Menuju konten utama

Para Tentara Bersenjatakan Pena

Tentara Nasional Indonesia punya teladan soal buku. Ada yang banyak menulis buku, bahkan ada mantan TNI yang novelnya luar biasa banyak dan berpengaruh. Ironis sekali jika ada tentara yang mengganggu orang membaca.

Para Tentara Bersenjatakan Pena
Mantan Komandan Korps Marinir TNI AL Periode (1994-1996) sekaligus Penulis Buku Citius, Altius, Fortius Didada Seorang Prajurit Marinir Mayor Jenderal TNI Mar ( Purn ) Djoko Pramono (kanan) menandatangani buku saat peluncuran buku Citius, Altius, Fortius Didada Seorang Prajurit Marinir di Graha Marinir, Jakarta, Selasa (27/10). ANTARA FOTO/Reno Esnir/pd/15.

tirto.id - Pelarangan buku adalah hal paling menyedihkan dalam dunia ilmu pengetahuan dan sastra. Satu buku dilarang, maka satu jendela dunia tertutup dan dunia gelap. Hanya masyarakat abad kegelapan yang benci buku. Seperti yang terjadi di Indonesia baru-baru ini, ketika ada larangan peredaran buku-buku kiri. Tentara dan polisi melakukan sweeping buku. Mereka lupa jika buku itu memberadabkan. Mereka juga lupa jika pendiri Tentara Nasional Indonesia, diisi dan dipengaruhi orang-orang yang suka baca buku, bahkan menulis buku.

Beberapa jenderal TNI merupakan penulis, di luar masa dinas mereka. Kebanyakan buku-buku yang ditulis orang-orang militer adalah soal militer atau soal sejarah nasional atau sejarah militer Indonesia. Ada juga segelintir mantan atau pensiunan militer yang menulis novel.

Menulislah, Jenderal!

Ketika masih menjadi taruna Akademi Militer Belanda di Bandung, Duo Batak yang ikut mendirikan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yakni Tahi Bonar Simatupang dan Abdul Haris Nasution merupakan tentara yang menyukai buku. Mereka tak hanya membaca buku, tetapi juga menulisnya.

Sim, panggilan Tahi Bonar Simatupang, pernah menulis buku soal pengalaman gerilya melawan Tentara Belanda, Laporan Dari Banaran (1960). Buku lain yang ditulis adalah Soal-Soal Politik Militer Indonesia (1956), Harapan, Keprihatinan dan Tekad (1985), Pelopor Dalam Perang Pelopor Dalam Damai (1981). Ia juga menulis biografinya, Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos (1991). Judul biografinya ini diambil berdasar pengalamannya ketika berdebat dengan guru sejarahnya waktu di sekolah. Kata si guru, bangsa Indonesia yang berperawakan kecil tak akan bisa membangun tentara yang bisa mengalahkan Belanda. Mitos sang guru itu pada akhirnya dipatahkan Sim dan pejuang lainnya.

Sim merupakan jenderal dari Batak generasi pertama, dan dikenang dalam sejarah militer Indonesia. Sang karib, Abdul Haris Nasution, adalah jenderal yang paling banyak menulis buku.

Semasa dinonaktifkan sebagai militer, antara 1952 hingga 1955, Nasution menulis banyak buku soal sejarah militer Indonesia, lalu soal pembangunan. Konsepnya berasal dari Nasution, tetapi penulisannya dibantu oleh penulis-penulis hantu. Konsep pemikirannya adalah dari Nasution. Setidaknya, sepanjang hidupnya, Nasution telah menghasilkan 11 jilid Seputar Perang Kemerdekaan, 3 jilid Tentara Nasional Indonesia, Catatan-catatan Sekitar Politik Militer Indonesia (1954), Meneruskan Perjoangan Orde Baru (1973), Bagi pejuang tiada tugas akhir dan tiada akhir tugas (1990), Pembangunan Moral: Inti Pembangunan Nasional (1995) dan paling terkenal adalah Pokok-Pokok Gerilya (1954). Buku terakhir ini sangat berguna bagi perwira-perwira di negara lain dalam memenangkan gerilya. Di Amerika buku ini wajib dibaca para taruna.

Itu belum termasuk berjilid-jilid buku biografinya, 9 jilid Memenuhi Panggilan Tugas. Belum ada jenderal yang mampu menyaingi Nasution juga dalam hal buku. Seperti juga Sim, Nas juga mendapat gelar doktor honoris causa (kehormatan). Sim dari Universitas Tulsa, Oklahoma, Amerika Serikat pada 1969. Nas dari Universitas Islam Sumatra Utara pada 1962.

Selain Sim dan Nas, Jenderal yang rajin menulis buku adalah Sajidiman Surjodiputro. Purnawirawan Letnan Jenderal TNI Angkatan Darat ini, adalah lulusan Akademi Militer Yogyakarta 1948. Dia memulai karier sebagai komandan peleton di Divisi Siliwangi. Pada 1954, dia menerjemahkan buku, yang kemudian dijuduli Taktik dan Tehnik Infanteri.

Setelah dia menuliskan gagasan-gagasannya sebagai perwira pemikir. Mulai dari Masalah-Masalah Pertahan Negara (1964), Langkah-Langkah Perjuangan Kita (1970), Manusia dan Masyarakat Jepang dalam Perjuangan Hidup (1982), Menghadapi Tantangan Masa Depan (1987), Pancasila, Islam dan ABRI (1992), Membangun Peradaban Indonesia (1995), Kepemimpinan ABRI (1996), Si Vis Pacem Para Belllum, Membangun Pertahanan Negara Yang Modern dan Efektif (2005), Rakyat Sejahtera Negara Kuat (2007), Pengantar Ilmu Perang (2009). Setelah pensiun, selain menulis buku soal militer dan pembangunan, Sajidiman menuliskan juga autobiografinya, Mengabdi Negara Sebagai Prajurit TNI (1997).

Jika Sajidiman banyak menulis soal pemikiran militer, maka Himawan Satanto banyak menulis soal pengalaman masa tugasnya sebagai TNI. Sejak dirinya masih belasan tahun di Jawa Timur, ikut ayahnya yang mantan komandan batalyon pasukan sukarelawan PETA lalu panglima di jawa Timur bergerilya. Himawan lalu jadi perwira di Divisi Siliwangi. Buku-buku yang ditulis Perintah Soekarno Rebut Kembali Madiun (1994), Madiun Dari Republik ke Republik (2006), Yogyakarta, 19 Desember 1948 (2006), Long March Siliwangi (2007), Serangan Jepang ke Hindia Belanda (2009), Merebut Polewali (2009) dan Menjadi TNI (2009).

Generasi di bawah Sajidiman dan Himawan, dari Angkatan Darat, ada Saurip Kadi yang menulis TNI-AD, Dahulu, Sekarang dan Masa Depan (2000), bersama Bony Hargen menulis Menata Ulang Sistem Demokrasi dan TNI Menuju Peradaban Baru (2006), Menembus Batas (2008) dan Mengutamakan Rakyat (2008). Dua buku terakhir adalah gagasan-gagasan Saurip Kadi yang diumpan dengan wawancara oleh Justiani dan lainnya. Nama Saurip Kadi sering disebut di berita-berita politik beberapa tahun silam.

Dari TNI Angkatan Udara, ada Marsekal Chappy Hakim, mantan Kepala Staf Angkatan Udara sejak 2002 hingga 2005. Lepas masa dinasnya dia menulis di blog dan merilis buku yang berisi gagasan-gagasannya. Buku-buku yang pernah dirilisnya antara lain: Chappy Hakim Dalam Musik dan Lagu (2004), Dari Segara ke Angkasa (2005), Untuk Indonesiaku: Setumpuk Harapan ke Depan (2006), Cat Rambut Orang Yahudi (2009), Awas Ketabrak Pesawat Terbang! (2009), Tanah Air dan Udaraku Indonesia (2009), Saksofon, Kapal Induk, dan "Human Error": Catatan Seorang Marsekal (2010), Berdaulat di Udara: Membangun Citra Penerbangan Nasional (2010), Pelangi Dirgantara (2010), Pertahanan Indonesia: Angkatan Perang Negara Kepulauan (2011), Quo Vadis Kedaulatan Udara Indonesia? (2012) dan Fenomena Pompa Bensin (2013).

Selain Chappy Hakim, dari Angkatan Udara ada Marsekal Muda Prayitno Ramelan yang menulis Intelejen Bertawaf (2009) dan Misteri MH370 (2014). Di jajaran perwira aktif TNI yang dikenal sebagai penulis adalah Letnan Kolonel Agus Yudhoyono, putra dari mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada 2015, dia menang lomba menulis, dengan tulisannya yang berjudul Optimalisasi Peran Dansat di dalam Meningkatkan Profesionalisme Prajurit serta Mengembangkan Doktrin Bertempur yang Efektif dalam Rangka Memenangkan Pertempuran di Masa Depan. Lima tahun sebelumnya, buku wawancaranya berjudul Sekarang Kita Makin Percaya Diri dirilis.

Kebanyakan perwira yang jadi jenderal menulis biografinya atau pengalaman tugasnya. AM Hendropriyono pernah menulis Operasi Sandi Yudha (2013), soal pengalamannya semasa memberantas PGRS/Paraku di Kalimatan. Sapuduto Citrawijaya, mantan perwira KKO Marinir, juga menuliskan pengalamannya juga kawan-kawannya selama mengikuti Konfrontasi Dwikora di perbatasan Indonesia-Malaysia Kalimantan, dalam bukunya yang berjudul Kompi X di Rimba Siglayan(2005). Mantan KKO lain, Peter Appolonius Rohi, yang belakangan jadi wartawan Sinar Harapan dan Mutiara, juga penulis setelah keluar dari militer. Peter telah menulis Selamat Pagi Surabaya (1996), Natuna Kapal Induk Amerika (2010), dan Soekarno Sebagi Manoesia (2008).

Mantan Serdadu Nulis Fiksi

Selain buku-buku serius seperti soal strategi militer, politik, sejarah atau sosial lain beberapa mantan tentara atau pensiunan juga menulis cerita fiksi. Beberapa tahun terakhir, Tiopan Bernard Silalahi menulis novel Toba Dreams (2015), yang belakangan difilmkan dengan judul sama, pada tahun yang sama.

Sebelum TB Silalahi, pernah ada penulis dengan nama pena Pandir Kelana. Karya-karyanya antara lain Kereta Api Terakhir (1981), Kadarwati: Wanita dengan Lima Nama (1982), Ibu Sinder (1983), Rintihan Burung Kedasih (1984), Suro Buldog: Orang Buangan Tanah Merah Boven Digul (1986), Bara Bola Api (1992), Merah Putih Golek Kencana (1992), Tusuk Sanggul Pudak Wangi (1989), Subang Zamrud Nurhayati (1992). Novel Kereta Api Terakhir, pernah difilmkan juga dengan judul sama. Di mana musisi Gito Rollies ikut berperan sebagai sang kopral yang jago bernyanyi.

Pandir Kelana tak lain adalah seorang pensiunan Mayor Jenderal Slamet Danoesoedirjo. Ia sempat menjadi pejabat departemen keuaangan dan perhubungan, lalu menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Pernah juga dia menjadi Rektor Institut Kesenian Jakarta.

Pandir Kelana, tentu kalah tenar dengan Trisno Yuwono yang terkenal dengan Pagar Kawat Berduri (1961) atau Laki-laki dan Mesiu (1957). Karya lainnya adalah Bulan Madu (1962), Di Medan Perang (1962), Angin Laut (1958), Kisah-kisah Revolusi (1965), Biarkan Cahaya Matahari Membersihkan Dulu (1962), Petualang (1981), Peristiwa-peristiwa Ibukota Pendudukan (1970). Trisno Yuwono, dianggap salah satu anggota awal dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), yang kini disebut Komando Pasukan Khusus (Kopassus).

Seperti Trisno Yuwono, Pramoedya Ananta Toer pun juga pejuang di masa revolusi. Pram juga pernah jadi Letnan TNI dalam divisi Siliwangi. Lepas dari militer, setelah Tentara Belanda perigi dari Indonesia, Pram yang masih muda produktif menulis novel. Mulai dari Keluarga Gerilya (1950), Bukan Pasar Malam (1951), Di Tepi Kali Bekas (1951), Cerita Dari Blora (1952), Cerita Dari Jakarta (1957), Cerita Calon Arang (1957), Gadis Pantai (1962), Panggil Aku Kartini Saja (1963), Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), Rumah Kaca (1988), Arus Balik (1995) Arok Dedes (1999), Larasati (2000) dan masih banyak lagi. Setidaknya ada puluhan novel ditulis Pram, selain esai-esai.

Para perwira dan jenderal ini menghasilkan karya-karya yang tak kalah bermutu dari para penulis ataupun pujangga. Bagi mereka para penulis, pena tetap tak kalah tajam dari bedil. Karena mereka menulis, maka mereka ada.

Baca juga artikel terkait JENDERAL PENULIS atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti