpol berhaluan sentris, Mietzner menyimpulkan bahwa sistem multipartai tak punya kesempatan untuk hidup.

"Pusat kompetisi politik sekarang (pasca-Pemilu 1955) beralih secara penuh ke batas ekstrem lanskap parpol, dengan mempertarungkan gagasan anti-sistem demokrasi untuk kepentingan ideologi sempit konstituen mereka," sebut Mietzner.

Pada 1959, Sukarno, atas dukungan kelompok militer dan PKI, mengeluarkan dekrit kembali ke UUD 1945. Konstituante dan DPR dibubarkan. Parpol tak lagi bertaji, kecuali PKI.

Habis gelap demokrasi parlementer, terbitlah demokrasi terpimpin di Indonesia.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Fahri Salam