Menuju konten utama

Parade Kekerasan Polisi terhadap Wartawan Sepanjang 2019

AJI mencatat terjadi 50 kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2019; 29 di antaranya diduga dilakukan oleh polisi.

Parade Kekerasan Polisi terhadap Wartawan Sepanjang 2019
Sejumlah wartawan yang tergabung dalam Wartawan Hitam Jakarta menggelar aksi teatrikal di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9/2019). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/wsj.

tirto.id - Sepanjang 2019, jurnalis masih menjadi sasaran intimidasi kepolisian Indonesia. Alih-alih dilindungi, kerja-kerja peliputan wartawan dihalang-halangi, bahkan berbuah dugaan tindak kekerasan.

Aksi aparat terhadap jurnalis ini ekskalasinya terlihat sejak demo #ReformasiDikorupsi 2019. Bentuk kekerasannya bermacam, mulai dari perampasan alat kerja hingga hak liput jurnalis.

Pada 30 September, rekan reporter saya dari Tirto, Haris Prabowo, diseret oleh polisi ketika meliput setelah merekam adu mulut antara anggota marinir dan polisi di area RS Gigi dan Mulut Ladokgi TNI AL RE Martadinata.

Seorang polisi berseragam sipil menanyakan Haris dari media apa, disusul pertanyaan menyudutkan, "Kamu ikut lempar-lempar enggak?"

"Enggaklah, Pak, saya dari arah polisi dari tadi malah. Saya media (ngepos di) DPR."

Polisi tetap tak percaya, lalu memeriksa tas Haris. Seorang polisi menyuruhnya membuka tas dan dua polisi yang lain memeganginya.

"Coba cek. Tadi ada kejadian kaya gini mengaku wartawan tapi isi tasnya bom molotov," kata seorang polisi, yang menemukan kabel charger ponsel, roti, dan dompet. Tapi, di saku depan tas Haris, para polisi mendapati dua selongsong gas air mata, satu berwarna abu-abu, satu lagi merah, dan bertanya mengapa Haris menyimpan selongsong.

Haris berkata selongsong itu demi keperluan reportase, tetapi polisi lantas menggelandangnya ke halaman DPR. Kepala Haris dipiting dan ia diseret berjalan cepat menuju gedung parlemen, berjarak 500 meter dari jembatan layang Bendungan Hilir.

Lima hari sebelumnya, 25 September, Vany Fitria, wartawan Narasi TV, syok ketika ponselnya dirampas lalu dibanting polisi di Bendungan Hilir. Ponsel itu untuk merekam kerusuhan. Seorang polisi berseragam serba hitam mendatangi dan memperingatkannya untuk berhati-hati.

Sekitar 7 sampai 8 polisi lain mendatangi Vany. Tanpa basa-basi, seorang polisi merampas telepon genggam miliknya, lalu membantingnya. Seorang polisi lain memungut ponsel yang sudah hancur itu lalu dikantongi. Meski Vany sudah menunjukkan kartu pers, polisi acuh tak acuh.

Pada 24 September, empat jurnalis diintimidasi aparat keamanan Indonesia.

Nibras Nada Nailufar dari Kompas.com diminta polisi menghapus foto dan video polisi yang diduga memukuli massa di area Jakarta Convention Center Senayan. Sementara Tri Kurnia dari Katadata dan Vanny El Rahman dari IDN Times diduga dianiaya polisi ketika meliput di kawasan Slipi dan Palmerah, Jakarta Barat. Pelaku lain, yakni massa di kawasan Senayan, merusak mobil peliputan Febrian Ahmad dari Metro TV.

Para jurnalis melaporkan dugaan tindak penganiayaan ke Polda Metro Jaya. Hasilnya, Polda menerima laporan Nibras Nada Nailufar dan Tri Kurnia. Sementara laporan Haris Prabowo dan Vany Fitria hanya diterima oleh Propam Mabes Polri dan tak ada proses selanjutnya sampai sekarang.

Ishak Pasabuan, jurnalis Makassar Today, diduga direpresi oleh aparat kepolisian saat liputan aksi penolakan pengesahan UU KPK dan Revisi KUHP di depan Gedung DPRD Sulawesi Selatan, 24 September. Polisi diduga memukul wajah Ishak dengan pentungan lantaran mengambil gambar saat polisi terlibat bentrok dengan demonstran.

Intimidasi jurnalis di Papua terhadap Beny Mawel (koresponden The Jakarta Post dan Jubi), Hengky Yeimo (jurnalis Jubi) dan Ardi Bayage (wartawan Suara Papua) dilakukan oleh polisi ketika mereka dilarang meliput dan diusir saat aksi pembukaan posko eksodus mahasiswa Papua di halaman Auditorium Universitas Cendrawasih, Abepura, 23 September.

Nol Penegakan Hukum terhadap Pelaku

Aliansi Jurnalis Independen Jakarta mengutuk keras segala bentuk kekerasan terhadap wartawan, baik yang dilakukan aparat keamanan Indonesia maupun massa.

Kekerasan itu merupakan tindakan pidana sebagaimana diatur UU 40/1999 tentang Pers. Dalam peraturan itu, menghalang-halangi kerja jurnalis bisa diancam penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp500 juta.

Berdasarkan data AJI per Januari 2019-Desember 2019, ada 50 kasus kekerasan terhadap jurnalis; 29 kasus di antaranya dilakukan oleh polisi dan 25 kasus terjadi saat peliputan aksi demonstrasi.

Ketua Divisi Advokasi AJI Jakarta Erick Tanjung mendesak polisi menangkap pelaku kekerasan terhadap jurnalis, sekalipun itu anggota mereka sendiri.

"Semua pelaku kekerasan terhadap jurnalis harus diproses hukum untuk diadili hingga ke pengadilan," kata Erick.

Selama ini belum ada tindakan tegas dari pihak kepolisian. Pelaku kekerasan terhadap jurnalis selalu lepas dari jerat hukum.

Lembaga Bantuan Hukum Pers juga menuntut Dewan Pers melaksanakan tanggung jawabnya dalam Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Wartawan, yang disepakati 6 Desember 2012.

Hal itu demi menyikapi kekerasan terhadap jurnalis yang meliput demo mahasiswa di depan DPR maupun dan di kota lain.

"Kami meminta pihak Dewan Pers untuk mengaktifkan atau melaksanakan pedoman penanganan kasus kekerasan terhadap wartawan," kata pengacara LBH Pers Gading Yonggar, 25 September.

Mekanisme itu mengatur Dewan Pers wajib berkoordinasi dengan perusahaan media, organisasi pers, jurnalis penyintas, dan keluarganya, ujar Gading. Koordinasi bertujuan untuk pendampingan serta pelaporan kasus menghalangi kerja jurnalistik dan kekerasan ke kepolisian.

"Selama ini implementasi dari penerapan pedoman kasus kekerasan terhadap wartawan tidak maksimal," ucapnya.

Klaim Polri: Sanksi Disiplin bahkan Pidana

Tudingan pelaku kekerasan dan pelarangan liputan mengarah kepada anggota Brigade Mobil, unit khusus Polri, yang ditugaskan bersiaga saat ada aksi demo.

Namun, tudingan ditampik oleh Komandan Korps Brimob Polri Brigjen Abdul Rakhman Baso, yang mengaku telah menginstruksikan jajarannya agar tidak melakukan kekerasan terhadap wartawan.

"Itu komitmen kami. Bukan komitmen Dankor Brimob, tapi komitmen Kapolri," ujarnya, 14 November.

Ketika ditanya saat itu apakah anggota Brimob yang melakukan tindak kekerasan terhadap jurnalis secara tidak langsung melanggar instruksi Kapolri, Rakhman berujar, "Bisa, lalu diperiksa unsur yang dipersangkakan kepada anggota."

Jenderal bintang satu itu menegaskan akan menindak anggota Brimob yang diduga melakukan tindak kekerasan.

"Tindakan (hukuman) disiplin, kode etik, bahkan pidana," ujar Rakhman.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN JURNALIS atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Restu Diantina Putri