Menuju konten utama
4 Mei 1980

Para Serdadu Rendahan yang Jadi Pemimpin Dunia

Beberapa tokoh penting dunia yang berpengaruh punya pengalaman sebagai serdadu berpangkat rendah.

Para Serdadu Rendahan yang Jadi Pemimpin Dunia
Ilustrasi Mozaik Josip Broz Tito. tirto.id/Sabit

tirto.id - Saat masih berpangkat sersan, diktator Kuba Fulgencio Batista, bergerak dalam Sergeants' Revolt (Pemberontakan Sersan) pada tanggal 4-5 September 1933. Setelah itu, dia menjadi orang yang berpengaruh di Kuba meski tak langsung mengambil alih kursi kepresidenan.

Dengan dukungan Pemerintah Amerika Serikat, Batista menjadikan dirinya orang kuat di Kuba. Dari 1934 hingga 1940, dia [hanya] menjabat Kepala Angkatan Perang, sementara itu orang-orang sipil silih berganti menduduki kursi kepresidenan,” tulis Jorge I Dominguez dalam artikel "The Batista Regime in Cuba" yang dihimpun di buku Sultanic Regimes (1998:114).

Di Amerika Latin kontemporer, bekas serdadu rendahan yang jadi negarawan tanpa harus melakukan kudeta adalah Evo Morales. Menurut Andrew Canessa dalam Race, Sex, and History in the Small Spaces of Andean Life (2012:221), Morales pernah berdinas sebagai polisi militer dengan pangkat rendah pada pengujung 1970-an hingga awal 1980-an.

Bekas Kopral dan Sersan Bertarung dalam PD II

Ketika Perang Dunia I (1914-1918) meletus, Benito Mussolini menampilkan diri sebagai seorang yang cinta perang. Menurut Robert T. Elson dalam buku Menjelang Perang (1986:84), terjemahan dari Prelude to War terbitan Time-Life Books, “Tahun 1915, ia (Mussolini) masuk tentara dan ditugaskan di front Alpen, meskipun pangkatnya tak lebih dari sersan.”

Setelah keluar dari militer, Mussolini mendirikan surat kabar Il Popolo yang digunakan untuk kepentingan politiknya. Kaum fasis Italia pimpinan Mussolini mulai bersinar pada tahun 1921.

“Industriawan dan tuan tanah kini terbuka mendukung mereka,” tulis Elson (1986:88).

Dalam pemilu yang digelar pada bulan Mei 1922, 35 orang fasis termasuk Mussolini terpilih masuk parlemen. Pada bulan itu juga 50 ribu anggota squadrismo mengambil-alih balai kota dan menuntut diadakannya proyek padat karya. Di Bologna, Parma, dan Ravenna juga terjadi hal yang sama.

Pada 27 Oktober 1922, 14 ribu orang bergerak. Namun bukannya mengerahkan tentara untuk menekan orang-orang fasis yang akan rusuh itu, Perdana Menteri Luigi Facta malah tawar-menawar dengan Mussolini. Raja Italia Victor Immanuel III pun akhirnya meminta Mussolini membentuk pemerintahan sebagai Perdana Menteri.

Sementara itu, ketika Perang Dunia I dimulai, seniman gagal Adolf Hitler bergabung dalam Resimen Bavaria Jerman. Menurut John Frank Williams dalam Corporal Hitler and the Great War 1914-1918: The List Regiment (2005:63), Hitler ditempatkan di kompi infanteri dan menjadi kurir. Kemudian dipromosikan menjadi kopral dan menerima medali Salib Besi.

“Tahun 1919 dalam usia 30 tahun, Adilf Hitler adalah seseorang yang tidak berarti. Ia tinggal di Munchen dalam barak batalion cadangan resimennya pada masa perang. Ia tidak punya tempat tinggal lain [...] Pengabdiannya sebagai tentara Jerman ternyata merupakan masa paling bahagia dalam hidupnya yang sebelumnya tanpa tujuan,” tulis Elson (1986:84).

Selepas perang, Hitler mulai merintis jalur baru di dunia politik. Ia bergabung dengan Partai Buruh Jerman. Hitler memperlihatkan diri sebagai organisatoris, karena bakat terpendamnya memang terletak dalam kemampuan yang sangat berguna dalam propaganda yaitu berpidato.

Setelah memimpin Partai Buruh, ia mengubah partai tersebut menjadi Partai Buruh Jerman Nasionalis Sosialis atau Nationalsozialistche Deutche Arbeiterspartei, yang dikenal sebagai NAZI. Partai itu kemudian identik dengan lambang swastika rancangan ulang Hitler.

Sebagai politikus, ia menjadi pemimpin dalam menuntut berbagai isu yang sangat populer: dibatalkannya Perjanjian Versailles yang sangat merugikan Jerman, pembagian keuntungan industri kepada buruh, kenaikan pensiun dan penghapusan kewarganegaraan orang-orang Yahudi. Dari sanalah Hitler menuai popularitas dan menjadi kesayangan bangsa Jerman yang sedang terpuruk.

Infografik Mozaik Josip Broz Tito

Infografik Mozaik Josip Broz Tito. tirto.id/Sabit

Setelah belasan tahun berpolitik di jalanan, diselingi terbunuhnya kawan-kawan politiknya, ia pun mencicipi dinginnya lantai penjara. Di dalam sel itulah ia menulis Mein Kampt. Situasi mulai bersinar baginya memasuki dekade 1930-an dan memuncak pada 1933 saat ia menjadi kanselir Jerman.

Terdapat kesamaaan antara Mussolini dengan Hitler dalam merekrut mantan tentara dalam kelompoknya. Jika Hitler merekrut bekas tentara dan preman jalanan dalam Sturm Ableitung (SA), maka Mussolini merekrut bekas pasukan gerak cepat Italia, Arditi, dalam paramiliter bernama Fascio di Combattimento.

Dalam Perang Dunia II, Musolini dan Hitler membawa negara mereka dalam kubu yang sama. Keduanya bahu-membahu berhadapan dengan negara-negara Sekutu, termasuk melawan Uni Soviet.

Bekas Sersan yang Menentang Hitler

Di Balkan, Hitler punya musuh yang punya kesamaan latar belakang. Sebuah kelompok Partisan yang memimpin perlawanan terhadap Jerman dipimpin seorang Kroasia yang merupakan bekas sersan Tentara Austro Hongaria: Josip Broz Tito.

Menurut Ronald Bailey dalam buku Partisan dan Gerilyawan (1986:75), waktu Perang Dunia I, Tito pernah ditawan Rusia. Lalu akrab dengan orang Bolshevik dan jadilah dia komunis.

Partai Komunis Yugoslavia sempat ditekan polisi dan Tito dipenjara. Meski demikian, Tito pada akhirnya berhasil menjadi Sekretaris Jenderal Partai komunis pada 1939. Dan ketika fasis Jerman datang ke tanah airnya, dia memimpin perlawanan.

Setelah Jerman kalah dan negara-negara Balkan bersatu dalam Yugoslavia, Josip Broz Tito pun menjadi pemimpinnya. Dia meninggal pada 4 Mei 1980, tepat hari ini 41 tahun lalu. Kiwari, Yugoslavia telah bubar.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 29 November 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SEJARAH MILITER atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS & Irfan Teguh