Menuju konten utama
17 Oktober 1952

Para Perwira Angkatan Darat Tuntut Parlemen Dibubarkan

Pada suatu pagi di bulan Oktober, Sukarno ditodong meriam oleh para perwira Angkatan Darat.

Para Perwira Angkatan Darat Tuntut Parlemen Dibubarkan
Ilustrasi Peristiwa 17 Oktober 1952. tirto.id/Gery

tirto.id - “Di mana saya harus menempatkan senjata?” tanya Mayor Kemal Idris.

Pertanyaan itu diajukan Kemal kepada kepada Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Kolonel Abdul Haris Nasution. Kemal saat itu menjabat sebagai komandan Resimen Ketujuh Divisi Siliwangi yang berpangkalan di sekitar Jakarta.

Kepada Kemal, seperti tertulis dalam biografi Kemal Idris Bertarung Dalam Revolusi (1996), Nasution menjawab: “Saudara taruh saja di depan istana.”

Sebagai prajurit, Kemal tentu saja melaksanakan perintah Nasution yang menjabat sebagai KSAD. Pagi-pagi 17 Oktober 1952 itu, dia menempatkan beberapa unit persenjataan artileri dan juga kavaleri di sekitar istana. Mulai dari meriam artileri, juga tank dan panser kavaleri.

Baca juga: Kemal Idris, Jenderal Sampah Penentang Presiden

Pagi itu, ajudan setia Sukarno, Mangil Martowidjojo, terkejut ketika tiba di istana. Seperti terbaca dalam Kesaksian Tentang Bung Karno (1999), Mangil bersaksi: “Saya kaget, melihat di depan istana, sejumlah meriam, dengan moncong mengarah tepat ke Istana Negara.”

Semula, Mangil bahkan tak diperbolehkan masuk ke istana oleh pasukan-pasukan itu. Tak hanya meriam di depan istana saja yang dilihat Mangil. Sewaktu lewat belakang istana, aku Mangil, "Saya semakin kaget melihat beberapa panser berjajar di tepi sungai, meriamnya diarahkan tepat ke depan istana.”

Di dalam istana, pagi itu Presiden Sukarno sedang berolahraga pagi. Ia melakukan olahraga ringan berupa jalan kaki keliling istana. Sebagai pengawal Sukarno sejak zaman revolusi, Mangil mencari tahu kekuatan pasukan lapis baja pengepung istana itu. Salah seorang bawahannya, Pembantu Letnan I Mimbar, dia perintahkan mencari tahu meriam-meriam itu, baik kendaraan lapis baja atau meriam tarik, apakah berpeluru atau tidak.

Tidak butuh waktu lama bagi Peltu Mimbar untuk mengumpulkan informasi. Ia segera melapor pada Mangil dan memastikan meriam-meriam itu terisi peluru yang siap ditembakkan.

Saat Sukarno telah selesai berolahraga, halaman istana sudah ramai dengan para demonstran. “Bubarkan Parlemen! Bubarkan Parlemen!” teriak demonstran.

Baca juga: Menu Sarat Makna di Istana Negara

Duduk perkaranya adalah kemarahan para petinggi TNI, khususnya dari Angkatan Darat. Mereka marah karena parlemen dianggap terlalu berlebihan mencampuri urusan Angkatan Darat. Tuduhan mencampuri urusan internal militer itu merujuk mosi yang dikeluarkan parlemen pada 15 Oktober 1952 (baca: Riwayat Penyedia Bedil Angkatan Darat).

Selain mengakhiri Misi Militer Belanda di Indonesia sebagai poin pertama mosi tersebut, poin keduanya adalah reorganisasi dan mutasi pimpinan Angkatan Perang dan Kementerian Pertahanan. Mosi ini didukung 91 suara dan ditolak 54 suara pada 16 Oktober 1952. Di hari pemungutan suara di Parlemen itu, Kolonel Nasution dan petinggi Angkatan Darat lainnya mengadakan rapat. Esoknya, Nasution dan lainnya juga ke Istana.

Mangil ingat, pagi itu juga Kolonel Nasution, Kolonel Tahi Bonar Simatupang, Letnan Kolonel Siswondo Parman, dan beberapa perwira lain sudah datang di Istana. Mereka diterima Mayor Sugandhi. Sementara itu, Mangil melihat seorang perwira yang tampak gelisah di depan pos jaga Istana. Mangil segera menyuruh bawahannya mengusir perwira itu. Setelah pengusiran itu, sang bawahan menghadap Mangil lagi.

Baca juga: Siswondo Parman, Adik Petinggi PKI yang Justru Jadi Korban G30S

“Tugas sudah saya laksanakan, namanya Kemal Idris, Mayor Angkatan Darat,” lapor si bawahan yang bernama Agen Polisi Pardi.

Sementara perwira-perwira yang datang bersama Nasution dan Simatupang pun ditemui Sukarno. Mereka tidak hanya mengeluhkan kelakuan parlemen yang dianggap terlalu mencampuri urusan militer, mereka juga menyoroti gontok-gontokan politikus sipil di parlemen. Bagi mereka, gontok-gontokan politikus di parlemen sangat tidak produktif karena mengakibatkan kabinet jatuh bangun dan tidak bisa bekerja dengan baik (baca: Simatupang Mematahkan Mitos).

Setelah berbincang-bincang sebentar, Sukarno keluar istana dengan diikuti beberapa pengawal. Ketika hendak menuruni tangga Istana, Sukarno memerintahkan hanya Mangil yang boleh mengikutinya, sementara pengawal lain tetap di istana. Dengan berjalan kaki, Sukarno mendatangi para demonstran dan memberikan jawaban yang begitu mengecewakan demonstran.

“Pokoknya, saya tidak mau jadi diktator. Jangan paksa saya membubarkan parlemen. Saya tidak akan pernah mau...” tegas Sukarno dalam volume suara nyaring.

Mendengar ucapan yang tegas dan jelas itu, para demonstran hanya diam tak berkata-kata. Tak ada juga yang menyanggah, apalagi ngotot dan berkeras dengan tuntutan membubarkan parlemen.

“Hidup Bung Karno! Hidup Bung Karno!” teriak massa yang tak jelas dari mana asalnya itu, seolah mereka lupa pada tuntutan membubarkan parlemen yang sebelumnya mereka teriakkan.

Baca juga: Sukarno dan Para Pekerja Seks di Zaman Pergerakan

Infografik mozaik angkatan darat

Sukarno sebenarnya begitu marah kepada Nasution, tetapi tidak menyalahkan tuntutan nasution dan kolega-kolega Angkatan Daratnya itu. Dalam Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1966), Sukarno menyebut cara Nasution tak bisa dibenarkan.

“Sukarno sama sekali tidak akan menyerah karena paksaan. Tidak kepada Belanda dan tidak kepada meriam Tentara Nasional Indonesia,” tulis Si Bung Besar itu.

Setelah kejadian itu, Nasution kehilangan jabatan KSAD. Kemal Idris juga menjadi perwira buangan setelah peristiwa itu. Karier Kemal Idris pun terhenti meski sempat dikirim untuk misi tentara perdamaian ke Afrika. Namun, karena krisis di Angkatan Darat tetap berkepanjangan, dan sejumlah alasan politis lainnya, pada 1955 Nasution diaktifkan kembali dan menjabat KSAD seperti sebelumnya.

Jauh setelah 17 Oktober 1952, tentu saja parlemen dijauhkan dari militer. Hanya Presiden yang punya hak penuh untuk memilih petinggi Angkatan Darat, juga angkatan-angkatan lain di TNI. Juga menggerakkan semua kekuatan militer. Sudah menjadi keharusan bagi militer di negara berdemokrasi untuk tunduk kepada supremasi pemerintahan sipil.

Baca juga:

Menurut Sukarno, haram hukumnya tentara berpolitik.

“Angkatan perang tidak boleh ikut-ikut politik, tidak boleh diombang-ambingkan oleh sesuatu politik, angkatan perang harus berjiwa yaa berjiwa, berapi-api berjiwa, berkobar-kobar berjiwa tapi ia tidak boleh ikut-ikut politik...” tegas Sukarno dalam pidatonya di Front Nasional pada 17 Agustus 1963, hampir sebelas tahun setelah Peristiwa 17 Oktober 1952.

Di tahun-tahun terakhir Sukarno, Kemal Idris kembali mengerahkan pasukan ke Istana Negara lagi. Kali ini bukan pasukan lapis baja seperti pada 17 Oktober 1952, melainkan dengan “Pasukan Tak Dikenal” pada 11 Maret 1966. Pada hari itu, lahirlah sebuah dokumen legendaris yang dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang diberikan kepada Mayor Jenderal Soeharto (baca: Jika Supersemar Palsu, Apakah Orde Baru Tidak Sah?).

Ketika itu, Soeharto menjabat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), sementara Brigadir Jenderal Kemal Idris menjadi Kepala Stafnya. Setelah Soeharto jadi Presiden, Kemal yang pemberang itu dijadikan Duta Besar di Yugoslovakia dan dijauhkan dari kekuasaan, meski pun ia sudah berpangkat jenderal.

====

Tulisan ini pernah tayang pada 17 Oktober 2016 dengan judul "Saat Moncong Meriam Mengarah ke Istana". Redaksi mempublikasikan ulang dengan perubahan minor, di antaranya judul, tautan, infografik dan ilustrasi.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS